Oleh: hurahura | 25 Februari 2012

Perjalanan ke Gunung Padang, Mengulik Peradaban yang Hilang

Situs megalitik Gunung Padang, Cianjur (foto:SH/Tutut Herlina)

sinarharapan.co.id, 24.02.2012 – Tim Bencana Katastropik Purba yang difasilitasi Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam Andi Arief benar-benar meyakini bahwa Indonesia memiliki sejarah panjang pencegahan bencana.

Situs megalitik Gunung Padang yang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, adalah salah satu bukti yang menunjukkan hal ini.

Dua kali pengeboran yang dilakukan tim di Gunung Padang sampai kedalaman 20 meter membuat mereka yakin bahwa masyarakat megalitik masa lalu sudah memiliki kemampuan pencegahan bencana.

Keberadaan batu-batuan yang membentuk punden dan piramida di puncak Gunung Padang, yang diperkirakan dibangun pada 4.700 tahun Sebelum Masehi, bahkan diduga mirip dengan situs kota tua Machu-Picchu di Peru.

Situs Machu-Picchu sering disebut “Kota Inca yang Hilang” karena dianggap simbol Kerajaan Inca yang paling terkenal, dibangun sekitar tahun 1450, tetapi ditinggalkan 100 tahun kemudian ketika bangsa Spanyol menaklukkan Kerajaan Inca.

Gunung Padang, menurut kepercayaan yang diyakini secara turun-temurun, merupakan tempat pertemuan para raja. Ada lima teras di gunung ini. Teras pertama disebut Mahkota Dunia, teras kedua adalah tempat bermusyawarah lengkap dengan meja dan kursi batunya, teras ketiga adalah tempat pengujian dengan batu gendongnya, teras keempat adalah tempat pertapaan dari batu, dan teras kelima dilengkapi singgasana batu.

Seorang petugas dari Balai Pelestarian Purbakala (BP3) Serang bernama Nanan menceritakan hasil survei dan temuan dari dua pengeboran yang dilakukan selama 10 hari baru-baru ini oleh Tim Katastropik yang dipimpin ahli geologi Dany Hilman dan Andang Bachtiar.

“Walaupun belum dilakukan penggalian, tetapi dari hasil pengeboran telah ditemukan hamparan pasir peredam guncangan gempa, dua rongga yang juga terisi pasir ‘ayakan’ itu diselingi oleh ‘tembok’ andesit yang sepertinya lapuk. Seperti struktur bangunan,” ia menjelaskan.

Menurut mantan Ketua Ikatan Ahli Arsitektur Jawa Barat, Pon Purajatnika, konstruksi tumpukan batu di Gunung Padang bukan pekerjaan sembarangan tapi hasil olah arsitektur yang luar biasa.

“Setelah dilakukan studi banding ke bangunan Piramid Machu-Picchu Maya di Peru dapat disimpulkan bahwa arsitektur Gunung Padang persis sama dengan Machu-Picchu,” ujarnya.


Kontroversi

Namun temuan tersebut juga menuai kontroversi terkait dengan sebutan piramida. Pakar prasejarah dari Universitas Indonesia (UI), Ali Akbar mengatakan, secara arkeologis, batuan kuno terstruktur di dalam Gunung Padang belum bisa disebut piramida, walaupun di dalam gunung itu memang diduga ada struktur bangunan berupa punden berundak.

“Sebenarnya secara arkeologis, masih diperkirakan bentuk bangunan seperti punden berundak yang mirip piramida, yang berada di Gunung Padang saat ini,” ungkapnya.

Hal tersebut dibuktikan dengan beberapa penelitian arkeologis yang pernah dilakukan di Gunung Padang sebelumnya. Peneliti Belanda NJ Krom pernah meneliti masalah punden berundak ini pada tahun 1914. Penelitian lain dilakukan juga oleh RP Soejono yang meneliti wilayah ini pada 1982 dan menghasilkan asumsi yang sama.

“Model piramida sudah dikenal sejak masa prasejarah di Indonesia, tapi bukan seperti di Mesir. Di sana kan bangunan di tanah datar yang ditumpuk ke atas. Di Indonesia bentuknya seperti punden berundak yang biasa ambil lokasi di gunung alami, sehingga batu yang dibutuhkan tidak sebanyak yang di Mesir. Jadi lebih memanfaatkan alam,” kata Ali Akbar.

Di lain sisi, Acil Bimbo dan sejumlah budayawan dan seniman Jawa Barat mengutuk keras aksi pengeboran yang dilakukan di situs Gunung Padang tersebut.

