Oleh: hurahura | 14 Januari 2012

Abstrak Skripsi UI (Bagian 2)

Budiman Budenk, Pemanfaatan Moluska di Situs Song (Gua) Terus, Kecamatan Punung Kabupaten Pacitan Jawa Timur, 2003

Abstrak: Penelitian ini mengkaji aspek subsistensi manusia yaitu dalam pemanfaatan sumber daya fauna dalam hal ini dari jenis moluska sebagai bahan makanan dan peralatan. Pemanfaatan fauna sebagai salah satu alternatif makanan manusia pada masa lalu tercermin dan banyaknya temuan arkeologis di situs arkeologi dan temuan lukisan gua yang menggambarkan jenis-jenis fauna dan aktivitas perburuan.

Melimpahnya deposit sisa fauna, selain dapat menjelaskan pola makan manusia melalui sisa makanan, juga dapat memberikan keterangan tentang kondisi lingkungan, kebiasaan (habit), atau kegiatan ekonomi yang dijalankan oleh manusia masa lalu, Selain sebagai bahan makanan, temuan sisa fauna sering ditemukan dalam bentuk perkakas atau peralatan. Sisa fauna yang ditemukan dalam suatu penelitian arkeologi dapat dikelompokan menjadi ; fauna-fauna kecil (micro fauna), seperti burung, ikan, serangga, tikus, ikan dan moluska ; dan fauna-fauna besar (macro fauna), seperti sapi, gajah, bison.

Sisa fauna kecil (micro fauna) yang dominan yaitu moluska yang ditemukan dalam bentuk cangkangnya baik utuh maupun pecahan (fragmen). Melimpahnya deposit temuan sisa-sisa cangkang moluska di satu situs dapat menggambarkan strategi perolehan pangan yang tidak terbatas hanya pada hewan besar, hal tersebut terlihat dari sebaran temuan sisa-sisa cangkang moluska di situs Song Terus yang merupakan situs yang memiliki sejarah hunian yang panjang. Usaha untuk menginterpretasi adanya pemanfaatan moluska oleh penghuni Song Terus pada masa lalu dilakukan dengan beberapa tahap analisis. Tahapan analisis tersebut terdiri dari analisis faunal yang mengamati aspek fisik dari cangkang moluska yang ditemukan. Gambaran yang diperoleh dari analisis faunal yaitu tingkatan taksonomi dari cangkang-cangkang yang ditemukan, jumlah minimal individu dan jejak-jejak kerusakan kultural (wilayah pukul, jejak pemukulan, jejak pemotongan dan jejak hangus terbakar) melalui pengamatan fisik permukaan cangkang. Analisis artefaktual dilakukan melalui pengamatan morfologi cangkang yang mengamati jejak-jejak pembuatan dan pemakaian cangkang berdasarkan aspek bahan, bentuk, ukuran, jejak buat dan jejak pakai. Jejak yang diamati yaitu adanya kemunculan perimping, penghalusan, goresan, tajaman, dan kerusakan pada tajaman cangkang. Dari analisis ini dihasilkan tipe-tipe artefak dan perkiraan fungsi dari masing-masing tipe artefak. Analisis kontekstual dilakukan dengan mengamati keberadaan cangkang dalam lapisan tanah. Temuan cangkang moluska di Song Terus terdiri dari moluska dari tiga kelas, yaitu ; kelas gastropoda, pelecypoda dan cephalopoda, dan dari tiga habitat yang berbeda, yaitu ; darat, air tawar dan laut. Pemanfaatan moluska di Song Terus terdiri dari pemanfaatan sebagai makanan dan sebagai peralatan. Pemanfaatan sebagai makanan ditunjukan oleh temuan moluska dari kelas gastropoda, terutama dari habitat air tawar yang menunjukan adanya kerusakan pada bagian puncak (apex) cangkang dan bibir (lips) cangkang. Pemanfaatan sebagai peralatan dapat diamati dari temuan fragmen cangkang pelecypoda (habitat laut) yang menunjukan adanya modifikasi untuk tujuan tertentu. Jejak-jejak yang dapat diamati berupa perimping dan permukaan yang halus pada bagian margin, ujung yang runcing pada salah satu sisi cangkang (posterior dan atau anterior margin) dan kerusakan pada runcingan tersebut. Temuan moluska dari Song Terus menunjukkan adanya lima tipe artefak yang kemungkinan dapat diidentitikasi sebagai : 1) penyerut, 2) penyerut dan penusuk, 3) penggosok, 4) penggosok dan penusuk dan 5) mata panah. Kehadiran sisa-sisa cangkang moluska menandakan adanya keragaman pola makan dan penggunaan peralatan oleh manusia Song Terus. Hal ini dapat diasumsikan kerena temuan moluska yang dihasilkan dari ekskavasi tersebar di seluruh kotak gali dan berasosiasi dengan temuan lain. Temuan tersebut diantaranya sisa fauna vertebrata dari jenis ikan (Pisces), unggas (Gallus sp.), War (Boaidae), biawak (Varanidae), kura-kura (Testudinidae), tikus pohon (Soricidae), kelelawar (Chiropteridae), landak (Hyastricidae), tupai (Sciuridae), tikus (Muridae), anjing liar (Canidae), kucing (l”elidae), musang (Viverridae), kerbau (Bovidae), rusa (Cervidae), babi (Suidae), badak (Rhinoceritidae), dan gajah (Elephantidae). Temuan lain yaitu artefak dari tulang, artefak litik, material litik, fragrnen tembikar, sisa flora, lapisan tanah dan rangka manusia. Interpretasi terhadap keadaan lingkungan purba di sekitar wilayah gua dapat diamati dari sebaran moluska darat, selain jenis hewan lain. Kehadiran moluska darat pada satu daerah menunjukan bahwa daerah tersebut memiliki tingkat kelembaban yang tinggi. Keragaman jenis fauna dan sumber daya alam lain inilah yang menjadi salah satu faktor keidealan hunian, sehingga manusia memiliki banyak alternatif bahan makanan dan peralatan, selain sumber lain seperti air dan morfologi tempat hunian tersebut.

