Oleh: hurahura | 3 Desember 2010

Pemusnahan Kedua Benteng Somba Opu?

Oleh: Horst Liebner
Universitas Leeds

Rumah Adat Mandar, Benteng Somba Opu, Makassar
Pada 14 Juni 1669, jam 6 sore, bunyi sebuah ledakan mahadahsyat menggemparkan Makassar: Balatentara gabungan Bugis-Maluku-Buton-Belanda yang sudah selama dua setengah tahun berusaha habis-habisan untuk menaklukkan Kerajaan Gowa-Tallo itu meledakkan beratus-ratus kilogram mesiu yang tersembunyi di dalam sebuah terowongan di bawah tembok Benteng Somba Opu. “Seluruh langit berkabut hitam, dan teramat-amat banyak batu bata dilemparkan ke atas lalu berjatuh-jatuhan kembali sekeliling kami”, demikian laporan Admiral Speelman, komandan Belanda.

Ledakan amat besar itu meruntuhkan hampir 30 meter tembok, dan para prajurit koalisi anti-Makassar –sekitar 2000 orang Bugis, 200 orang Maluku, 200 orang Buton dan 100 serdadu dan awak kapal Belanda– berlari menyerang lubang yang terbuka jauh dalam tembok yang selama ini tidak dapat mereka hancurkan dengan meriam terbesar pun. Akan tetapi, dari dalam benteng dua lusinan prajurit melompati liang menganga yang dibuka letusan itu, dan dengan segigih-gigihnya mempertahankan celah yang terbabang dalam pertahanan terakhir Makassar itu.

Pada malam itu tiada musuh yang berhasil menembus ke dalam Benteng Somba Opu, dan serangan yang lebih dahsyat pada pagi hari esoknya pun gagal. Sebagaimana dilaporkan Speelman, serangan sore hari 15 Juni berakhir pada suatu pertempuran “malam paling mengerikan, yang suaranya bahkan tidak pernah didengar oleh veteran perang di Eropa” – tetapi bagaimanapun, Benteng Somba Opu belum juga dapat ditaklukkan.


Pembangunan di areal benteng untuk fasilitas kepariwisataan. Jelas merusakkan situs dan tidak sesuai dengan prinsip pelestarian.

Tanggal 17 Juni hujan deras mulai turun tak henti-hentinya selama seminggu, dan serangan berikutnya terpaksa ditunda. Pada malam tanggal 22/23 Arung Palaka dan ksatria Bugis setianya habis kesabarannya, dan menyerang lagi – dan setelah suatu pertempuran amat sengit akhirnya berhasil menerobos ke dalam benteng. Meski hujan masih turun dengan deras, mereka mulai membakar dan menjarah gudang, rumah, dan istana di dalamnya. Para pembela benteng berusaha bertahan dengan kukuh di dalam kobaran api reruntuhan benteng, tetapi akhirnya harus kalah pada sore hari tanggal 24 Juni 1669: Karena terkepung api, Sultan Hasanuddin dan setangan penuh prajurit yang bertahan di ujung tenggara Benteng Somba Opu, pada pagi hari terpaksa melarikan diri ke benteng Kale Gowa; orang-orang Melayu yang bertempur sampai akhir di bagian selatan benteng pada waktu sore menyerang dengan gigih serdadu Bugis dan Belanda yang sedang sibuk membakari benteng, dan meloloskan diri ke perahu-perahu yang dilabuhkan di Sungai Jeneberang. Pada kegelapan malam hari itu juga mereka bersama ratusan orang Makassar, Wajo dan Mandar berhasil menerobos blokade kapal-kapal Belanda di laut, dan berlayar menjauh, mencari perlindungan dan kehidupan baru di negeri-negeri yang belum ditaklukkan penjajah.

Dengan hengkangnya orang Melayu ini habislah pula perlawanan Makassar terhadap koalisi pimpinan Arung Palakka dan Admiral Speelman: Lima hari setelah Somba Opu jatuh ke tangan musuhnya, Sultan Hasanuddin turun takhta. Dan agar Gowa-Tallo tidak lagi bisa bangkit dan melawan penguasa Sulawesi Selatan yang baru ini, pada minggu-minggu berikutnya Benteng Somba Opu diratakan dengan tanah. Pusat kota yang sebelumnya terbangun di sekeliling benteng sudah dihancurkan pada dua tahun perang sebelumnya, dan Speelman mengeluarkan perintah bahwa tiada akan lagi seorang pun yang boleh mendirikan rumahnya di kawasan bekas kejayaan Makassar itu; sisa-sisa penduduk kota –dari sekitar 100.000 warganya sebelum perang tertinggal kurang-lebih 5.000 orang saja– harus pindah ke kawasan utara Fort Rotterdam, yang didirikan di atas reruntuhan Benteng Ujung Pandang yang sudah setahun sebelumnya menjadi milik Belanda.


