Oleh: hurahura | 17 Juli 2010

Berburu Dan Bergelimang Harta Karun

Tempo, 16 Juni 1973 – IA tampaknya terlalu cepat. Baru saja lulus dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia jurusan Purbakala 1963, lima tahun kemudian sarjana itu bertambah keahlian: memalsu stempel. Dan setelah menjabat Kepala Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional cabang III Mojokerto, rezekinya nomplok bertubi-tubi. Dibanding 4 cabang lain — Bali, Ujung Pandang, Samarinda dan Prambanan — Mojokerto dikenal sebagai wilayah kepurbakalaan yang cukup kaya dengan peninggalan-peninggalan kuno.

Karier yang cepat menanjak ini agaknya cepat pula melambungkan impian-impiannya. Serentak dengan itu, mendadak ia jadi terkenal. Awal minggu ke empat bulan April kemarin, nama Drs AS Wibowo banyak disebut kalangan pers, karena ditahan oleh Reskrim Komdak X Jawa Timur dalam Operasi Sidik Sakti III beberapa hari sebelumnya. Tuduhan: mencuri benda-benda purbakala. Tidak tanggung-tanggung pula, ia pun dituduh bergelap-gelap dengan uang Negara sebanyak Rp 4.625.485.

Sebelum ditangkap pun, konon ia sedang merencanakan penyelewengan uang Rp 912.000. Di balik dalih untuk membayar honor 82 juru-kunci candi-candi Jawa Timur dan ongkos pembiayaan pemeliharaan monumen-monumen, nyatanya uang itu untuk membayar hutang-hutangnya akibat kalah main judi-buntut.


Tarzan Atau Roy Rogers

Memalsu 15 jenis stempel dinas Bupati Trenggalek, Nganjuk dan Magetan serta berbagai toko, ia mulai bergerak. Bahkan mengangkut benda-benda itu dengan jeep dinas yang dikemudikannya sendiri, antara lain untuk sebuah perwakilan asing di jalan Darmokali Surabaya. Comotannya cukup banyak Durga Mahesasura Mardini (candi Jawi Malang), sebuah Durga lagi (candi Rimbi Jombang) dan beberapa dari Museum Trowulan seperti arca Durga, porselin Suromino, kepala Gajahmino dua vas perunggu, kepala Gunungan.

Tentu mudah saja ia beroperasi, sekalipun itu berarti penyalahgunaan wewenang. Apalagi katanya, semua itu akan dipamerkan di Jakarta atas perintah Menteri P dan K. Tak urung keuntungan Rp 735.000 nyaris aman ngendon di kantongnya. Walhasil, bukan saja masyarakat dan pejabat heboh, kalangan purbakalawan pun tentulah malu besar. Barangkali nenek-moyang yang sudah memfosil di lapisan-lapisan bawah tanah jadi murka pula dan mengutuknya. Paling tidak tentulah Batari Durga sendiri.

Barangkali ia ingin jadi semacam Sinbad atau Aladin yang dengan enaknya mau mengenyam penemuan harta karun nan berlimpah-ruah. Maka Drs Tjokrosudjono terpaksa membatasi diri memberi komentar. Bagaikan Tarzan atau Roy Rogers melawan bandit-bandit pemburu tambang emas, pejabat kepala yang kini menggantikan kedudukan Wibowo itu pun harus membenahi lagi kantornya yang di jalan Majapahit Mojokerto itu termasuk mengembalikan wibawa yang dianggap enteng oleh Wibowo.

“Sekalipun tak ada semacam kode etik di kalangan kami, tapi ketahanan mental memang diperlukan”, ujar Dra Ny S. Sulaiman. “Sebab tugas-tugas di Lembaga ini sudah merupakan profesi”, sambung Kepala Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN) Pusat itu kepada TEMPO.

“Tapi alhamdulillah, kita sekarang punya senjata”, tambah Drs Uka Tjandrasasmita Kepala Bagian Arkeologi Islam LPPN Pusat – sembari menunjukkan turunan instruksi Pangkopkamtib 27 Januari 1973 No.002/Kopkamtib/I/1973. Dan gara-gara ulah Wibowo itu barangkali, maka letupan meriam Kopkamtib pun berdentuman lagi dalam pers awal Mei kemarin. Inti instruksi yang dialamatkan kepada segenap kepala daerah berbagai tingkat itu antara lain supaya mencegah mengalirnya benda-benda budaya dalam perdagangan dengan luar-negeri yang memiskinkan kehidupan budaya di samping melindungi keselamatan obyek-obyek bersejarah di daerah masing-masing.