Lindia Chaerosti, Tata Ruang dan Tata Bangunan Keraton-keraton di Cirebon, 1990

Abstrak: Keberadaan keraton dalam suatu kerajaan memegang peranan penting, karena keraton selain sebagai tempat tinggal raja beserta keluarganya merupakan pula suatu bangunan inti yang berfungsi sebagai pusat kerajaan sekaligus sebagai pusat kota. Keraton sebagai hasil karya arsitektur masa lampau merupakan obyek yang menarik untuk diteliti. Dibaliknya tersembunyi simbol yang mengisyaratkan kekuasaan dan kesucian seorang raja. Mengingat bangunan keraton atau istana merupakan tempat raja bersemayam, maka tentunya dalam pembuatan keraton disesuaikan dengan kebutuhan dan nilai seorang raja. Dalam tesisnya yang meneliti Keraton Kasunanan Surakarta, Behrend melihat adanya bentuk yang hampir sama (mirip) dalam tata keraton, antara keraton tersebut dengan Keraton Kasultanan Yogyakarta. Terlihat dari pola pembagian wilayahnya, pola pembagian halamannya dan juga dari bangunan-bangunan yang ada di dalam keraton. Keadaan tersebut menjadi suatu model penelitian dan dasar pemikiran untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang keraton, khususnya pada Keraton Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan yang terdapat di Cirebon. Penelitian yang dituangkan dalam bentuk skripsi ini pada dasarnya ingin melihat kemungkinan adanya suatu pole tertentu dalam bentuk tata ruang dan tata bangunan keraton, khususnya terhadap keraton-keraton yang ada di Cirebon. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa pada prinsipnya kita melihat adanya suatu pola yang sama pada tata ruang dan tata bangunan keraton-keraton di Cirebon, walaupun tidak sama persis dengan keadaan (tata keraton) yang terlihat pada Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Hal itu didasari oleh adanya suatu pemikiran atau konsep mengenai mikrokosmos-makrokosmos dalam masyarakat, serta dipengaruhi oleh tradisi lainnya yang telah berkembang pada masa pra-Islam. Perbedaan dalam tata keraton, antara keraton-keraton di Cirebon yang merupakan peninggalan Kasultanan Cirebon, dengan Keraton Surakarta dan Yogyakarta sebagai peninggalan dinasti Mataram Islam, kemungkinan menunjukkan suatu perbedaan bentuk antara keraton-keraton dari kerajaan pesisir dan pedalaman. Dari penelitian ini kita juga mendapatkan gambaran tentang bangunan-bangunan yang menjadi bangunan inti sebagai suatu prasyarat sebuah keraton. Fungsi bangunan dan tingkat kepentingannya sangatlah menentukan lokasi atau daerah penempatannya dalam ruang (halaman) keraton. Bertolak dari hasil penelitian ini, diharapkan akan dilakukan suatu penelitian lebih lanjut terhadap keraton, khususnya pads keraton-keraton yang berada di pesisir dan pedalaman.

