Oleh: hurahura | 22 Oktober 2010

Situs Buni Semakin Memrihatinkan

Sejak lama wilayah Jabodetabek diketahui memiliki situs-situs arkeologi dari masa prasejarah. Umumnya situs-situs tersebut terletak di tepi sungai atau daerah aliran sungai (DAS). Sampai kini berbagai artefak purba, seperti beliung persegi, kapak perunggu, gerabah, bahkan tulang manusia, masih dijumpai dari sejumlah situs tersebut.

Salah satu situs yang cukup dikenal adalah Buni di wilayah Bekasi. Sebarannya meliputi daerah pesisir utara Banten dan Jawa Barat, sehingga kemudian disebut kebudayaan Buni. Kebudayaan Buni diperkirakan muncul pada akhir pra-Masehi hingga sekitar abad ke-5 Masehi.

Ciri-ciri kebudayaan Buni adalah banyaknya penggunaan gerabah seperti piring, periuk, kendi, dan peralatan sehari-hari. Ini ditunjang beberapa unsur tradisi megalitik, seperti penyertaan bekal kubur, mayat yang dilengkapi manik-manik, serta beberapa menhir dan batu meja. Masyarakat pendukung kebudayaan Buni kemungkinan telah mengadakan hubungan perdagangan dengan bangsa lain. Pada masa Kerajaan Taruma, kebudayaan Buni masih dikenal, meskipun penguasanya telah menganut agama Hindu.

Sebenarnya banyak jejak yang ditinggalkan situs Buni. Namun kita terlambat mengantisipasinya karena perhatian yang sungguh-sungguh terhadap situs tersebut baru dimulai pada 1960, saat media massa mengabarkan bahwa banyak penduduk Buni melakukan penggalian liar untuk mencari benda-benda kuno.

Situs Buni sendiri sebagai ladang harta karun sudah diketahui sejak 1937. Ketika itu sejumlah pedagang barang antik sering menjual temuan-temuan prasejarah berupa gelang batu, manik-manik, dan gerabah kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (cikal bakal Museum Nasional). Situs Buni semakin populer ketika pada 1958 seorang penduduk setempat menemukan perhiasan-perhiasan emas dalam periuk-periuk kuno sewaktu mengerjakan sawahnya.

Beberapa kali penelitian arkeologi dilakukan di situs tersebut oleh Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional serta oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta. Akan tetapi karena terlambat bertindak, situsnya sudah terlanjur hancur dan banyak temuannya sudah bercampur aduk akibat ulah penduduk.

Sekonyong-konyong Maret 2007 lalu penduduk di sekitar Karawang menemukan berbagai perhiasan emas di lokasi garapan sawah. Ini tentunya membuktikan bahwa daerah Buni dan sekitarnya memang kaya akan benda kuno.

Temuan dari situs Buni sangat menonjol. Para arkeolog menganggap situs Buni merupakan sebuah kompleks kebudayaan gerabah. Gerabah dari situs ini banyak ditemukan bersama tulang-belulang manusia, yang menurut penelitian pakar paleoantropologi Prof. Teuku Jacob (alm), berasal dari ras Australomelanesid dan ras Mongolid. Diperkirakan, mereka adalah manusia prasejarah sebagai penghuni pertama kota Jakarta.

Pada 2005 manusia pendukung budaya Buni ini berhasil diungkap lebih jauh. Situs ini dinyatakan berasal dari periode protosejarah (sekitar abad ke-1 SM sampai abad ke-2 M) dan mempunyai kaitan dengan situs Batujaya. Di situs ini ditemukan sekitar 10 individu. Masyarakatnya telah memiliki teknologi yang cukup memadai untuk mengelola lingkungannya pada masa itu. Bahkan sudah mengenal teknik bercocok tanam sebelum masuknya budaya India ke wilayah Nusantara

Diyakini penemuan sejumlah artefak dan fosil manusia di situs Buni memiliki saling keterkaitan. Diperkirakan fosil dan barang-barang temuan itu berasal dari masa 200 SM hingga 200 M.

Disayangkan kini kondisi situs Buni semakin memprihatinkan karena tidak dihiraukan keberadaannya oleh pemerintah. Lantaran tidak dilindungi, peninggalan arkeologi di situs Buni ini rusak dan nyaris habis akibat dijarah warga selama bertahun-tahun. Kondisi situs ini juga terancam menyusul dibangunnya terusan kanal Cikarang Bekasi Laut (CBL) serta eksplorasi minyak dan gas di Babelan.

Pemerintah Kabupaten Bekasi pernah berencana menjadikan kampung ini sebagai kawasan benda cagar budaya. Namun sampai sekarang belum ada perhatian terhadap situs ini. Minimnya perhatian terhadap situs arkeologi menggambarkan upaya untuk mencari jati diri bangsa kurang dipedulikan. (Djulianto Susantio)

(Warta Kota, 20/21 Oktober 2010)


Tinggalkan komentar

Kategori