Tak lupa: supaya menyadarkan ABRI dan keluarganya untuk mengamankan kehidupan budaya dari proses pemiskinan kebudayaan nasional. Kecuali POLRI supaya meningkatkan koordinasi Kepolisian Khusus menegakkan peraturan yang berlaku, ditekanlah perlunya membantu LPPN menyelamatkan Cagar Budaya Nasional. Nampaknya situasi sudah gawat amat. Pelanggaran-pelanggaran, – tingkat kakap atau teri — sering terjadi di seluruh negeri. Kopkamtib sebenarnya tak perlu turun lapangan asal saja bobot wibawa pejabat-pejabat yang bersangkutan memang mantep.

Soalnya jauh sebelumnya instruksi senatas pernah pula dicanangkan oleh Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tanggal 5 Pebruari 1960 No. Pem. 65/1/7. Dan semuanya bertolak dari Monumenten Ordonantie 13 Juni 1931 Staatsblad 1931 No. 238) alias MO. Tapi bukan cuma pencurian dan mengalirnya benda-benda harta budaya ke luar negeri saja yang menjadi sasaran MO, melainkan juga penemuan penyimpanan, perubahan, penghancuran bahkan perbaikan.

“Yang dimaksud benda purbakala, ialah yang paling sedikit berumur 50 tahun”, kata Drs RP Soejono, Kepala Bagian Pra-Sejarah LPPN Pusat, “yang merupakan bukti sejarah dan memiliki nilai budaya. Atau belum 50 tahun tapi bentuknya bergaya sama atau selanggam dengan benda-benda purbakala”.


Perhimpunan Penggemar

“Susahnya ada yang bermaksud baik, misalnya memperbaiki. Tapi karena tak tahu tanpa lebih dulu minta pertimbangan LPPN –jadinya malah merusak. Ini terjadi pada peninggalan-peninggalan hidup yaitu monumen yang masih dipakai karena merasa memiliki seperti mesjid-mesjid, keraton-keraton”, keluh Uka.

Ia memberi contoh bahwa pembangunan Art Gallery dalam kompleks Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat justru malah mengurangi keindahan dan keaslian keraton, ia juga mensinyalir banyaknya ahli-waris dari hampir keraton-keraton di Indonesia yang malah menjuali barang-barang antik.

“Cuma sulitnya, kami sendiri hampir tak pernah tahu di mana terjadi pelanggaran-pelanggaran itu”, sambung Drs Ny S. Satari. Kepala Bagian Dokumentasi dan Penerbitan LPPN Pusat ini “cuma membaca dari koran” atau berdasar laporan penguasa-penguasa daerah. “Laporan itu pun tak selamanya disampaikan”, katanya pula.

Rupanya sekalipun MO masih berlaku dan punya kekuatan hukum, “belum ada usaha pengusutan terhadap pelanggaran sampai kepada vonis di pengadilan”. Kontrol ke tempat-tempat peninggalan pun tidak selamanya bisa dilakukan “berhubung sangat minimnya biaya, sedang alat-alat transport kami tak punya”.

Sementara Prof Andre Capart Direktur The Roval, Bagian Institute of Natural History –baru-baru ini menemukan jenis-jenis binatang purba yang sama sekali belum dikenal manusia, — jangankan Belambangan di ujung timur pulau Jawa, “tempat-tempat kepurbakalaan yang penting di pinggiran Jakarta saja belum pernah kami kunjungi”.

Maka pelanggaran pun jalan terus. Dan untuk kontrol keliling ke berbagai art shop yang bak jamur di musim wisatawan itu, jawabnya adalah kesulitan dan keluhan. Padahal hampir semua pemilik toko-toko–yang kadang amat sedikit dimasuki orang-orang berduit yang so-tahu-seni itu sedikitlah yang mafhum akan MO. Misalnya sepanjang jalan Sabang Jakarta.

Bahkan Affendi yang sekretaris Perhimpunan Penggemar Koleksi Mata Uang pun nampaknya perlu membaca MO. “Sebaiknya benda-benda itu dibiarkan saja disimpan para kolektor asal tidak diperjual-belikan ke luar negeri’, katanya kepada Hasanta dari TEMPO.

Menurut pendapatnya, kemungkinan benda itu lari ke luar negeri lebih tipis karena tumbuhnya persaingan mengumpul dan merawat. Dan seandainya diserahkan kepada Pemerintah, tentunya harus diganti dengan harga yang pantas. “Cukupkah dana yang disediakan Lembaga Purbakala?” tanyanya.

