Oleh: hurahura | 1 Oktober 2016

Mengenal Senjata-senjata Tradisional dalam Sumber Tekstual Masa Kerajaan Kuno di Jawa*

senjata-titisurtiJenis-jenis wyūha yang terdapat dalam kakawin Bhāratayūddha (Wiryosuparto 1968:31–40), sebagaimana tulisan Titi Surti Nastiti “Strategi Perang Raja-raja Jawa pada Abad ke-8–ke-15 Masehi” dalam blog ini


PENDAHULUAN

Sejarah masa Hindu-Buddha di Pulau Jawa berlangsung abad V—XV  Masehi, yaitu dari masa Kerajaan Tarumanagara hingga Kerajaan Majapahit. Di Jawa bagian tengah pada abad VIII Masehi berdiri Kerajaan Mḍang (Mataram Kuno) dengan masing-masing raja dalam suatu masa periode pemerintahannya. Dalam masa-masa pemerintahannya, raja yang berkuasa di Kerajaan Mḍang ada kalanya mengalami peperangan yang silih berganti. Selanjutnya pada sekitar abad X Masehi di Kerajaan Mḍang terjadi perpindahan pusat pemerintahan Kerajaan Mḍang dari Jawa bagian tengah ke Jawa bagian timur yang dilakukan oleh Mpu Siṇḍok. Hal ini karena mendapatkan serangan besar yang diduga berasal dari Malayu. Akhirnya Mpu Siṇḍok mendapatkan kemenangan besar setelah dibantu oleh beberapa pendukungnya, yang salah satunya yaitu penduduk Añjuk Ladang dengan pendirian tugu jayastamba (tugu kemenangan). Saat ini masih terdapat sisa-sisanya, yaitu Candi Lor, Nganjuk. Sejarah kemenangan tersebut tertulis dalam Prasasti Añjuk Ladang (857 Saka atau 935 Masehi) (Hardiati, 2010: 188).

Pada masa-masa selanjutnya peperangan dalam sebuah kerajaan di Jawa tetap terjadi. Di sini tidak dipaparkan secara lengkap karena karya tulis ini hanya difokuskan untuk mengenal senjata-senjata tradisional yang pernah digunakan oleh para raja maupun pasukan-pasukan pada masa kerajaan kuno di Jawa. Hal ini sekaligus untuk mengetahui bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Jawa telah mengenal teknologi persenjataan terbuat dari logam besi maupun baja, serta pembuatnya pun mendapat perlindungan penuh dari kerajaan serta dalam prasasti-prasasti tertentu telah mendapat anugerah ketika raja telah mendapatkan kemenangan. Tidak hanya senjata bahkan dalam pembahasan nantinya juga akan disampaikan bukti sejarah dari sebuah prasasti bahwa keprajuritan masa Jawa Kuno telah mengenal baju perang.

Dalam karya tulis ini sumber data tekstual atau tertulis yang digunakan untuk mengetahui senjata-senjata tradisional dalam kerajaan kuno di Jawa yaitu Prasasti dan Naskah Kuno. Digunakannya prasasti sebagai sumber data karena merupakan sumber data sejarah yang paling otentik untuk merekonstruksi sejarah. Prasasti ditulis sezaman dengan masa pemerintahan raja tertentu beserta peristiwanya, kecuali prasasti turunan atau tinulad (Sukendar dkk, 1999). Prasasti yang ditemukan di Jawa mayoritas menceritakan sebuah maklumat dari raja untuk menetapkan suatu wilayah menjadi berstatus sīma (perdikan) sekaligus menceritakan tentang peristiwa tertentu yang dialami oleh raja dan masyarakat yang mendapatkan status sīma (perdikan), namun beberapa isinya juga memberikan informasi tentang aspek-aspek kebudayaan tertentu, salah satunya yaitu tentang persenjataan masa Jawa Kuno.

Selanjutnya digunakannya naskah kuno sebagai sumber data karena meskipun kerangka ceritanya dalam bentuk fiksi, namun diperkirakan penggambaran-penggambaran mengenai hal-hal tertentu yang diceritakan di dalamnya mencerminkan sebuah kenyataan-kenyataan pada masa penulisannya (Sedyawati, 1985: 296). Naskah kuno yang digunakan  berupa Kakawin (puisi Jawa Kuno) dan Gancaran (prosa). Penggambaran berbagai macam senjata tradisional masa Jawa Kuno sebenarnya juga terdapat pada seni pahat relief dari situs-situs arkeologi Hindu-Buddha dan hasil seni arca khususnya yang berada di Jawa. Namun dalam pembahasan ini yang dipaparkan hanya senjata-senjata tradisional masa Jawa Kuno yang terdapat dalam Prasasti dan Naskah Kuno. Hal ini sebenarnya merupakan pengembangan materi dalam belajar aksara dan bahasa Jawa Kuno. Alangkah baiknya belajar tentang aksara dan bahasa Jawa Kuno itu tidak hanya dalam mengenal tentang aksara beserta pasangan, sandangan, angka Jawa Kuno, serta aspek-aspek kebahasaannya saja, melainkan juga mengetahui aspek-aspek kebudayaan dan peristiwa masa lalu yang tersirat maupun tersurat dalam sumber data tekstual dari masa Jawa Kuno. Sesuai dengan tema acara ini maka penulis mengambil judul “Mengenal Senjata-senjata Tradisional dalam Sumber Tekstual Masa Kerajaan Kuno di Jawa”.


