Oleh: hurahura | 23 Desember 2014

Belajar dari Kearifan Kitab Kuno

Di antara berbagai kitab kuno yang sampai kepada kita, ada dua kitab yang dikenal luas, yakni Mahabharata(yudha) dan Ramayana. Kedua kitab itu berasal dari India, ditulis oleh pujangga termashur pada zamannya ribuan tahun yang lalu. Masing-masing kitab tebalnya berjilid-jilid. Karena itu isinya pun mengenai berbagai hal, seperti filosofi kehidupan, nasehat, dan peristiwa sehari-hari. Kedua kitab kuno itu banyak menyinggung hal yang bersifat universal dan masih memiliki relevansi dengan masa sekarang, sehingga digemari di seluruh dunia.

Salah satu bagian dari Mahabharata yang paling banyak dijadikan panutan adalah kitab Bhagavad Gita (BG). Sebenarnya isi utama kitab itu adalah percakapan antara Arjuna (sebagai murid) dengan Kresna (sebagai guru). Banyak pesan moral terkandung di dalam kitab itu karena Arjuna dan Kresna banyak menampilkan dialog yang menyentuh hati. Isi BG dipandang penuh dengan hal-hal kebajikan dan keteladanan.

Dialog Arjuna – Kresna itu berlangsung di medan perang Kuruksetra, sebelum terjadi perang besar antara dua keluarga, Pandawa dan Kurawa, untuk memerebutkan takhta kerajaan. Dikisahkan, perang itu terjadi akibat ketidaksediaan pihak Kurawa untuk mengembalikan takhta kerajaan kepada pihak Pandawa.

Sesungguhnya, sebagai sesepuh Kresna sudah mengusahakan perdamaian. Namun usahanya ditolak oleh pihak Kurawa. Pertempuran pun nyaris dimulai. Tapi Arjuna, salah seorang pahlawan Pandawa, malah menolak untuk bertempur dan berniat merelakan dirinya dibantai saja oleh kaum Kurawa tanpa perlawanan.

Arjuna merasa tidak bergairah untuk bertempur, mengingat pihak musuh terdiri atas para saudara, guru, sahabat, dan orang-orang yang dikasihinya. Seketika tanpa sadar, seluruh tubuh Arjuna kaku, mulutnya kelu, senjata terjatuh dari tangannya, kakinya bergetaran, dan pikirannya linglung.

“Aku mendapat firasat buruk dan tak kulihat hal yang baik dalam membunuh sanak saudara di dalam pertempuran. Aku tidak mencari kemenangan, juga tidak mencari kekuasaan tertinggi dan kesenangan-kesenangan duniawi. Jauh lebih baik hidup sengsara di dunia ini daripada membunuh para tetua yang patut dimuliakan itu. Setelah membunuh mereka, tak ada yang kudapatkan selain suka cita bergelimang darah,” kata Arjuna kepada Kresna (Bhagavad-Gita, 2004, hal. 43-48).

Kresna yang menjadi sais kereta perang Arjuna lalu menimpali bahwa bunuh-membunuh itu hanya terjadi di dunia yang semu. Di dalam keadaan yang sebenarnya tidak ada bunuh-membunuh. Tiap kasta pun, kata Kresna, mempunyai tugas masing-masing. Seorang ksatria seperti Arjuna harus berperang. Kalau tidak bersedia berperang, maka hinalah dia.

Arjuna merasa serba salah. Berperang berarti melukai atau membunuh keluarga sendiri. Bahkan sebaliknya, dilukai atau dibunuh keluarga sendiri. Kalau tidak berperang, berarti menghancurkan martabat sendiri.


Kitab Suci

Keberadaan BG semakin populer karena kitab ini merupakan bagian dari Bhismaparwa, jilid keenam dari kitab Mahabharata. Di banyak negara, termasuk negara asalnya India, BG dipuja-puja sebagai kitab yang mengandung makna filosofis tentang kehidupan yang luar biasa. Bahkan BG (arti harfiahnya Nyanyian Dewa atau Nyanyian Suci) dianggap sebagai kitab suci yang kelima bagi umat Hindu setelah Rigveda, Samaveda, Yajurveda, dan Atharmaveda.

BG yang diperkirakan ditulis pada tahun 400-450 SM oleh Bhagawan Vyasa, pada garis besarnya terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama, melukiskan disiplin kerja tanpa mengharapkan buah hasilnya dan sifat jiwa yang ada di dalam badan kita. Bagian kedua, mengutarakan disiplin ilmu pengetahuan dan kebaktian kepada Brahman (Tuhan). Bagian ketiga, menguraikan kesimpulan kedua bagian terdahulu disertai disiplin pengabdian seluruh jiwa raga dan kegiatan kerja untuk dipersembahkan kepada Brahman yang kekal.

Banyak pihak juga menganggap BG adalah dharmmasastra (buku petunjuk untuk berbuat yang benar) dan smriti (ilmu pengetahuan yang harus selalu diingat untuk dipergunakan sebagai petunjuk berbuat yang benar).

Para sarjana Barat menilai BG kekal abadi dan bersifat universal. Artinya, tidak untuk zaman dulu saja atau golongan tertentu saja, tetapi merupakan kepunyaan umat manusia yang mencari kesempurnaan hidup dan kedamaian. Tokoh India terkenal, Mahatma Gandhi, pernah berkomentar bahwa BG adalah puisi religius yang agung. Katanya, semakin dalam kita menyelaminya, maka semakin kaya makna yang kita dapatkan (Bhagavad-Gita, hal. 22).

BG sangat jelas menggambarkan bahwa perang fisik itu tidak perlu karena menghasilkan kesia-siaan. Dikatakan, perang telah membuat para pemenang berurai air mata, kesedihan, dan penyesalan. Tidak ada apa pun yang tersisa dari perang, kecuali warisan kesengsaraan.


