Oleh: hurahura | 7 Juli 2010

Merubah Pendapat Lumrah

Tempo, 18 Mei 1974 – ADALAH Thomas Stamford Raffles, yang mula pertama berpendapat bahwa candi adalah bangunan pemakaman raja-raja. Letnan Gubernur Jenderal yang memerintah negeri ini (1811-1816) sebagai wakil pemerintah Inggeris itu juga dikenal sebagai ilmiawan, terutama karena kegemarannya menyelidiki peninggalan purba. Dalam bukunya The Hisrory of Jaa, ia menyebut candi sebagai cungkup — terutama berdasar hasil penyelidikan terhadap beberapa candi Jawa Timur seperti Semanding, Sanggrahan dan Tigawangi.

Cungkup adalah bangunan yang didirikan di atas sebuah makam. Ia juga mendasarkan pendapatnya pada riset Wardenaar, petugas RaMes, yang pada tahun 1815 menemukan peti abu jenazah — disebut pripih — di dasar kolam tengah candi Jalatunda Mjokerto.

Dan sejak 1835 ketika Van Hoevel memperkuat penlapat itu, para sarjana yang kebanyakan berkebangsaan Belanda sudah pada ainulyakin bahwa candi adalah makam. Lagi pula Dr. W.F. Stutterheim, setelah membaca kitab kuna Nagarakrtagama, pada tahun 1931 membulatkan pendapat itu. Ia menyatakan bahwa jenazah raja, setelah dibakar, sebagian abu dilarung (dibuang ke laut) dan sebagian lagi disimpan dalam pripih di atas sumuran itu candi.


Doktor-Doktor

Adalah R. Soekmono, yang mula pertama membatalkan pendapat yang selama seabad lebih dianut orang itu. Sarjana purbakala UI (1953) kelahiran Ketanggungan Brebes (1922) ini berpendapat bahwa candi bukaniah makam, melainkan kuil — tempat menyembah dewa dan memuja roh nenek-moyang. “Unsur Dewa ialah yang menyediakan dzat rohaniah dan menurunkannya di rongga atap candi ke dalam arca, unsur nenek-moyang menyediakan dzat jasmaniah dari dalam perigi candi”, tulis Soekmono.

Pada saat upacara penyembahan atau pemujaan, arca itu dianggap “menjadi hidup”. Dengan disertasi yang disiapkannya selama 15 tahun berjudul Candi, Fungsi dan Peranannya, nyaris setebal 00 halaman, Sabtu 27 April kemarin pimpinan Proyek Pelita Restorasi Candi Borobudur itu berhasil mempertahankan pendapatnya di aula UI Salemba.

Di bawah pimpinan rektor UI Prof. Dr. Mahar Mardjono, Soekmono dianugerahi gelar Doktor Arkeologi dengan predikat cum laude. Sekarang jumlah sarjana arkeologi memang telah mencapai 50 orang. Tiga puluh lima di antaranya lulusan UI, selebihnya tamatan Gajah Mada dan Udayana.

Tapi doktor pribumi pertama lulusan UI yang Soekmono itu — sementara doktor asing pertama lulusan perguruan yang sama adalah JG de Casparis, sarjana Amsterdam — yang tahun 1950 mempertahankan Inscriptie in de Sailendra tijd dengan promotor Prof. Dr. Kempers. Adapun doktor purba kala pribumi lulusan Leiden adalah Prof. Dr. R. Ng. Purbatjaraka dan Prof. Dr. PRA Husein Djajadiningrat. Sekian mengenai doktor-doktor.

Lalu karena promovendus Soekmono menggunakan pendekatan dari sudut filologi — ilmu mempelajari akar bahasa dan sastra — maka promotornya pun Prof. Dr. Zoetmulder SJ, filolog dan ahli sastra Jawa Kuna. Bahwa candi dianggap makam, harap diketahui, hanyalah berdasar cerita-cerita rakyat saja.

Begitu Soekmono. Apalagi ketika itu tersebar semacam takhyul terhadap candi yang dianggap penuh misteri. Dalam Babad Mataram misalnya diceritakan: putera mahkota kesultanan Yogyakarta meninggal thun 1758 karena mendapat musibah di Borobudur. “Baginya berlaku pantangan untuk melihat ‘arca seribu’ di sana, sebab salah-satu di antara arca-arca itu menggambarkan ‘seorang ksatria terkurung dalam sangkar’.