Namun pengamat kebudayaan, Burhan Rosyidi menjelaskan bahwa temuan Tim Katastropik oleh para ahli geologi di Gunung Padang harus dihormati karena akan menguak sejarah peradaban umat manusia lebih dalam lagi.

“Sepertinya kontroversi yang terjadi adalah antara profesi geolog dan arkeolog. Masalah kepurbakalaan memang kewenangan arkeolog. Mereka yang berhak menyimpulkan jenis bangunan yang ditemukan apakah itu sekadar punden berundak atau piramida. Sementara geolog dipandang sekadar membantu,” ungkapnya.

Andang dan Danny Hilman mengatakan tujuan penelitian mereka bukan untuk mencari piramida, seperti disebutkan banyak orang. Kata Danny Hilman, penelitian tim mereka bertujuan untuk mencari tahu jejak peradaban lama di Indonesia yang musnah karena bencana. Hasil akhirnya berupa pengetahuan mengenai pola mitigasi yang dilakukan peradaban lama tersebut dalam menghadapi bencana.

Gunung Padang menjadi layak diteliti lantaran berada di dekat patahan Cimandiri, yang kini masih dianggap aktif. Jadi diperkirakan bila benar Gunung Padang merupakan sisa peradaban lama dan musnah karena bencana, maka banyak pengetahuan bisa digali lebih dalam lagi di lokasi situs tersebut.

“Bor kedua yang dilakukan persis di sebelah selatan teras lima menembus tanah yang seperti tanah urukan sampai kedalaman sekitar 7 meter, lallu ditemukan batuan andesit keras. Di kedalaman 8 meter terjadi hal mengejutkan, total loss 40 persen air di drum langsung tersedot habis. Hal ini berlangsung sampai kedalaman 10 meter. Kelihatannya bor menembus rongga yang diisi pasir (kering) yang luar biasa keseragamannya seperti hasil ayakan manusia,” urainya menerangkan hasil pengeboran di Gunung Padang pada milis Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI).

Adanya komposisi pasir kering yang diperkirakan merupakan hasil ayakan manusia tersebut, kemudian makin menguatkan perlunya penelitian dilanjutkan untuk memahami metode mitigasi yang dilakukan orang-orang pada masa peradaban lama di Indonesia.

Sementara itu, menurut pendapat Andang, keberadaan pasir tersebut menunjukkan adanya semacam teknologi antigempa yang diterapkan manusia masa lalu di Indonesia untuk bangunan yang mereka buat.

“Ini hasil ayakan sangat halus dan jelas bukan terbentuk secara alami,” kata Andang. Pasir ditemukan dalam satu lapisan di kedalaman 8-10 meter. “Ini seperti teknologi yang mampu menahan gempa,” ia menambahkan.

Menakjubkan memang kemungkinan teori tersebut, mengingat artinya pada masa dahulu terdapat pengetahuan teknologi tinggi untuk meredam bencana. Adanya kemungkinan tersebut juga yang kemudian membuat orang kembali menoleh pada teori yang diungkapkan Prof Oppenheimer dari Universitas Oxford Inggris.

Pada berbagai pengamatan dan penelitian Oppenheimer, yang dituangkan pada buku Eden of East pada akhirnya melahirkan pendapat kalau terdapat peradaban tinggi di Asia Tenggara, khususnya Indonesia pada masa dahulu. Masa yang bahkan lebih lama dari zaman Kerajaan Majapahit yang berumur sekitar 600 tahun lalu.

Oppenheimer yang turut juga hadir pada Konferensi Tahunan tentang Indonesia merasa turut senang dengan berbagai paparan analisis teknologi yang dilakukan pada situs Gunung Padang. Namun menurutnya, para peneliti jangan terjebak dengan bentuk monumen-monumen peradaban seperti itu sebab bila ternyata tak terbukti, hanya rasa malu yang kemudian muncul.

Terlepas dari benar tidaknya segala teori yang muncul di sekeliling fenomena Gunung Padang, pendapat mengenai pelajaran menghadapi bencana merupakan satu pemikiran yang layak dikedepankan. Akan makin banyak nyawa bisa diselamatkan bila benar banyak bangunan akan lebih aman dari bencana bila memiliki fondasi berisi pasir. (Web Warouw/Sulung Prasetyo)


Tanggapan

  1. […] ILMU PELET10 Dokumen Rahasia FBI Tentang Misteri DuniaKisah Misteri di cover album the beatlesPerjalanan ke Gunung Padang, Mengulik Peradaban yang HilangPerjalanan ke Gunung Padang, Mengulik Peradaban yang Hilang // […]


Tinggalkan komentar

Kategori