Kita tidak pernah belajar dari masa lalu. Mengapa pengrusakkan selalu terjadi di situs-situs bersejarah. Uang selalu mengalahkan ilmu pengetahuan.

Dengan adanya perintah pengosongan ini, maka situs benteng terbesar dan terkuat yang pernah dibangun di Nusantara ini lambat-laun terlupakan, dan kawasannya menjadi rawa belantara. Sungai Jeneberang beberapa kali mengubah alirannya, dan menguburkan sebagian dari bangunan benteng yang tidak sempat dihancurkan. Baru pada akhir 1980-an, lebih daripada 300 tahun setelah penghancurannya, Somba Opu menjadi lagi buah bibir masyarakat Makassar: Dari orang-orang yang tinggal di kampung terpencil di muara Sungai Jeneberang, beberapa sejarahwan UNHAS mendengar berita adanya tumpukan batu bata yang luas, dan setelah mereka menelusuri lokasinya dan meneliti arsip-arsip Belanda, terbukti bahwa reruntuhan tembok dan tumpukan batu-batu bata itu adalah sisa pusat kota Makassar pada abad ke-16 dan ke-17. Bukan hanya Benteng Somba Opu, tetapi juga Benteng Panakukang dan sekian banyak bangunan lainnya yang didirikan di sekeliling pusat kota pada zaman itu ditemukan kembali. Dan untunglah ada Professor Ahmad Amiruddin, rektor UNHAS yang kala itu menjadi gubernur Sulawesi Selatan: Dengan bantuan dana bermilyar-milyar Rupiah dari propinsi Sulsel, UNHAS dan beberapa dermawan maka para ilmuwan itu bisa meneliti, mengekskavasi, dan akhirnya mulai mendirikan kembali pusat historis kota termasyhur Sulawesi.

Para ‘pendiri kembali’ Benteng Somba Opu itu tak main-main: Mereka berencana membangun ulang bukan saja tembok benteng itu, tetapi juga berusaha mendirikan sebuah kawasan ‘museum hidup’ sejarah dan budaya Sulawesi yang tertata mengikuti teladan museum-museum mutakhir luar negeri. Rumah-rumah adat yang didirikan di kawasan situs Benteng Somba Opu bukan ‘istana-istana mimpi’ seperti yang dibangun di TMII di Jakarta, tetapi betul-betul mengikuti teladan rumah tradisional asli yang terdapat di berbagai daerah; bahkan, sebagian rumah mencontoh gambar dan pesan yang terdapat dalam naskah-naskah lontaraq Sulawesi. Adapun salah satu rumah yang mengikuti teladan rumah ‘tradisional’ Belanda di Indonesia – bukanlah keberadaan orang negeri kincir itu merupakan sebagian dari sejarah Sulawesi juga? Dan setiap rumah adat dilengkapi dengan penghuninya – ada pemusik tradisional, penulis, pematung, pelukis, sejarahwan, budayawan, muda dan tua, orang pribumi maupun asing, yang sebagiannya bahkan diberi beasiswa untuk bercipta dan berkarya, meneliti dan menulis di dan tentang Benteng Somba Opu dan Sulawesi Selatan ini.

Penataan kawasan situs dilakukan dengan sangat seksama: Seandainya semuanya diselesaikan dengan mengikuti masterplan-nya, Anda hanya perlu berjalan kaki dari tembok benteng sebelah barat sampai ke Museum Pattingalloang, membaca papan-papan keterangan yang rencananya akan dipasang di masing-masing rumah, dan sudah dapat Anda ketahui apa itu Sulawesi Selatan dan bagaimana sejarah dan budayanya, mulai dari catatan historis pertama sampai ke cara mencegah tikus naik ke dalam rumah panggung. Dan karena semua itu direncanakan oleh cendekiawan terkemuka, maka Anda boleh yakin bahwa informasi yang Anda dapatkan itu sesuai dengan temuan ilmu budaya dan sejarah paling mutakhir.