Sebaliknya sang pangeran justru hendak bertemu dengan ksatria yang malang itu”, tulis Soekmono. Titik Temu Pada zaman Raflles, rakyat sudah jauh dari ‘zaman candi’ dan tidak lagi menganut agama Hindu maupun Budha. “Tak mustahil salah pengertian itu pada mulanya ditanamkan secara sengaja dalam hati dan kehidupan rakyat agar masyarakat yang telah beralih agama itu tidak secara mendadak sontak kehilangan pegangan batinnya dan goyah kepercayaannya”, tulisnya di bagian lain.

Maksudnya, agama Islam yang menggantikan Hindu dan Budha — dan mengharamkan pemujaan patung — mendapatkan “titik temu yang sangat sesuai” dengan pengertian candi sebagai makam alias makam orang-orang keramat, dan bukan kuil. “Dari mana rakyat mendapatkan pengertian itu kalau kini ternyata bahwa penelitian kita selama ini tidak berhasil menemukan titik persesuaian dengan kepercayaan yang hidup di kalangan rakyat?” tanya Soekmono. “Sekarang ternyata, cerita rakyat itu bersumber kepada ketidaktahuan dan salah pengertian.

Jelas mengapa penafsiran candi sebagai makam tidak mendapat dukungan — apalagi pembuktian — dari bahan-bahan serta keterangan-keterangan authentik yang telah kita kumpulkan”. Soekmono menegaskan lagi bahwa abu jenazah yang khusus disimpan dalam candi — yang dikemukakan oleh Stutterheim — hanyalah sisipan belaka untuk membenarkan dan melengkapi teorinya tentang makam candi. “Nyatanya dalam Nagarakertagama tidak ada kata-kata demikian dan keadaan di Bali membantahnya pula”, tulisnya.

Di Bali itu, meskipun ada upacara pembakaran jenazah, tak ada kebiasaan menyimpan abunya. Sisa-sisa jenazah dianggap mencemarkan tempat pemujaan seperti pura. Lagi pula harap diingat bahwa dulu hanya ada tiga macam upacara kematian — yakni nglarung ke laut, membakar dan nyetra (menggeletakkan mayat begitu saja di tengah hutan).

Belenggu Soekmono telah menelaah tak kurang dari 10 buku-buku kuno –antara lain Nagarakrtagama, Sutosoma, Arjunaviwaha, Smaradhahana, Bhomakawya, Narakawijaya, Indrabandhana, Abimanytwivaha, Hariwijaya Semuanya memperkuat pendapatnya bahwa candi adalah kuil.

Demikian pula ketika ia menekuni lebih dari 100 biji prasasti yang kebanyakan bertarikh delapan abad sesudah Masehi — seperti prasasti Plumpungan, Canggal, Dinoyo, Kalasan, Kelurak dan sebagainya. Tentu saja ia pun keluar-masuk beberapa candi Indonesia — terutama di Bali — dan Asia Selatan seperti Kamboja. Setelah diperiksa secara kimiawi, beberapa abu jenazah yang diketemukan di beberapa candi ternyata sulit disebut sisa-sisa jenazah manusia.

Bahkan ada yang terang-terang menunjukkan bangkai binatang. Tak ayal lagi, Soekmono pun merasa perlu “meninjau kembali hasil penelitian yang terdahulu dalam rangka yang lebih luas dengan pengarahan yang lebih tepat”. Dan dengan mantap ia pun mengunci pendapatnya, bahwa penetapan candi sebagai kuil “dapat membebaskan candi dari ‘belenggu pengasingannya’ dan menempatkannya dalam kerangka keseluruhan ungkapan yang bersumber kepada alam fikiran agama Hindu dan Budha”.

Dan tentu saja, ini juga berarti mengembalikan candi sebagai “mata rantai dalam perkembangan kebudayaan Indonesia sejak dari zaman prasejarah sampai kepada hari ini”.


Tanggapan

  1. wah trnyata gtu y..?
    t4 penyimpanna abu para raja2..
    🙂


Tinggalkan komentar

Kategori