Oleh: hurahura | 23 Februari 2012

Ekspedisi Cincin Api-Merapi: Merapi – Daya Hidup di “Kerajaan Gunung Api”

KOMPAS, Sabtu, 18 Feb 2012 – Terkuburnya candi-candi ini, baik oleh aliran lahar maupun terjangan awan panas, memberi bukti geologis tentang daya rusak letusan Gunung Merapi pada masa lalu. Daya rusak inilah yang selama puluhan tahun dituding sebagai penyebab hilangnya peradaban besar di Bumi Mataram—meliputi kawasan Kedu (Jawa Tengah) dan Yogyakarta—pada awal abad ke-10. Wangsa Sanjaya dan Syailendra, yang berjaya membangun Candi Borobudur dan Prambanan, tiba-tiba menghilang dari Bumi Mataram. Lalu, penerus dinasti ini mendeklarasikan kerajaan baru di Jawa Timur.

Geolog Belanda, Van Bemmelen, termasuk yang mendukung teori ini. Menurut dia, sekitar tahun 1006, Merapi meletus hebat. Letusan Merapi diikuti runtuhnya kubah lava ke arah barat yang membendung Kali Progo dan membentuk Bukit Gendol. ”Letusan ini menghancurkan kejayaan Kerajaan Hindu di Jawa Tengah, mengubah daerah yang semula subur menjadi lautan abu dan padang pasir,” tulis Bemmelen dalam The Geology of Indonesia, 1949.

Bemmelen mengaitkan penafsiran dia terhadap bentang alam Merapi dengan pralaya yang disebutkan dalam Prasasti Calcuta atau Pucangan yang dibuat oleh Raja Airlangga pada 963 Saka atau 1041 Masehi. Prasasti itu menyebutkan telah terjadi pralaya pada 928 Saka (1006 Masehi) di Medang, ibu kota Kerajaan Mataram Kuno. Walaupun dalam prasasti itu disebutkan pralaya terjadi akibat serangan Raja Wurawari dari Lwaram, Bemmelen lebih memercayai petaka itu disebabkan letusan Merapi.

Namun, Andreastuti, peneliti pada Badan Geologi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, pada 1999 menemukan, tak ada bukti geologis tentang letusan Merapi tahun 1006. Kesimpulan itu dibuat setelah meneliti material hasil letusan Merapi pada 1006 hingga material yang berumur 4.235 tahun lalu.

Material letusan yang angka tahunnya paling mendekati adalah 765-911 Masehi atau 1.112 ± 73 tahun yang lalu. Letusan besar yang dikategorikan subplinian dengan kolom letusan mencapai 10 km dan indeks letusan 3-4 itu menghasilkan tepra atau endapan batu apung di Selo, sisi utara Merapi.

Dari material yang ditemukan dengan rentang umur 4.235-200 tahun lalu, Andreastuti menemukan 11 letusan besar Merapi. Namun, tidak ada material hasil letusan tahun 1006.

Angka tahun 1006 hasil pembacaan Kern (1931) atas Prasasti Pucangan juga dibantah oleh Boechari (1976), yang menyatakan pralaya terjadi pada 1016. Sementara Sedyawati (2006) berpendapat bencana besar itu terjadi pada 1017.

Dari temuan arkeologis, spekulasi letusan 1006 yang menyebabkan perpindahan Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur juga terbantahkan oleh temuan Prasasti Wulakan dan Anjukladang. Prasasti Wulakan yang berangka tahun 925 Masehi merupakan prasasti terakhir di Jawa Tengah. Adapun Prasasti Anjukladang atau Candi Lor yang berangka tahun 937 Masehi merupakan prasasti pertama di Jawa Timur.

Prasasti Anjukladang dibuat oleh Mpu Sindok yang memerintah di Jawa Timur mulai 928 atau 929 Masehi hingga 948 Masehi. Artinya, sebelum 1006 Masehi, Kerajaan Mataram Kuno sudah dipindahkan ke Jawa Timur. Mpu Sindok adalah raja terakhir Dinasti Sanjaya yang memerintah Kerajaan Mataram Kuno dan mendirikan Kerajaan Medang di Jawa Timur dengan ibu kota Watugaluh di tepi Sungai Brantas.

Jika bukan karena bencana Merapi, lalu kenapa Mataram Kuno tiba-tiba memindahkan pusat kekuasaan?

Pertanyaan itu tetap menjadi perdebatan para ahli selama puluhan tahun sampai 27 Mei 2006, saat Yogyakarta diguncang gempa berkekuatan 5,9 skala Richter. Gempa itu menewaskan lebih dari 6.000 jiwa dan menghancurkan puluhan ribu rumah, termasuk Bangsal Trajumas yang menjadi simbol kebijaksanaan Keraton Yogyakarta. Candi Prambanan juga turut rusak, mengingatkan pada foto lama yang menunjukkan kerusakan candi ini saat baru ditemukan Belanda pada awal abad ke-19.

