Oleh: hurahura | 9 Juli 2010

Mengenang Boekhandel Tan Khoen Swie

Koleksi pribadi

Masyarakat pencinta buku yang hidup pada masa sekarang, mungkin masih terasa asing dengan nama Tan Khoen Swie (TKS). Nama itu memang sudah lama tidak terdengar. Padahal, puluhan tahun yang lalu nama TKS begitu beken di berbagai kalangan. Terbukti buku-buku yang diterbitkan Boekhandel TKS selalu membanjiri pasaran, menjadi best seller, dan laris terjual bagaikan kacang goreng.

Sejarah perbukuan dan penerbitan di Indonesia sangat boleh jadi tidak bisa dilepaskan dari nama TKS. Meskipun dibidani oleh kalangan minoritas di Indonesia—ketika itu kaum pribumi sedang terjajah sehingga banyak di antara mereka tidak mampu baca tulis—TKS berhasil mencetak pribumi-pribumi Indonesia menjadi intelektual ternama. Ketika itu TKS didukung segolongan warga Tionghoa yang bermodal dan memiliki idealisme untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.

Meskipun namanya tidak setenar Balai Pustaka, tidak dimungkiri kalau kaum tua sekarang masih mengenal atau mengingat nama TKS. Pada zamannya Boekhandel TKS merupakan penerbit besar dan ternama, meskipun beroperasi dari daerah Kediri di Jawa Timur.

Dapat dipastikan, manajemen TKS sangat profesional sehingga hanya dalam beberapa tahun nama TKS sudah sangat akrab dengan kalangan terpelajar. Tidak heran kalau nama TKS selalu diidentikan dengan buku-buku bermutu yang diterbitkannya.

Penerbit TKS lahir sekitar tahun 1915, beberapa tahun sebelum Balai Pustaka—penerbitan besar di Jakarta yang dipelopori pemerintah Belanda—berdiri. Pada awalnya untuk membesarkan perusahaannya, TKS banyak dibantu oleh penulis-penulis Tionghoa, seperti Tjoa Boe Sing, Tan Tik Sioe, Sioe Lian, Tjoa Hien Tjioe, dan Tan Soe Djwan.

Koleksi pribadi

Tak ayal lagi, ketika itu TKS merupakan penerbit bergengsi. Untuk mencari naskah buku, TKS tidak segan-segan mengundang para penulis dari berbagai daerah untuk bekerja sama dengannya. Bagi para penulis sendiri, merupakan sebuah kebanggaan bisa bergabung dengan TKS. Bahkan banyak penulis sengaja datang dari Cilacap, Solo, Ngawi, dan kota-kota lain hanya untuk bernegosiasi dengan TKS.

Pujangga-pujangga terkenal Jawa seperti Ronggowarsito, Yosodipuro, dan Ki Padmosusastro, tak pelak, terdongkrak namanya karena TKS. Tanpa TKS kemungkinan karya-karya besar mereka tak bakalan dikenal masyarakat luas. Selain karya orisinal, TKS banyak pula menerbitkan karya terjemahan dari bahasa Belanda atau Inggris.

Kehadiran penerbitan TKS tentu saja ikut menandai era buku, menggantikan tradisi tutur yang sebelumnya banyak berkembang di Jawa. Sebuah era baru dalam penggandaan karya (tulis) yang sebelumnya hanya dikenal dalam bentuk tedhakan (turunan yang ditulis tangan). Pengarang lagu langgam Jawa, Anjar Any (kini almarhum), pernah mengakui bahwa penerbit TKS begitu produktif sehingga berperan mencerdaskan bangsa pada zamannya.

Dihitung-hitung TKS telah menerbitkan sekitar 400 judul buku. Jumlah yang sangat banyak untuk ukuran kala itu. Buku-buku TKS bisa dikategorikan menjadi tiga jenis berdasarkan huruf dan bahasa yang digunakan, yakni berhuruf dan berbahasa Jawa, berhuruf Latin berbahasa Jawa, dan berhuruf Latin berbahasa Melayu. Banyak dari buku-buku itu tergolong best seller pada zamannya sehingga mengalami beberapa kali cetak ulang.

Sebagian besar buku-buku TKS berupa pengetahuan populer, seperti tentang oriental, kebatinan, ramalan, primbon, legenda, dan filsafat. Misalnya saja Kitab Horoscoop, Kitab Rama Krisna, Kekoeatan Pikiran, Kitab Ramalan dan Ilmu Pirasat Manusia, Kitab Achli Noedjoem, serta Alamat Ngimpi dan Artinja. Pada masa itu, buku-buku demikian paling banyak diminati masyarakat Indonesia. Buku-buku itu diterbitkan dalam kisaran 1919 hingga 1956.

Hingga 1940-an TKS masih menjadi lokomotif penerbitan buku di Indonesia. Tak heran, TKS berhasil memperluas tempat usahanya yang berada di Jalan Dhoho 147 Kediri. TKS kemudian mendirikan Toko Soerabaia, sebenarnya toko kelontong, di Kediri dan perwakilan TKS di Solo, demi memuaskan masyarakat pembaca.

Koleksi pribadi

Sayang, usaha penerbitan TKS lambat laun mengalami kemunduran sepeninggal sang pendiri, Tan Khoen Swie (1883-1953). Kemungkinan besar, buku Alamat Ngimpi dan Artinja (1956) merupakan karya terakhir TKS, karena setelah itu tidak ada lagi buku-buku baru yang beredar di pasaran.

Betapa pentingnya peran TKS membuat pemerintah kota Kediri pada 2002 lalu membentuk Tim Penelitian Situs Tan Khoen Swie. Salah satu tugas tim adalah melacak dan mendapatkan kembali buku-buku terbitan TKS.

TKS pada masanya telah memelopori penerbitan buku dan mampu bertahan hingga sekitar 40 tahun lamanya. Namanya memang sudah tidak terdengar lagi, tetapi jejak yang ditinggalkan TKS tercatat dalam sejarah. Kini buku-buku TKS banyak dicari kolektor buku langka. Satu judul bisa berharga Rp 100.000, bahkan lebih.

DJULIANTO SUSANTIO


Tanggapan

  1. saya kepingin punya copy buku- buku di atas bagaimana ya caranya?


Tinggalkan komentar

Kategori