Oleh: hurahura | 18 November 2010

Arkeologi dan Politik

Oleh: Djulianto Susantio

Pada awal 2007 konflik Israel – Palestina menghangat. Gara-garanya adalah pihak Israel melakukan ekskavasi arkeologi di dekat kompleks Masjid Al Aqsa. Bagi warga Palestina, Al Aqsa merupakan kompleks suci. Jadi sangat tabu bagi siapa saja untuk menyentuh tempat ini.

Masjid Al Aqsa sendiri berdiri setelah melewati perjalanan sejarah panjang. Semula, Al Aqsa adalah bangunan agung yang didirikan oleh Raja Herodes. Umat Yahudi mengenalnya sebagai Gunung Moria atau Bait Suci. Sementara umat Islam mengenalnya sebagai Haram al-Sharif, masjid suci ketiga setelah Masjidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Medinah.

Konon, pada awalnya Raja Herodes membangun Bait Kedua atau merekonstruksi kembali Bait Pertama yang pernah dibangun Raja Salomo. Bait Pertama mungkin runtuh karena dihancurkan Kerajaan Babylonia. Tempat inilah yang diyakini orang sebagai tempat Abraham mempersembahkan putranya, Iskak, untuk dikorbankan.

Bagi umat Yahudi, tempat yang dianggap suci adalah Tembok Ratapan, hampir berdampingan letaknya dengan Bait Suci. Umat Kristen mengenal tempat ini sebagai tempat Yesus menjungkirbalikkan meja-meja lintah darat.

Di luar bangsa Arab dan Yahudi, tempat ini juga dianggap bersejarah oleh bangsa Romawi. Ribuan tahun yang lalu, umat Yahudi pernah melakukan pemberontakan terhadap Kekaisaran Romawi. Akibatnya, di bawah Raja Titus pada tahun 70 bangunan tersebut dihancurkan.

Setelah Kekaisaran Romawi jatuh, tempat ini kosong selama berabad-abad. Pada 638, ketika tentara Muslim menduduki Yerusalem, mereka membangun Kubah Batu, kemudian Masjid Al Aqsa di dekatnya.

Saat ketegangan Israel – Palestina memuncak, muncullah isu tentang masa depan Masjid Al Aqsa dan lingkungannya. Namun sesuai Konvensi UNESCO tentang perlindungan bangunan bersejarah dari kancah konflik bersenjata, maka kompromi politik pun diambil. Kubah Batu dan Masjid Al Aqsa tidak akan dihancurkan. Untuk itu Israel memperbolehkan sebuah badan Muslim Waqf untuk mengelola kompleks. Dengan catatan, sebagaimana klaim Israel, mereka berhak memasukinya guna menjaga keamanan kompleks tersebut.

Sebenarnya, selama bertahun-tahun keadaan di sini sudah tenang. Biasanya Israel memasuki kompleks melalui sebuah gerbang kecil yang disebut Mougrabi atau Gerbang Moor. Gerbang inilah yang menjadi pusat kontroversi.

Gerbang tersebut sangat tinggi, melebihi Tembok Ratapan. Jadi untuk mencapainya orang harus melewati jalan kecil yang terbuat dari gundukan tanah. Tahun 2006 lalu, tembok itu runtuh akibat hujan deras sehingga harus diganti dengan susunan kayu. Untuk menggantinya, perlu digali sisa-sisa tembok jalan itu hingga ke lapisan batu di bawahnya. Hal ini dimaksudkan supaya dapat dibangun fondasi bagi jalan atau jembatan yang baru.

Palestina menganggap penggalian itu akan membahayakan fondasi Masjid Al Aqsa. Namun menurut seorang pengamat independen dari Institut Injil Prancis di Yerusalem Timur, Pendeta Jerome Murphy O’Connor, penggalian itu tidak membahayakan karena Masjid Al Aqsa dibangun di atas blok Herodian yang sangat besar (Sinar Harapan, 5/3/2007).


Sensitif

Sebenarnya, persoalan Masjid Al Aqsa sudah mencuat sejak 1960-an, ketika Israel dipimpin oleh Moshe Dayan. Jendral bermata satu ini memang dikenal sebagai arkeolog ulung di negaranya. Bersama timnya, Dayan berusaha mencari bukti bahwa Yahudi pernah di sana dan memiliki hak untuk berada di sana. Jadi untuk melegitimasi bahwa Yerusalem merupakan tanah leluhur bangsa Yahudi.

Dari kacamata ilmiah, memang bukti-bukti arkeologi merupakan alat yang otentik untuk mengetahui jati diri bangsa. Itu pun kalau digunakan dengan standar yang benar. Israel beberapa kali menuduh Waqf memindahkan bukti-bukti sejarah Yahudi di dalam Bait Suci dan membuangnya ke tempat sampah.

Sebaliknya, warga Palestina dan umat Muslim di seluruh dunia sangat berkeberatan dengan apa pun yang dilakukan Israel di tempat itu. Segala pekerjaan yang dilakukan Israel, dilambangkan sebagai ancaman bagi warga Palestina. Sampai kini, Gerbang Moor mungkin merupakan peninggalan masa lampau yang paling sensitif keberadaannya karena konflik antarnegara.

Konflik masalah penelitian arkeologi juga pernah terjadi antara Pakistan dan India. Pakistan menganggap India akan “meremehkan” bangsa Islam. Sebaliknya, India memandang Pakistan akan “membinasakan” bangsa Hindu.

Di Indonesia politisasi arkeologi pernah terjadi terhadap Candi Borobudur ketika hendak dipugar. Para pemrotes menganggap Pemerintah Indonesia akan menghidupkan kembali agama Buddha yang di sini masih tergolong minoritas.

Untunglah, upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak dapat dipahami warga. Kini, Candi Borobudur merupakan salah satu warisan dunia dan sudah dianggap milik bersama, yakni seluruh umat beragama di seluruh dunia. Perlu dipahami bahwa arkeologi merupakan ilmu yang multidisiplin dan bersifat universal dengan lokasi penelitian yang tidak dibatasi waktu (atemporal) dan tempat (aspatial).


Tinggalkan komentar

Kategori