Pada 18 Oktober 2010 Benteng Somba Opu menyaksikan upacara peletakan batu pertama sebuah proyek baru: Semua koran Sulawesi Selatan beritakan, bahwa beberapa wilayah di kawasan Somba Opu akan segera disulap menjadi taman bermain keluarga yang bertaraf internasional. Sebagai langkah pertama proyek itu, tahun mendatang sudah akan ada waterbom, taman gajah dan burung dan kawasan treetop (kalau arti Bahasa Inggris itu ‘puncak pohon’, tetapi apa pun bentuknya nanti agak susah penulis bayangkan …). Alasannya, Benteng Somba Opu selama ini tidak terurus, bahkan terlantarkan, sehingga dianggap perlu adanya seorang investor berduit yang dapat diajak untuk merevitalisasi kawasan ini. Ya, memang harus diakui bahwa sejak kawasan benteng itu diserahkan kepada Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan pada akhir tahun 1990-an kegiatan-kegiatan di situ semakin berkurang – bahkan perawatan paling mendasar seperti membersihkan taman-tamannya atau perbaikan rumah-rumah adat makin kurang. Sebagian besar dari para seniman dan ilmuwan yang sebelumnya tinggal dan menjaga rumah-rumah adat itu hengkang entah ke mana, kelompok musik dan tarian Benteng Somba Opu yang telah meraih berbagai juara di seantero dunia diberhentikan, dan bahkan pameran pembangunan Sulawesi Selatan yang sebelumnya diadakan setiap tahun di situ kini sudah pindah ke Celebes Conference Centre.

Sang investor taman rekreasi itu pun langsung mulai bekerja. Ketika penulis kembali dari kunjungan kerja tiga bulan ke Eropa dan Jakarta pada akhir minggu silam, di pintu masuk Benteng Somba Opu sudah ada berbagai alat berat dan puluhan pekerja yang sibuk memindah-mindahkan tanah timbunan ke sana-sini, telah terbangunlah fondasi-fondasi untuk yang kelihatannya akan menjadi bermacam-macam kolam renang, terlihat kerangka-kerangka kurungan burung – dan berdiri dengan tegak sebuah tembok baru sekeliling tanah proyek itu. Jelas, kalau nanti pengunjung datang berjubel-jubel untuk menikmati taman main keluarga bertaraf internasional itu mestinya ada pintu masuk, penjualan karcis dan sebagainya, sehingga tak mungkin kawasan Benteng Somba Opu masih tetap dibuka untuk umum … dan karena zaman kini sudah serba canggih, maka sisa tembok asli benteng dari abad ke-17 tidak bisa diandalkan lagi menjadi pembatas dan pagar bagi sebuah proyek bertaraf internasional abad ke-21.

Nah, Anda pasti bertanya di manakah hubungannya antara taman rekreasi keluarga itu dan kawasan museum dan rumah-rumah adat di dalam situs Benteng Somba Opu. Jawabannya gampang: Bukan hanya kawasan kosong sekelilingnya, situs Benteng Somba Opu sendiri, termasuk selusinan rumah adat, beratus-ratus meter tembok asli benteng, baik yang sudah dipugar maupun yang belum, dan berbagai peninggalan arkeologi lain itulah yang akan ‘disulap’ juga menjadi taman hiburan gajah, burung, kawasan treetop, restoran, penginapan, dan entah apa lagi. Jadi, agar sudah jelas bagian situs historis mana yang tak lagi boleh dimasuki secara bebas, tembok baru itu memang dibangun memotong tengah benteng itu – dan memotong artinya menutup semua jalan dari kawasan barat Benteng Somba Opu ke kawasan timurnya dengan sebuah tembok yang konstruksinya berteladan kepada Tembok Berlin. Seperti di Berlin setelah tahun 1961, kini tiada lagi mobil, motor, orang, kerbau atau kambing yang bisa bebas berjalan dari pintu masuk Benteng Somba Opu ke Museum Pattingalloang, rumah-rumah adat Kajang, Mandar, Gowa, panggung kesenian atau ke tembok asli benteng yang sudah dibangunkan kembali di sebelah lautnya. Bahkan, bila masyarakat dari desa sebelah barat Benteng Somba Opu mau ke mesjid mereka yang berada di sebelah timur tembok baru itu, maka mereka kini harus berputar keliling atau memanjat tembok itu … dan, katanya, ini baru tahap awal proyek itu.