Cahya Indah Sari Dewi, Kelenteng Talang: Kajian Deskripsi Bangunan, 2005

Abstrak: Kebudayaan merupakan hasil dari cipta rasa dan karsa manusia. Salah satu unsur dari kebudayaan manusia tersebut adalah religi. Religi selalu berkaitan dengan kehidupan manusia baik masa lampau maupun masa sekarang. Religi atau kepercayaan pada hal-hal yang bersifat spiritual selalu berkaitan erat dengan kehidupan manusia. Kepercayaan pada hal-hal yang bersipat spiritual ini mempercayai adanya kekuatan lain di luar diri manusia yang mengusai alam semesta atau adanya”Yang Maha” atas segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Setiap religi atau agama memerlukan wadah dan sarana untuk menunjang aktivitas peribadatannyya. Salah satu bentuk wadah dan sarana tersebut adalah bangunan suci. Oleh kerena aktifitas ritual peribadatan pada setiap agama adalah berbeda, maka secara logikanya kebutuhan akan tempat dan ruangan pun berbeda. Kebutuhan ini indentik dengan rasa nyaman, praktis dan sesuai dalam melakukan aktivitas ritual peribadatan. Hal ini pun indentik dengan ajaran dan nilai yang ada dalam agama itu sendiri. Kebutuhan ini kemudian diwujudkan dalam konsep pembangunan suci yang kemudian menjadi salah satu penyebab timbulnya kekhasan bentuk pada sebuah bangunan suci. Salah satunya adalah mesjid. Dalam sebuah konsep penataan ruang pada sebuah bangunan mesjid yang selalu lapang, terdapat kolam bersuci dan adanya batasan yang memisahkan penempatan jemaah perempuan dan laki-laki., Kelenteng juga memiliki konsep penataan ruang yang disesuaikan dengan kebutuhan para pemeluknya. Hal ini tercermin dalam pola penataan ruang, sistem kontruksi bangunan, dan komponen-komponen yang terdapat di dalamnya.

Lani Kumarika Dharma, Arca Perunggu Avalokitesvara Jawa Tengah Koleksi Museum Nasional Jakarta: Sebuah Telaah Ikonografi, 1985

