Oleh: hurahura | 2 Agustus 2010

Naskah itu Ternyata Palsu

Tempointeraktif.com, 22 Oktober 1988 – SYAHDAN, tersebutlah Pangeran Wangsakerta, putra bungsu Panembahan Adiningkusuma, penguasa Keraton Cirebon pada abad ke-17. Berbeda dengan kedua kakaknya, konon si bungsu lebih suka menggauli ilmu pengetahuan ketimbang soal politik dan kenegaraan. Pada masa itulah, sekitar 1677, atas desakan politik Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, Cirebon terbelah menjadi tiga. Pangeran tertua, Syamsudin Mertawijaya, diangkat menjadi Sultan Sepuh, dan berkuasa di Keraton Kasepuhan. Adiknya, Pangeran Badridin Kertajaya, dipromosikan menjadi Sultan Anom. Keduanya punya kedaulatan politik atas sebuah wilayah. Pangeran Wangsakerta, alias Tohpati, sendiri hanya mendapat jabatan fungsional, sebagai panembahan di Puri Keprabonan.

Kekuasaan politiknya tak seberapa besar. Tugas utama Wangsakerta adalah menjadi penasihat kedua kesultanan itu. Namun, Panembahan Wangsakerta lebih terkenal. Ia disebut meninggalkan warisan berupa naskah-naskah sejarah yang disebut Kitab Wangsakerta. Semua naskah itu kini tersimpan di museum sejarah Jawa Barat, di Bandung.

Sejak dua tahun lalu, sebagian naskah itu telah selesai diterjemahkan dan dibukukan oleh Lembaga Sundanologi, yang bernaung di bawah Kanwil P dan K Jawa Barat. Namun, banyak ahli yang meragukan keaslian naskah itu. Puncaknya, bulan lalu diselenggarakan diskusi-panel sejarah di Universitas Tarumanagara, Jakarta. Sebagian besar sejarawan dan arkeolog yang hadir dalam diskusi sehari itu menyangsikan kitab Wangsakerta itu.

Naskah itu dianggap terlalu lengkap dan cermat untuk bisa dikatakan berasal dari masa yang hampir 300 tahun silam. Buntutnya, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) menurunkan tim penyidik ke museum Bandung. Lebih dari separuh naskah Wangsakerta yang ada diambil sebagai contoh penyidikan. Kertas, aksara, dan bahasa dalam naskah itu diteliti secara cermat.

Penyidikan itu rampung pekan lalu. Hasilnya, “Naskah-naskah itu palsu,” ujar Drs. Suwendi Montana, ketua tim penyidik Arkenas itu. Drs. Atja, bekas kepala museum sejarah Bandung, adalah orang pertama yang menemukan naskah Wangsakerta itu, di awal 1970-an. Ketika itu dia tengah mencari bahan acuan untuk menyusun buku sejarah Cirebon. Dalam pencarian itu, Atja mengaku bertemu dengan pedagang barang antik yang bersedia memasok buku-buku kuno eks Keraton Cirebon. Lewat pedagang, satu demi satu naskah “tua” itu mengalir ke rak museum Bandung.

Warisan Pangeran Wangsakerta itu ada 52 kitab, terbagi dalam tiga serial. Yang pertama berjudul Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara, (PRBN), 25 buku. Kitab kedua berjudul Negarakretabhumi, juga 25 buku, dan sisanya terangkum pada kitab Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa. Naskah-naskah itu, konon, disusun oleh sebuah panitia yang beranggotakan cendekiawan dari berbagai negeri yang diundang dan diketuai oleh Wangsakerta.

Arkeolog senior UI, Boechari, 61 tahun, sempat terperanjat membaca kitab PRPBN temuan Atja itu. Ada keanehan di situ. Raja Mataram Kuno, Panangkaran, yang berkuasa di akhir abad ke-8, disebut dengan nama Sri Maharaja Tejahpurnapana Panangkaran. Padahal, nama lengkap putra Prabu Sanjaya itu baru dikenal dalam khazanah sejarah tahun 1950. Sebelumnya, sejarah mencatat nama raja Mataram itu sebagai Dyah Pancapanna Panangkara. Nama baru itu terungkap dari penelitian sejarawan Belanda, De Casparis, untuk disertasinya, setelah ia mempelajari bukti-bukti sejarah terbaru.

Boechari mencatat, dalam banyak hal Kitab Wangsakerta itu sejalan dengan teori-teori De Casparis. Yang lebih aneh, bahkan penyusun Wangsakerta itu juga melakukan kekeliruan yang sama dengan apa yang pernah dibuat oleh De Casparis, yang terungkap setelah ditemukan bukti baru. Boechari mengupas sejumlah kejanggalan lain.