Sekalipun tak ada satu ketentuan pun yang menyatakan adanya penggantian itu – karena harta peninggalan itu dianggap milik negara toh Uka pun menyarankan kepada Pemerintah, sebaiknya membelinya dari pada hilang sama sekali. Penerangan tentang MO — yang oleh salah seorang pemilik art shop di jalan Sabang dianggap produk kolonial yang tak lagi berlaku –rasanya belum merata benar, apalagi di kalangan rakyat kecil di pedusunan — di mana biasanya justru didapatkan benda-benda purbakala — dalam penggalian secara kebetulan.

Menurut MO, penemuan semacam itu harus dilaporkan kepada penguasa yang terdekat. Dalam tata pemerintahan seperti sekarang — kalau masing-masing menempati fungsinya — tentulah laporan itu segera diterima di meja LPPN. Pengusutan terhadap pelanggaran misalnya, tentu saja bagian POLRI.

Usaha penanggulangan bersama konon memang sudah diusahakan berupa saling pengertian dan kerja-sama – bukan koordinasi — antara beberapa instansi yang bersangkutan. Mulai dari Departemen Dalam Negeri, P dan K, Luar Negeri, POLRI, Perdagangan, Bea dan Cukai.

“Bahkan juga Interpol”, sahut Ny. Sulaiman. Tapi nyatanya sampai kini belum ada tindak-lanjut bagi sang pelanggar, sementara LPPN memang berhak melapor tapi jelas tak berhak bertindak. “Satu-satunya penguasa yang menurunkan instruksi pengamanan adalah Bupati Serang”, tutur Uka.


Konvensi lnternasional

Apalagi menghadapi kasus Antonin Pinto — bekas Konsul Portugis di Jakarta — dan Andrzej Wawrzyniak diplomat Polandia di Jakarta — yang banyak memboyong barang-barang kuno ke negerinya lewat saluran diplomatik. Dan susahnya, konon ada pejabat tinggi yang merekomendir orang-orang asing mengadakan penggalian-penggalian di Sulawesi.

Lalu bagaimana usaha Pemerintah melindungi bena-benda itu secara ketat? “Undang-undang Cagar Budaya masih dalam penggodogan, belum disampaikan ke DPR”, seolah menghibur, Kepala LPPN Pusat itu menerangkan.

Tapi ia tak kunjung tahu kenapa Pemerintah belum meratifikasi 3 Konvensi Internasional yang dalam sidang-sidang penyusunannya ia hadiri sebagai wakil lndonesia, yaitu Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict (Den Haag, 1954), Convention on Illegal Import and Export of Cultural Properties (Den Haag, 1970) dan Convention Concerning of Protection of World Cultural and Natural Heritage (Paris, 1971).

Sementara itu tak sedikit benda-benda kuno yang tersimpan di banyak museum luar negeri seperti Calcutta, Thailand, Nederland, Paris, Berlin dan sedikit di AS. Usaha mengembalikannya bukannya tak ada. Tapi benda-benda itu konon justru terpelihara baik di sana. “Kalau benar-benar dikembalikan kemari, belum tentu kita bisa memeliharanya”, ujar Teguh Asmar.

Tapi menghadapi arus wisatawan akhir-akhir ini, nampaknya ada usaha buat membikin copy benda-benda purbakala. Menurut Ny. Sulaiman, “di Mojokerto dan Prambanan ada ahli-ahli membuat copy dari perunggu, batu, gips dan plastik”. Sebagai salah satu sarana utama penggalakan pariwisata, kepurbakalaan nampaknya bernasib malang.

Bukan saja barang-barang temuan LPPN yang kemudian dipamerkan di banyak museum atau tetap berdiri sebagai monumen banyak menggaet untung, juga diskusi terbatas setiap Rabu antara LPPN dan gugus-kerja direktorat Jenderal Pariwiata nampaknya lebih banyak berusaha menyedot saran-saran untuk salah satu fihak dari pada saling-menguntungkan.

Musim semi mulai nyata di sektor pariwisata, sementara sektor kepurbakalaan salah satu urat tunggang pariwisata-ketimpa musibah kemarau berkepanjangan. Bak lilin yang menerangi sekitar, LPPN nampaknya semakin senen-kemis. “Budget pembangunan tak ada.

Yang ada hanya dana di luar gaji pegawai sebesar Rp 30 juta setahun”, kata RP Soejono sembari mengangankan gagasannya menggabungkan LPPN ke dalam LIPI yang konon sudah sejak lama di impikan (lihat box: Penggabungan, Bam Gagasan). Sementara uang karcis nonton candi-candi masuk Kas Negara, dana tersebut habis untuk berbagai keperluan seperti pembelian alat-alat kantor dan pemeliharaan benda-benda dan monumen-monumen purbakala.