Kenapa bisa sampai begitu adanya, ya? Di atas saya sebutkan bahwa yang selama ini menjadi pengurus di Benteng Somba Opu berpendapat bahwa kawasan itu sepertinya kurang terurus, sehingga perlu mencari orang yang bersedia melakukan yang kini dinamakan ‘revitalisasi’ itu. Sepertinya, ya, kasihan ‘kan sang induk benteng melihat anaknya ditelantarkan, jadi diusahakan mencari wali orang tua yang baru baginya … apalagi karena ternyata juga si Benteng Somba Opu itu ada nakalnya yang amat susah dihilangkan: Ia selama ini menjadi saksi bisu atas kejadian-kejadian sejarah yang agaknya tidak sesuai dengan yang semestinya. Kok serangan akhir atas benteng itu dijalankan oleh orang Bugis, Bacan dan Ambon, bukan Belanda, dan tanpa restu komandannya, Si Admiral Speelman? Orang Jeneponto yang katanya sekutu Gowa bersekongkol dengan Arung Palakka, dan hanya bertempur berpura-pura selama setengah jam ketika pasukan gabungan Bugis dan Belanda menyerang daerah mereka, untuk akhirnya ikut menyerang Makassar? Ketika berlabuh di Salemo, pasukan Mandar hampir-hampir saja mengurungkan rencana mereka untuk berlayar ke Somba Opu membantu Sultan Hasanuddin mempertahankan kerajaannya dan mau menyeberang ke pihak Belanda? Naskah-naskah lontaraq, hikayat-hikayat Melayu dan arsip-arsip Belanda yang menceritakannya susah didapat dan lebih susah lagi dibaca – sementara Benteng Somba Opu telah menyaksikannya, dan sampai kini kisahnya masih terkandung dalam batu-batunya. Ibarat si anak nakal: Lebih baik dikurung dan didiamkan daripada membiarkan ia terus menjalankan segala-gala kejelekannya.

Dan, dengan terus-terang, apa hasil kenakalannya selama ini? Pemerintah propinsi setengah mati cari duit untuk pembangunan, sementara yang didapatkan dari Benteng Somba Opu cuma tagihan gaji karyawan, kuitansi-kuitansi biaya pot bunga, cat baru untuk rumah-rumah adat, pembangunan pagar taman, atau lampu-lampu hias … ya wajarlah kalau niat baik investor itu diterima: Akhirnya mungkin akan ada hasil dari si benteng nakal yang diterlantarkan di ujung kota itu, apalagi bila Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan mendapatkan bagian lima persen saham dari sebuah proyek bertaraf internasional!

Izinkan saya untuk mengambil satu contoh lain: Dua-tiga tahun lalu koran-koran Sulawesi Selatan disibukkan dengan adanya isu temuan harta karun kapal tenggelam yang katanya bernilai milyaran rupiah di Tile-Tile, Selayar. ‘Harta karun’ itu memang ada, dan berupa beberapa ribu mangkuk keramik Cina; dari selusinan buah keramik yang sampai ke tangan arkeolog diperkirakan bahwa mangkuk-mangkuk itu berasal dari Dinasti Song Selatan, sekitar abad ke-12 atau ke-13. Dengan ini, temuan itu kemungkinan besar merupakan muatan kapal karam tertua yang pernah didapatkan di Sulawesi.