Ramayana

Salah satu ajaran dari kitab-kitab kuno yang juga sering dijadikan panutan adalah ajaran astabratha (asta = delapan, bratha = perilaku). Astabratha pertama kali dikenal dalam kitab kuno Ramayana. Kitab ini ditulis dalam bahasa Sansekerta, namun kemudian dibuat dalam versi Jawa Kuno. Konsep astabratha Jawa menilai seorang pemimpin antara lain harus memiliki sifat ambek adil paramarta atau watak adil merata tanpa pilih kasih.

Dalam konsep Hindu, astabratha dikaitkan dengan sifat para dewa sekaligus gejala alam. Dikatakan, di dalam diri seorang raja harus berpadu sifat delapan dewa, yakni Indra, Yama, Surya, Soma, Wayu, Kuwera, Waruna, dan Agni. Raja demikianlah yang diyakini mampu berlaku adil, bijaksana, berwibawa, dan welas asih terhadap rakyatnya.

Sebagai Indra (Dewa Hujan), diharapkan raja akan menghujankan anugerah kepada rakyatnya. Lewat hujan, yang diidentikkan dengan air, raja juga diharapkan menumpahkan rezeki sehingga rezeki tersebut selalu mengalir dinamis ibarat air. Air adalah sumber segala kehidupan karena merupakan perangkat penting dalam upacara keagamaan. Maka raja harus pula mampu memberi penghidupan yang layak kepada rakyatnya.

Sebagai Yama (Dewa Maut), disyaratkan raja harus menghukum para pencuri dan penjahat. Dulu di beberapa kerajaan kuno undang-undang hukum begitu ditegakkan. Terlebih karena para penegak hukum adalah seorang pendeta sehingga pengetahuannya akan kitab sastra dan hukum adat menjadi sempurna. Akibatnya kerajaan menjadi tenteram.

Sebagai Surya (Dewa Matahari), diharapkan raja menarik pajak dari rakyatnya sedikit demi sedikit, seperti halnya matahari menguapkan air di bumi sedikit demi sedikit, sehingga tidak memberatkan. Pajak memang merupakan penghasilan terbesar kerajaan. Petugas pajak yang disebut mangilala drawya haji adalah salah satu tokoh yang berperan penting untuk memajukan kerajaan. Dulu kerajaan bisa maju karena banyak petugas pajak bermental jujur dan bersih.

Sebagai Soma (Dewa Bulan), raja harus membuat bahagia seluruh rakyatnya dengan senyumannya yang bagaikan amerta (air suci). Disyaratkan, tindak tanduk raja tidak “memabukkan” rakyatnya dan mampu mengubah sesuatu yang jelek menjadi baik sebagaimana air amerta itu. Dalam mitologi Hindu sebenarnya soma adalah sejenis minuman yang dapat memabukkan pemakainya (berkonotasi negatif). Namun berkat Indra, maka soma mampu “melapangkan pikiran” (berkonotasi positif).

Sebagai Wayu (Dewa Angin), raja harus mampu menyusup ke tempat-tempat tersembunyi. Artinya raja harus senantiasa mengetahui hal-ikhwal rakyatnya dan semua gejolak di berbagai lapisan masyarakat. Banyak raja di Jawa terlebih Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit, sering melakukan perjalanan keliling ke daerah-daerah pelosok sebagaimana diberitakan Kitab Nagarakretagama. Pada zaman Hayam Wuruk inilah Majapahit mengalami masa kejayaannya.

Sebagai Kuwera (Dewa Kekayaan), disyaratkan raja menikmati kekayaan duniawi, bukan kekayaan materi. Dulu berbagai kekayaan di Tanah Jawa, terutama hasil pertanian, berhasil dikelola dan dinikmati dengan baik. Terbukti selama berabad-abad Jawa mendapat sebutan gemah ripah loh jinawi. Negaranya tenteram, rakyatnya hidup makmur.

Sebagai Waruna (Dewa Laut) yang bersenjatakan jerat, raja harus menjerat semua penjahat. Para penjahat selalu menyebabkan kemunduran negara. Dengan kitab hukum yang dijunjung tinggi ditambah para penegak hukum yang tegas dan mampu mengambil keputusan terbaik dalam pengadilan, maka dulu rakyat menjadi taat hukum sehingga mereka takut berbuat jahat.

Sebagai Agni (Dewa Api), raja harus membasmi semua musuhnya dengan segera. Dalam praktik kepemimpinan, api (yang bersifat konstruktif) diidentikkan dengan semangat atau keberanian. Yang termasuk musuh raja adalah pencuri dan penjahat, juga ketakutan, kelicikan, keragu-raguan, dan segala hal yang menghambat dinamika kehidupan bernegara.

Di masa kuno raja benar-benar berpegang teguh kepada dharmma. Raja bersikap adil, menghukum yang bersalah, memberikan anugerah kepada yang berjasa, bijaksana, tidak sewenang-wenang, waspada terhadap gejolak di masyarakat, memberikan rasa tenteram kepada rakyatnya, dan berwibawa.

Bahkan raja tidak sungkan-sungkan untuk memimpin sidang pengadilan. Padahal, menurut kitab hukum Manawadharmmasastra, raja tidak boleh menjadi hakim sendiri. Demi rakyatlah raja terpaksa turun tangan untuk memutus suatu perkara yang pelik.

Mahabharata dan Ramayana telah memberikan pelajaran berharga untuk masyarakat masa sekarang. Banyak kearifan terdapat di dalamnya. Tinggal kita saja bagaimana mau meresapi kedua kitab kuno itu. (Djulianto Susantio)


Tinggalkan komentar

Kategori