Oleh: hurahura | 21 November 2010

Borobudur Menangis: Refleksi 1.000 Tahun Erupsi Merapi

Oleh Madina Nusrat – Hariadi Saptono

KOMPAS – Minggu, 14 Nov 2010 – Letusan pertama Merapi tahun 2010 pada 26 Oktober telah membuat Candi Borobudur diselimuti abu tebal. Erupsi susulannya, baik berupa letusan besar pada 30 dan 31 Oktober 2010 maupun tanggal 1, 4, dan 5 November 2010, telah membuat seluruh permukaan artefak purba dari abad VIII tersebut menangis.

Stupa-stupa dan panil-panil relief di tiga mandalanya berlepotan dan kusam menyedihkan. Sejumlah patung juga berubah ekspresinya: muka yang mencucurkan kotoran atau wajah yang penuh air mata karena abu vulkanik Merapi. Kepala arca, dagu, wajah, pipi, bahkan siku dan punggung arca-arca itu seperti meleleh karena luluran abu yang menempel, seolah dilukis ulang oleh hujan.

Hingga hari Rabu (10/11), abu vulkanik yang membuat mata pedih dan menyesakkan napas itu masih menyelimuti Candi Borobudur, di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Langit di atas candi juga muram oleh semburan abu mengambang.

Di sekelilingnya, lanskap pedesaan, hamparan sawah, serta bukit-bukit dengan hutan-hutan di sekitar Dusun Borobudur auranya jadi mati. Sejauh mata memandang cuma tampak lembah kelabu dengan pohon-pohon roboh berserakan. Jalur jalan di kejauhan berubah jadi kepulan debu bergulung-gulung, saat kendaraan bermotor melaluinya. Pohon nyiur menguncup karena dahannya patah, sedangkan pohon besar pun runtuh tak kuat menyangga abu vulkanik yang lengket dan membebani. Ribuan hektar tanaman padi, salak, tomat, cabai, tembakau, dan tanaman hortikultura lain layu, tak bisa meneruskan perjalanan hingga panen tiba.


Di luar kebiasaan

Rekaman peristiwa menyesakkan itu mengingatkan kembali kepada peristiwa letusan Gunung Merapi paling dahsyat yang diyakini terjadi sekitar 1.000 tahun lalu. Aktivitas vulkanik Merapi tahun ini terbilang di luar kebiasaan dan skalanya lima kali lipat lebih dahsyat dibandingkan dengan letusan terakhirnya tahun 2006.

Sekitar 240 penduduk di sekitar Merapi di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah tewas tersambar awan panas Merapi. Panjang luncuran awan panas bahkan mencapai 15 kilometer (km) dan batas wilayah berbahaya terus meluas hingga 20 km dari puncak Merapi. Akibatnya, hampir seluruh warga di lereng Gunung Merapi mengungsi.

RW van Bemmelen dalam bukunya The Geology of Indonesia, tahun 1949, menyebutkan, letusan Merapi paling dahsyat terjadi tahun 1006. Sementara Kepala Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, Marsis Sutopo, mengatakan, perhitungan RM van Bemmelen itu didasarkan pada usia geologis material vulkanik yang menimbun Candi Borobudur dan diduga memiliki kemiripan dengan material vulkanik Gunung Merapi. Namun, penghitungan penetapan tahun 1006, menurut Marsis, masih mengundang perdebatan sehingga belum diketahui pasti tahun terjadinya letusan Merapi paling dahsyat. “Kami dari balai konservasi pun belum dapat memastikannya,” katanya.

Lain halnya arkeolog Universitas Gadjah Mada, Djoko Dwiyanto. Letusan Merapi, katanya, paling dahsyat terjadi antara tahun 925 dan 928 Masehi. Perkiraan itu didasarkan pada kabar terjadinya pralaya (kematian) sebagaimana prasasti tulisan Empu Sendok sekitar tahun 930.


Krisis kepemimpinan

Pada masa itu, menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DI Yogyakarta itu, Mataram Kuno mengalami kemunduran karena kekacauan pada pranata kerajaan Dinasti Sailendra, berupa perebutan kekuasaan oleh orang di luar keturunan raja. Kondisi itu menyebabkan keresahan sosial di lingkungan kerajaan dan masyarakat.