Lantaran banyak keanehan itu, ahli epigrafi dari UI itu sudah lama yakin betul bahwa naskah-naskah Wangsakerta itu palsu. “Ini skandal ilmiah. Panitia Wangsakerta itu tak pernah ada,” ujarnya. Kelengkapan naskah Wangsakerta itu juga sempat membuat Prof. Soekmono, ahli sejarah Arkenas, geleng-geleng kepala. Peristiwa sejarah pada naskah itu ditulis secara runtut tanpa cela, dengan peneraan tahun yang cermat. Ini malah mengundang rasa curiga. “Berat rasanya untuk mempercayai bahwa naskah itu asli,” ujar guru besar arkeologi UI itu.

Satu hal yang perlu dicatat, naskah Cirebon itu tak banyak mengulas soal Kerajaan Tarumanegara. Sejarah Tarumanegara tak menjadi lebih terang pada kitab Wangsakerta. Kegelapan sejarah Tarumanegara juga terjadi pada khazanah sejarah modern. Tampak ada korelasi di antara keduanya.

“Naskah Wangsakerta itu menyontek sejarah modern,” kata seorang seiarawan UI yang tak mau disebut namanya. Atja berang mendengar naskah temuannya dikatakan palsu. “Kalau bangsa sendiri menemukan disepelekan, tapi bila orang Barat yang mendapatkannya dianggap patut dipercaya,” ujarnya. Tentang kelengkapan materi kitab Cirebon itu, “Bukan urusan penemunya, kalau memang penulisnya sudah maju, mau bilang apa,” ujar Atja.

Setiap naskah Wangsakerta itu berbentuk buku, dan ditulis pada daluwang, kertas kuno yang terbuat dari kayu. Pada masa itu, daluwang buatan Cina, kabarnya, telah diperdagangkan di Nusantara. Tebal buku bervariasi. Negarakretabhumi bagian dua misalnya, terdiri atas 98 lembar daluwang 32,5 X 22 cm. Naskah ditulis dalam bahasa Jawa kuno, dan dirampungkan tahun 1693. Kitab-kitab “tua” itu, kata Atja, dibeli dengan harga Rp 1 – 2,5 juta per naskah.

Dananya diambil dari APBD atau APBN lewat Proyek Sundanologi. Siapa pemilik naskah itu, dia tak tahu-menahu, lantaran pihak pialang tak bersedia mengungkapkannya. “Memang begitu kode etik mereka,” ujar Atja, yang kini mengajar di Arkeologi Unpad. Asikin, penduduk Pegambiran, Cirebon, adalah yang mengaku memasok naskah itu ke Atja, sejak 1972. Tentang pemiliknya, Asikin tak bersedia menyebutnya. Yang terang, dia mengaku menerima komisi antara Rp 300 dan Rp 800 ribu untuk setiap transaksi.

Aslikah naskah itu? “Ah, itu kan urusan para ahli,” ujar Asikin. Tapi sesepuh Puri Keprabonan, Cirebon, Pangeran Sulaeman Sulendraningrat, 74 tahun, tak meragukan keaslian naskah “kuno” itu. Semasa hidup, tutur Sulaeman, Panembahan Wangsakerta memang pernah memprakarsai pembentukan tim ahli untuk menulis sejarah Nusantara. Anggota tim itu diambil dari beberapa negeri. Tak hanya cendekiawan Jawa saja yang datang tutur Sulaeman, konon ada pula cendekiawan yang datang dari Kesultanan Trengganu, Pahang, keduanya di Malaysia.

Di Cirebon mereka berkumpul, berdiskusi, dan menulis sejarah selama 21 tahun, dengan berbekal 1.800-an catatan kepustakaan. Anehnya, proyek prestisius tak disebut-sebut dalam Babad Cirebon, yang, sebagaimanana umumnya babad, semestinya mencatat peristiwa penting. Tapi, menurut Sulaeman, itu memang kehendak Wangsakerta sendiri, supaya naskah agung itu luput dari jamahan kompeni Belanda.

Kalau pihak kompeni tahu, naskah itu pasti dimusnahkan. “Agar mereka mudah memutarbalikkan sejarah kita,” kata pangeran itu. Tapi tim Arkenas menemukan bukti lain. Ketika lembaran daluwang itu digosok dengan jari berludah, ternyata warna abu-abunya luntur. Di baliknya, terdapat warna hijau atau merah muda: kertas manila. Bahasa Jawa kuno yang dipakai pun, menurut ketua tim, kelewat dikuno-kunokan, sehingga malah tak mewakili bahasa akhir abad ke-17. “Para wali yang hidup di abad ke-15 menggunakan bahasa Jawa baru,” tutur ketua tim penyidik itu.

Peristiwa ini sangat disesalkan oleh Direktur Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Uka Tjandrasasmita. Katanya, “Bila terdapat unsur penipuannya, kami akan lapor ke polisi.” Putut Tri Husodo, Ahmadie Thaha (Jakarta), Hasan Syukur dan Riza Sofyat (Biro Bandung)


Tinggalkan komentar

Kategori