Oleh: hurahura | 19 Oktober 2012

Museum Sejarah Nasional Indonesia

Warta Kota, Jumat, 19 Oktober 2012 – Di bagian dasar monumen pada kedalaman tiga meter di bawah permukaan tanah, terdapat Museum Sejarah Nasional Indonesia. Ruang tersebut berukuran 80 x 80 meter. Pada ruangan besar berlapis marmer ini terdapat 51 diorama, yang menampilkan sejarah Indonesia sejak masa prasejarah hingga masa Orde Baru.

Di bagian dalam cawan monumen terdapat Ruang Kemerdekaan berbentuk amfiteater. Ruangan ini menyimpan simbol kenegaraan dan kemerdekaan Republik Indonesia, antara lain naskah asli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang disimpan dalam kotak kaca di dalam gerbang berlapis emas, lambang negara Indonesia, peta kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia berlapis emas, bendera merah putih, dan dinding yang bertulis naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Naskah asli proklamasi kemerdekaan Indonesia disimpan dalam kotak kaca dalam pintu gerbang berlapis emas. Pintu mekanis ini terbuat dari perunggu seberat empat ton berlapis emas dihiasi ukiran bunga Wijaya Kusuma yang melambangkan keabadian, serta bunga Teratai yang melambangkan kesucian. Pintu ini dikenal dengan nama Gerbang Kemerdekaan yang akan membuka seraya memperdengarkan lagu Padamu Negeri diikuti oleh rekaman suara Soekarno membacakan naskah proklamasi 17 Agustus 1945.

Pada sisi selatan terdapat patung Garuda Pancasila terbuat dari perunggu seberat 3,5 ton dan berlapis emas. Pada sisi timur terdapat tulisan naskah proklamasi berhuruf perunggu. Seharusnya sisi ini menampilkan Sang Saka Merah Putih, yang aslinya dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Akan tetapi karena kondisinya sudah semakin tua dan rapuh, bendera suci ini tidak dipamerkan. Sisi utara dinding marmer hitam ini menampilkan kepulauan Nusantara berlapis emas, melambangkan lokasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Soekarno banyak bergumul dengan sejarah. Ucapannya yang terkenal adalah ‘jas merah’, jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Dalam pembangunan Ruang Museum Sejarah Nasional di Monas, Soekarno sendiri turun tangan untuk memeriksa setiap deskripsi tertulis dan gambar adegan untuk diorama. Sayang kemudian terjadi peristiwa G30S 1965, sehingga ada pembelokan cerita dalam beberapa diorama. (Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)


Tinggalkan komentar

Kategori