Tiga orang raja yang menjabat selama masa 910-928 tak pernah diketahui secara pasti asal-usulnya. Sebaliknya, Empu Sendok yang keturunan raja dari Dinasti Sailendra hanya dijadikan perdana menteri.

Konflik sosial itu berlangsung terus-menerus hingga terjadilah letusan Merapi paling dahsyat pada periode 925-928 M itu. Kejadian sosial dan alam inilah, antara lain, menurut Djoko, yang mendorong Empu Sendok memindahkan kerajaan Mataram Kuno dari sekitar Jawa Tengah ke Jawa Timur.

Meski Marsis Sutopo tak sepenuhnya sependapat bahwa terjadinya bencana alam-sebutlah letusan Gunung Merapi-berkaitan dengan krisis kepemimpinan pada masa berkenaan, Marsis mencatat Merapi meletus dan menimbulkan korban jiwa pada tahun 1822, tiga tahun menjelang Perang Diponegoro. Perang yang dianggap krisis terbesar di Jawa oleh Kompeni Belanda itu adalah Perang Jawa (Jawa Oorlog) saat nyaris seluruh penduduk Pulau Jawa di bawah Pangeran Diponegoro memberontak melawan Belanda (1825-1830). Budayawan Sardono W Kusumo-sesuai catatan Peter Carey-beberapa kali mementaskan adegan simbolis saat Pangeran Diponegoro dan Raden Ayu Retnaningsih bermesraan, bertepatan dengan meletusnya Gunung Merapi dalam “Opera Diponegoro”.

Dalam novel Arok Dedes, Pramoedya Ananta Toer melukiskan peristiwa meletusnya Gunung Kelud di Jatim sebagai lanskap krisis sosial dan berjungkirbaliknya nilai-nilai kemanusiaan karena saat itu akuwu Tumapel yang bernama Tunggul Ametung secara paksa mempermaisurikan Dedes yang kemudian diberinya gelar Ken ketika itu. Adegan dan suasana letusan Gunung Kelud serta bencananya yang datang lebih dari sepekan tak ubahnya dengan kondisi delapan kecamatan di Magelang dan di lereng Merapi yang lumpuh dan luluh-lantak karena semburan lava pijar dan awan panas Merapi yang mengamuk terus pekan lalu. Ngeri… dan menggelisahkan!


Sebuah peringatan

Dalam kosmologi Jawa, menurut Djoko, konflik dan keresahan sosial yang terjadi di tataran pemimpin dan masyarakat konon selalu diikuti bencana alam yang disebutnya memasuki masa pralaya. Dia memberi contoh, Kerajaan Majapahit rusak oleh letusan Gunung Welirang tahun 1478. Welirang meletus bersamaan dengan situasi politik saat keturunan Raja Girindra Wardana-yaitu Wirabuana, dan Wirabumi yang berbeda ibu, berebut takhta kerajaan.

Jika dianalogikan dengan kondisi masyarakat saat ini, menurut Djoko, konflik politik, tak jelasnya penegakan hukum, semrawutnya relasi politik, dan praktik korupsi di negara ini merupakan bagian dari keresahan sosial. “Selama kita percaya Tuhan, keresahan sosial itu menyebabkan ketidakseimbangan pada alam sehingga alam pun murka,” paparnya.

Adapun Sultan Hamengku Buwono (HB) X di Yogyakarta, mengemukakan, bencana Merapi adalah peringatan dari Allah agar manusia mengukur diri serta memperbaiki budi dan akhlaknya. “Ini juga peringatan bagi pemimpin agar mereka juga tidak asal omong, tidak asal janji. Kata dan perbuatan pemimpin hendaknya menyejahterakan rakyatnya,” kata HB X di Keraton Yogyakarta, merefleksikan peristiwa Merapi.

Terlepas benar atau tidaknya analogi dan penafsiran itu, bencana itu tengah berlangsung. Para koruptor-termasuk orang yang wajahnya mirip Gayus-masih bisa menari di Bali. Yang lain melenggang bebas pascabanding dan kasasi. Sebaliknya, tak sedikit aparat hukum diperdaya koruptor, atau malahan mengisap dan memeras pesakitan.


Tinggalkan komentar

Kategori