“Juga termasuk Rp 240 untuk penerbitan ilmiah, Rp 15 setiap cabang untuk membeli buku dan yang Rp 3 juta untuk biaya penelitian LPPN Pusat dan cabang-cabang”, kata RP Soejono, sementara Uka menyambung: “Untuk riset itu jelas kurang memadai. Kadang-kadang bekerja-sama dengan Gama, UI atau Udayana dengan biaya gotong-royong. Tapi waktunya cuma seminggu hingga tidak memuaskan”.

Menanggapi pendapat seolah LPPN kurang getol memperjuangkan budget, menurut Teguh Asmar “usul dan perjuangan semacam itu sudah sejak lima tahun yang lalu”.


Kimia Tanpa Kimiawi

Namun usaha cari uang bukannya tak ada. Tahun 1964 didirikan Yayasan Purbakala buat menghimpun dana. Maka Let Jen Alamsyah – lewat Mitra Budaya membiayai survey di Lampung, Pemda Kalimantan Selatan membantu menggali Candi Agung, Resimen Maulana Yusuf merestorasi Mesjid Agung Banten, dan Ali Sadikin membantu gardening Borobudur dan Banten Lama.

Sayang, itu Yayasan kini tak lagi bergelora. Perhatian luar negeri pun lumayan. Tahun 1972 Ford Foundation membantu $50 ribu untuk mendokumentir semua kepurbakalaan riset arkeologi Islam di Cirebon, studi grant 6 sarjana ke Australia, India dan Muangthai serta biaya mencetak laporan tahunan sejak 1954.

Dari John D. Rockefeller III Fund diterima $ 5 ribu, untuk penerbitan ilmiah, studi grant dan transportasi penelitian: Tahun 1971 Asia Society membiayai pameran 10 bulan — selama musim rontok — di Asia House Gallery (AS) dan menerbitkan katalogus susunan Dr Jan Fontein dari Museum of Fine Arts, Boston (AS), Drs R.Soekmono dan Dra Ny. S. Sulaiman.

Oleh karena gaji sarjana purbakala cuma Rp 5.000 dan sarjana muda Rp 1.500 (tenaga lainnya harian), para ahli itu pun — di pusat (15), Prambanan (6), Bali (3), Mojokerto dan Ujung Pandang masing-masing seorang — menambah nafkahnya dengan mengajar di universitas yang berdekatan dan yang membuka jurusan Purbakala seperti Ul, GAMA atau Udayana.

“Tapi untuk selalu menadahkan tangan ke luar negeri ya nanti dulu”, tukas Teguh Asmar, “soalnya mereka selalu mau kuasa saja. Mereka mau kasih uang kalau kita hanya sebagai pembantu saja, sedang mereka yang mengatur. Lebih baik kita tetap begini tapi bebas dan bisa mengatur untuk kepentingan kebudayaan kita sendiri”.

Rupanya patriotisme masih bicara di sini. Yang jelas, usaha penelitian sangatlah rawan, karena tiadanya peralatan. “Boleh dikata sangat primitif. Untuk meneliti benda-benda dalam penggalian, hanya dilakukan dengan mata-kepala saja”, tutur RP Soejono.

Sementara buku-buku dalam perpustakaan nampaknya kurang terawat baik, gedung LPPN Pusat yang ternyata milik Departemen Kesehatan itu setiap tahun selalu di minta-sama sekali tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Beberapa ruangan nampaknya tak bisa lagi disebut kantor, sementara beberapa bagian selalu kuyup kebanjiran bila musim hujan.

Yang disebut detektor — untuk mengetahui ada tidaknya sesuatu benda di tanah-areal photo, alat pengukur, kompas, alat menggambar — sama sekali tak memenuhi syarat. “Bahkan photo toestel pun milik pribadi. Dulu pernah minta tapi di drop sebuah tape recorder yang kurang perlu”, keluhnya lagi, “apalagi jeep, kami tak punya”.

Jangankan laboratorium, kantor Pemerintah itu — meskipun terletak di jalan Kimia — tak memiliki peralatan dan obat-obat kimiawi yang diperlukan buat penelitian.


Tanggapan

  1. Naaahh..nahhhhh naaahhhhh… Siapa nyuri patung peninggalan jaman Hindu Agni dari situs Rancaekak Jawa Barat, Tanya kantor TRIBUN JABAR !
    Ayo Tanyaaaaa…..! Whrakadaaaaal……

  2. Hello! I simply want to offer you a huge thumbs up for the great info you have
    here on this post. I will be coming back to your web site for more soon.

  3. Hi there! Would you mind if I share your blog with my
    facebook group? There’s a lot of folks that I think would really appreciate your content. Please let me know. Cheers


Tinggalkan komentar

Kategori