Abstrak: Avalokitesvara merupakan Bodhisattva yang dianggap penting dalam agama Budha Mahayana. Bukti adanya pemujaan Avalokitesvara di Jawa Tengah selain diketahui dari penemuan sejumlah arca Avalokitosvara, diketahui pula dari prasasti. Dalam penelitian ini yang dipergunakan sebagai data primer ialah 14 buah arca Avalokitosvara koleksi Museum Nasional Jakarta asal Jawa Tengah, bahan perunggu. Tujuan yang hendak dicapai ialah untuk mengetahui sejauh mana ketentuan pengarcaan Avalokitosvara seperti yang disebutkan Sadhanamala diikuti di Jawa Tengah. Ciri yang sama antara Avalokitosvara Jawa Tengah dengan ketentuan dalam Sadhanamala adalah hiasan pada mahkota yang berupa bentuk Amitabha. Identifikasi tidak berhasil dicapai. Tidak satu pun arca yang mengikuti semua ketentuan salah satu perwujudan Avalokitosvara seperti yang disebutkan Sadhanamala. Arca Avalokitosvara dipergunakan sebagai obyek meditasi. Mantra yang digoreskan pada umpak arca memperkuat dugaan tersebut. Kepustakaan yang dipergunakan berjumlah 63 buah, yang tertua tahun 1896, yang termuda tahun 1984…

Geofano Dharmaputra, Bangunan, pemukiman, dan penduduk di pulau Onrust tahun 1803 dan 1864: sebuah kajian hipotetis, 1985
Masalah pemanfaatan ruang pemukiman oleh sejumlah penduduk di masa lalu merupakan salah satu aspek kajian penting dalam arkeologi. Pulau Onrust merupakan sebuah pemukiman dan tempat yang cukup penting pada masa kolonial Belanda di Indonesia dari abad ke-17 sampai awal abad ke-20. Namun penelitian tentang pemukiman dan penduduk tempat itu belum banyak dilakukan, sehingga pengetahuan tentang tempat itu tidak banyak diketahui. Data sejarah pulau Onrust sedikit jumlahnya, tetapi tinggalan arkeologisnya cukup banyak, terutama dari abad ke-19. Juga diketahui ada dua peta penting dari tahun 1803 dan 1864. Sayang data demografinya belum ditemukan. Berdasarkan kedua peta itu dan data arkeologis pulau Onrust, maka skripsi ini berusaha mengkaji masalah pemanfaatan ruang dan memperkirakan jumlah penduduknya, yaitu dengan menggunakan pende katan analisis keruangan dan analisis perkiraan jumlah penduduk. Pendekatan tersebut dilandasi oleh konsep ekologi manusia, teori pemanfaatan ruang Burress, dan-teori perkiraan penduduk arkeologi. Untuk memperoleh gambaran mengenai pola pemukiman tahun 1803 dan 1864, digunakan teknik analisis tataguna tanah dan tataletak bangunan. Untuk memperoleh gambaran tentang jumlah penduduknya, dikerjakan analisis perkiraan berdasarkan ukuran-ukuran bangunan dan luas pemukiman. Data hasil analisis keruangan dan analisis jumlah penduduk dikorelasikan untuk dicari kebermaknaannya.

Tarida Diami, Klasifikasi bata bertanda koleksi Museum Situs Muara Jambi, 2005
Menunjkan bahwa ada 6 kelompok tanda, 2 teknik pembuatan tanda, 2 letak tanda. Tanda-tanda tersebut berupa bentuk geometris, tanaman, hewan, manusia, bangunan dan peralatan. bentuk tanda yang paling banyak digambarkan adalah bentuk geometris. Teknik yang digunakn untuk membuat tanda pada bata adalah teknik gore sdan teknik tekan. Teknik yang paling banyak adalah teknik gores. Ada tanda yang terletak di bagian permukaan bata dan ada pula tanda yang terletak di bagian samping. bagian yang paling banyak diberi tanda adalah bagian permukaan tanda.

1998 H RB 03 I 300 t Intan Ungaling Dian, Tinjauan gaya arsitektur dan latar belakang keagamaan Candi Sanggrahan Tulungagung, Jawa Timur, 1998
Penelitian mengenai gaya arsitektur dan latar belakang keagamaan candi Sanggrahan telah dilakukan, tujuannya ialah untuk mengidentifikasi bentuk gaya arsitektur dan latar belakang keagamaan, serta kronologi bangunan yang terdapat di Candi Sanggrahan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data lapangan dan data kepustakaan. Penelitian dilakukan berdasarkan bentuk arsitektur candi Sanggrahan, kemudian di bandingkan dengan bangunan candi lain yang mempunyai kemiripan bentuk arsitektur dengan candi Sanggrahan. Sedangkan penelitian latar…