PEMBAHASAN


Pembuat Senjata di Lingkungan Kerajaan

Seorang raja pada masa Jawa Kuno harus mendapatkan dukungan dalam memperkuat kedudukan dan kekuasaannya. Dengan demikian harus memiliki para pegawai istana atau yang pada masa tersebut dikenal dengan istilah mangilala drwya haji (Yogi, 1996:97). Menurut Stutterheim (1925) dan Boechari (1977) dalam Yogi (1996:34) mangilala drwya haji merupakan abdi dalem keraton atau pegawai istana terdiri atas beberapa profesi yang tidak mendapatkan tanah lungguh, bekerja untuk melayani raja beserta keluarganya dan penghuni kerajaan lainnya, dan mendapatkan gaji dari perbendaharaan kerajaan. Mereka mendapatkan kebutuhan dan perlindungan penuh dari kerajaan.

Pada lingkungan kerajaan-kerajaan kuno di Jawa, terdapat beberapa jenis profesi dari mangilala drwya haji yang berhubungan dengan jasa pembuatan senjata, yaitu sebagai berikut:

No Jenis Profesi Artinya
1 Amaranggi Pembuat sarung keris
2 Dhūra Pandai besi
3 Pandai Wsi Pandai besi
4 Pande ḍaḍap Pembuat perisai
5 Mangguñje/Pangguñje Penghias atau pembuat gagang keris
6 Tuha Gosali/Juru Gosali Pimpinan pembuat senjata
7 Mangrumbi Pembuat senjata
8 Parang Pembuat senjata (pedang)
9 Sungka Pandai besi khususnya pembuat senjata
10 Taji Pembuat benda tajam di kaki ayam saat disabung
11 Wli wadung Pedagang senjata

Dikutip dari Stutterheim (1925) & Yogi (1996)

Peranan dari mangilala drwya haji yang telah disebutkan di atas sangat penting sekali, khususnya berhubungan langsung dengan penyediaan alat-alat persenjataan demi perlindungan dan keamanan sebuah kerajaan. Karena persenjataan berperan sangat penting dalam menunjang tugas-tugas keprajuritan dalam kerajaan-kerajaan kuno khususnya di Jawa. Dengan demikian seorang raja memberikan perhatian yang sangat penuh pada keberadaan mereka.


2. Senjata Keprajuritan Masa Jawa Kuno

Persenjataan sangat dibutuhkan dalam penunjang tugas-tugas keprajuritan dalam keamanan dan pertahanan sebuah kerajaan-kerajaan masa Jawa Kuno. Penggunaan senjata-senjata pada masa Jawa Kuno tidak hanya pada tingkat para pasukan kerajaan, bahkan para raja pada masa dahulu juga menggunakannya sebagai alat untuk melindungi diri mereka terutama dalam menghadapi peperangan. Senjata-senjata tersebut tidak hanya berfungsi secara teknis namun dipercaya juga bertuah. Kakawin Smaradahana yang digubah oleh Mpu Darmaja pada masa Kerajaan Kadiri dibawah pemerintahan Sri Maharaja Kameswara, menyebutkan beberapa jenis pusaka yang dalam tulisan ceritanya digunakan oleh para Dewa dan Raksasa Nilarudraka dalam peperangan.

Senjata-senjata tersebut di antaranya kawaca (baju besi), limpung (sebuah tombak), perisai, galah (tombak), jantra (alat pengikat), danda (tongkat), kris (keris), panah, dan gandi (sejenis kapak) (Manu, 1985: 163-179). Diperkirakan jenis-jenis senjata yang dikenal oleh Mpu Darmaja tersebut merupakan senjata yang telah dikenal dan tidak asing dilihat olehnya dalam kehidupan sehari-hari. Menariknya lagi kris/kêris (keris) yang kita kenal sebagai senjata tradisional hingga masa dewasa ini juga telah disebutkan dalam beberapa naskah kuno, di antaranya dalam Kitab Arjunawiwaha, Sumanasantaka, Sutasoma, Krsnakalantaka, dan Kidung Harsawijaya (Zoetmulder, 1982: 520).