Sudah sebelum informasi itu sampai ke khalayak, ada beberapa ratus biji keramik asal Tile-Tile yang muncul di pasaran barang antik di Jakarta, dan karena khawatir suatu situs historis akan dijarah dan dirusakkan, maka Departemen Kebudayaan dan Pariwisata langsung menyuruh wakilnya di Sulawesi ke Selayar untuk memeriksa situs itu – akan tetapi, entah bagaimana, setiba di sana para arkeolog dilarang mendekati lokasi temuannya oleh pemerintah setempat. Beberapa bulan setelahnya wakil-wakil sebuah perusahaan pengangkatan kapal karam profesional berkunjung ke Selayar, dan mereka diterima dengan tangan terbuka oleh pemerintah setempat saat itu serta ingin diajak untuk bekerja sama mengangkat sisa-sisa keramik yang masih berada di dasar lautan. Sayangnya, setelah perusahaan itu mensurvei situsnya mereka mundur dari tawaran itu karena ternyata sebagian besar keramik sudah habis diambil. Maka tinggallah masyarakat setempat dan berbagai pihak lain yang berusaha mengangkat sisa ‘harta karun’ itu sendiri, dan menjual bagian terbesarnya ke pedagang benda antik di Jakarta dan Surabaya. Memang tidak jelas berapa keuntungannya; yang jelas ada rupiah mengalir masuk di Selayar, dan uang itu pasti membantu memutarkan roda perekonomian di sana. Bahwa keramik itu tidak didesalinisasi, artinya, direndam dalam air tawar sampai kandungan garamnya bisa lepas, sehingga sebagian besar mangkuk cepat-cepat retak sebenarnya tak menjadi masalah juga, ‘kan? Oh ya, nilai historis yang terkandung dalam kapal karam yang mungkin kapal tertua yang pernah didapatkan di Sulawesi itu … na, wajarlah saja, bisakah nilai historisnya itu dijadikan rupiah untuk membantu dalam pembangunan daerah? Apalagi kalau nanti muncul lagi macam-macam cerita sejarah yang mendiskreditkan, seperti halnya di Benteng Somba Opu?

Ya, marilah, kita kembali ke Benteng Somba Opu. Dari pembangunan proyek waterbom, taman burung dan gajah, dan sebagainya kita juga dapat mengetahui bahwa batu-batu bata tua tapi nakal ternyata masih tetap ada gunanya: Sebagaimana Anda dapat menyaksikan sendiri di lapangan proyek, sisa batu-batu tembok Benteng Somba Opu bisa menjadi timbunan yang amat baik untuk pembangunan – pecahan-pecahan batu yang dulu tidak lagi bisa digunakan ketika tembok asli benteng direnovasi kini sudah habis dipakai untuk meratakan tanah sekeliling rumah adat Mamasa. Katanya, di situ akan didirikan sebuah restoran, yang bertaraf internasional, jelas.

Dan cerita taman gajahnya? Tak aneh juga, sudah pernah ada di Benteng Somba Opu: Pada tanggal 16 Mei 1642, seorang saudagar Portugis yang tinggal di Makassar menghadiahkan seekor gajah kepada Sultan Alauddin, raja Gowa pada zaman itu, untuk taman binatang kerajaan. Sayangnya, kandang gajah-gajah di taman rekreasi nanti dipisahkan dari Museum Pattingalloang oleh tembok baru itu, sehingga para pengunjung mungkin takkan bisa tahu bahwa yang menyumbang nama museum itu, Karaeng Pattingalloang, perdana menteri Gowa di bawah Sultan Alauddin, bukan saja tertarik pada hewan dan burung dari tanah seberang, tetapi doyan juga mengumpulkan alat-alat survei dan penelitian serta buku-buku ilmiah mutakhir … termasuk sebuah bola dunia berukuran empat meter yang dipesannya secara khusus dari Jerman, bola dunia kedua terbesar yang ada di bumi zamannya.


Tanggapan

  1. kita harus bangga sebagai bangsa Idonesia karena punya pahlawan n pejuang2 yg gagah berani………..

  2. visi budaya yg amat nihil telah melahirkan pembangunan yang hanya berorientasi pada pemenuhan materi belaka. sebenarnya situs tersebut sangat besar manfaatnya bagi kejatidirian dan ketangguhan masyarakat, terutama masyarakat setempat. spirit yang terus mengalir bagi generasi sekarang merupakan kontribusi tak terlihat dari situs tersebut, tapi ternyata itu diabaikan oleh mereka yang economic-oriented. meski mungkin, secara lokal masih ada trauma atas pertentangan yg pernah terjadi di antara beberapa kerajaan…… Sulit dibayangkan sebuah situs sangat bersejarah, yang sangat langka di makassar, dihabisi secara sistematis apalagi dijadikan tempat “hura-hura” maka jadilah masyarakat semakin hedonis, materialistik…..sebagai seorang anak makassar tentu ini menghianati apa yg telah diperjuangkan dgn susah payah oleh para pendahulu kami…..


Tinggalkan komentar

Kategori