Hasan Djafar, Girindrawarddhana beberapa masalah Majapahit akhir, 1974
Dalam seluruh periode sejarah Kuna Indonesia banyak sekali kita dapati bagian-bagian yang masih samar-samar dan gelap, bahkan banyak pula kekosongan-kosongan dan bagian-bagian yang masih fragmentaris. Keadaan yang demikian ini menyebabkan tidak dapat diketahuinya gambaran yang menyeluruh dan jelas tentang perjalanan sejarah bangsa Indonesia dengan segala aspek kegiatannya pada masa yang lampau. Di antara kekosongan-kekosongan dan bagianbagian yang masih gelap itu yang harus mendapat perhatian pula di antaranya ialah yang terdapat pada periode Majapahit Akkir. Selama masalah ini belum terpecahkan maka keadaan sejarah Majapahit Akhir tetap borada dalamkegelapan (Krom, 1931:295; Pitono), 1964:139 cat. 1). Kita telah mengenal kerajaan Majapahit sebagai salah satu kerajaan besar di Indonesia pada masa Yang lampau. Kerajaa ini telah mencapai punca…

Hasan Djafar, Ken Angrok CriRanggah Rajasa Bhatara Sang Amurwwabhumi sebuah pembitjaraan tentang tokoh sejarah kuno Indonesia sekitar awal abad ke-XIII A.D, 1967 (Skripsi Sarjana Muda)
Salah satu persoalan sejarah kuna Indonesia yang sangat sulit dan belum banyak terungkap dengan jelas ialah mengenai Ken Arok. Yang menjadikan persoalan Ken Arok ini sebagai suatu persoalan sejarah yang sulit belum terungkap dengan jelas ialah disebabkan karena terbatasnya jumlah sumber-sumber Ken Arok timbul berbagai pihak berbagai penafsiran dan pendapat yang saling bertentangan. Pada garis besarnya sumber-sumber sejarah tentang Ken Arok, Yaitu sumber-sumber yang menyebutkan atau memberikan keterangan tentang Ken Arok, dapat kami bagi menjadi dua golonganyaitu: 1. sumber-sumber yang berupa karya sastra. 2.sumber-sumber berupa prasasti (pracasti)

Djarot, A.P, Perbingkaian candi masa Singhasari telaah perbandingan bentuk dan ukuran, 1986
Setiap bagian candi. (kaki, badan,serta atap) umumnya terdiri dari perbingkain bawah, dinding,perbingkaian atas. Perbingkaian yang terdapat pada.candi-candi di Jawa Timur, mempunyai jumlah bingkai lebih banyak dibanding dengan perbingkaian candi.di Jawa Tengah.Candi pendharmaan di Jawa Timur yang jelas mempunyai batas waktu adalah candi masa Singosari .Pengamatan perbingkaian candi masa Singosari melalui perbandingan bentuk dan ukuran, belum pernah dilakukan. Berdasarkan alasan tersebut, dilakukan pengamatan dengan tujuan untuk memperlihatkan pola dan gaya candi masa Singosari. Tahapan kerja yang digunakan adalah memilahkan tiap bagian candi dan bagian tersebut dipilahkan lagi berdasarkan perbingkainya. Kemudian diuraikan berdasarkan bentuk dan ukuran , mulai dari candi yang paling tua. Selanjutnya, tiap perbingkaian dan bagian candi dibandingkan dari empat candi yang dijadikan sampel ( Kidal, Jago, Jawi, dan Singosari). Hasil yang diperoleh dari pengamatan perbingkaian adalah candi yang paling tua mempunyai pola yang lebih teratur dan mempunyai gaya yang lebih sederhana. Dengan demikian terdapat perbedaan kronologi jika dibanding dengan data sejarah, terhadap candi masa Singosari.

(Bersambung)

*Terima kasih untuk Suci Septiani


Tinggalkan komentar

Kategori