Gempa itu membuka kesadaran baru tentang potensi gempa merusak yang tersimpan di Bumi Mataram. Sebelumnya, gempa kuat terakhir yang tercatat terjadi 10 Juni 1867. Gempa itu telah menghancurkan Kota Yogyakarta, termasuk Tamansari dan Tugu Yogyakarta. Daya rusak gempa di Bumi Mataram masa lalu kembali dikaji.

Jejak adanya gempa besar itu terekam di Candi Kedulan, Tirtomartani, Kalasan, Yogyakarta. Candi yang terkubur oleh lahar dan awan panas ini ternyata juga merekam jejak gempa bumi besar pada masa lalu. Dasar candi yang seharusnya simetris dan solid, saat ditemukan pada 1993, bentuknya bergelombang. Batu-batu fondasi candi rusak parah bekas diguncang gaya lateral yang kuat. ”Hanya kekuatan tektonik gempa bumi yang mampu membuat dasar candi bergelombang,” kata Subagyo Pramumijoyo, pakar geologi Fakultas Teknik, UGM.

Menurut Subagyo, gempa telah merusak Candi Kedulan sehingga tempat pemujaan ini ditinggalkan. Bukti bahwa candi ini ditelantarkan terlihat dari adanya pohon jokong dan aren yang dibiarkan tumbuh di reruntuhan candi. Bertahun-tahun kemudian, banjir lahar dan terpaan awan panas melanda candi yang telah runtuh ini dan menguburnya hingga kedalaman 5 meter. Namun, jejak pohon keras dan aren yang ikut tertimbun menjadi bukti bahwa candi ini ditinggalkan sebelum bencana letusan Merapi.

Sri Mulyaningsih, geolog pada Institut Sains dan Teknologi Akprind, Yogyakarta, juga menemukan jejak gempa di candi-candi lain di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Di Candi Plaosan, misalnya, tampak kerusakan pada fondasi dan tanah yang bergelombang. Di batu-batu penyusun fondasi, lantai, dan halaman terdapat pola retakan dengan arah yang sama. Pagar candi juga miring ke arah barat karena ambles. ”Kondisi seperti itu bukan karena material awan panas ataupun lahar, tetapi karena gaya tektonik yang sangat kuat,” ujar Mulyaningsih.

Dengan menganalisis foto-foto lama Borobudur saat baru ditemukan, Helmy Murwanto berkesimpulan bahwa candi ini juga rusak parah karena gempa. Foto Borobudur sebelum pemugaran 1907-1911 menunjukkan lantai teras di tingkat 8, 9, dan 10 yang bergelombang serta batu-batu penyusun stupa yang berjatuhan. Stupa utama di puncak Borobudur juga rusak parah, menyisakan lubang besar menganga.

”Hanya gempa besar yang bisa membuat lantai candi melengkung seperti itu. Kerusakan pada stupa di bagian atas lebih parah karena semakin ke atas goncangannya semakin besar,” tutur Helmy.

Gempa yang melanda Borobudur, menurut Helmy, sangat dimungkinkan karena adanya sesar-sesar di sekitarnya. Kali Tangsi yang berhulu di Gunung Sumbing mengalami pembelokan arah aliran mengikuti pola-pola kelurusan sesar melewati batuan vulkanis yang keras. Pola kelurusan sesar menyebabkan sungai berbelok-belok dengan sudut tajam. Jejak sesar ini berada sekitar 2,5 kilometer dari Candi Borobudur. ”Sesar-sesar di Borobudur itu sudah ada sejak candi belum dibangun sehingga Borobudur sering diguncang gempa,” ujar Helmy.

Dengan melihat jejak kerusakan di candi-candi itu, Subagyo menilai, gempa bumi pernah membawa kehancuran besar dan berskala regional di Bumi Mataram masa lalu. Bahkan, jejak di Candi Kedulan menunjukkan, sebelum letusan Merapi menerjang, candi itu sudah ditinggalkan karena gempa. Apakah gempa pula yang memaksa pemindahan Mataram Kuno ke Jawa Timur?

Baik gempa bumi maupun letusan Merapi atau kombinasi keduanya barangkali tidak serta-merta memindahkan pusat kekuasaan Mataram Kuno ke Jawa Timur. Akan tetapi, sebagaimana disebutkan NJ Krom dalam Inleiding tot Hindu-Javaansche Kunst, 1923, di Jawa terdapat kepercayaan bahwa tanah yang kerap dilanda bencana alam dianggap telah kehilangan tuah sehingga harus ditinggalkan.


Tinggalkan komentar

Kategori