a. Peran Senjata bagi Seorang Raja

Dalam Gancaran Pararaton terdapat sebuah kisah yang paling terkenal yaitu tentang Ken Angrok dalam memesan keris kepada Mpu Gandring atas nasihat Bango Samparan. Dalam cerita tersebut, Bango Samparan mengatakan bahwa keris yang dibuat oleh Mpu Gandring sangat bertuah dan tidak tertandingi. Kutipan ceritanya yaitu sebagai berikut:

…. Hana mitraningsung paṇde ring lulumbang, aran Mpu Gandring, yoni olih agawe kêris, norana wong atêguh dene pagawene, tan amingroni yen sinudukakên, ika konên akarya ḍuhung …..” (Padmapuspita, 1996: 19).

Artinya: “…. ada teman saya seorang tukang pande berada di Lulumbang, bernama Mpu Gandring, dapat memasukkan kekuatan/tuah (yoni) ketika membuat keris, tidak ada orang yang kuat dengan hasil buatannya, tidak harus dua kali apabila dihunuskan, untuk itu suruhlah beliau untuk membuatkannya…..”.

Singkat cerita pada akhirnya setelah lima bulan (limang wulan) seperti yang dikehendaki oleh Ken Angrok keris itu belum jadi secara total, membuat panas hati dalam diri Ken Angrok. Maka dengan segera Mpu Gandring dihunus keris buatannya tersebut. Namun Ken Angrok sangat menyesali perbuatannya karena telah membunuh Mpu Gandring. Lalu Ken Angrok berkata, “Kalau nanti aku menjadi orang semoga kemuliaanku melimpah juga pada anak-cucu para tukang pande di Lulumbang” (= Samangka ta arupa analahasa sira patinira Mpu Gandring. Ling Ken Angrok,, lamun ingsun dadi wong tumusa ring anakputune apaṇḍe ring Lulumbang,,) (Padmapuspita, 1996: 20&61). Keris tersebut membawa Ken Angrok akhirnya menjadi raja dengan nama abhiseka (penobatan) Śri Rajasa Bhaṭāra Sang Amûrwabhûmi, namun ia meninggal juga dengan keris itu sendiri.

Seorang raja yang diceritakan membawa senjata, Raden Wijaya, saat itu masih dalam perjuangannya merebut kekuasaan dari Raja Jayakatwang bertakhta di Daha. Dalam Gancaran Pararaton, yang lebih menarik lagi dijelaskan ada sebuah permainan pusaka pada saat rombongan Raden Wijaya datang ke Daha bertepatan dengan Hari Galungan. Mereka disambut dengan meriah, kemudian mereka diajak ke Manguntur (halaman luar istana/alun-alun) istana Daha. Raja Jayakatwang ketika itu mengadakan permainan susudukan.

Berikut kutipan kalimatnya,”… Alama sirāji Katong angênakên susudukan…”, artinya telah lama Sang Raja Jayakatwang mengadakan permainan tusuk-menusuk. Dalam permainan tersebut banyak sekali suara bunyi-bunyian dan dilihat oleh banyak orang yang tiada selatnya (= ramening tatabuhan, kang aniningal pênuh tanpaligaran) (Padmapuspita, 1996: 32). Permainan tusuk-menusuk (susudukan) yang dimaksud dalam kalimat tersebut sulit mengetahui senjata apa yang digunakan. Kemungkinan keris atau tombak. Namun mengingat adegan yang digambarkan dalam permainan tersebut bahwa kedua peserta saling tusuk-menusuk (susudukan) dan berlari-larian (kapalayu), maka diduga ini merupakan permainan senjata tombak. Permainan ini masih ada sampai masa Majapahit seperti yang disebutkan dalam Kakawin Nagarakrtagama yang dilaksanakan di Bubat. Selanjutnya Raja Jayakatwang juga sendiri dalam Gancara Pararaton diceritakan telah mengangkat senjata berupa perisai saat melawan pasukan Tatar (Mongol) yang menyerang kerajaannya. Dalam naskah tersebut diberitakan, “Sirâji Jaya Katong anêmpuh mangalor asikêp ḍaḍap arêbut dening wong Tatar….” (Padmapuspita, 1996: 33), artinya: Raja Jayakatwang berlari ke utara dengan bersenjatakan perisai (dan) tertangkap oleh orang Tatar.

b. Macam-macam Prajurit Bersenjata Masa Jawa Kuno

Dalam kerajaan-kerajaan kuno di Jawa, prajurit kerajaan masuk dalam daftar abdi dalem istana atau Sang Mangilala Drwya Haji. Para prajurit tersebut tertulis dalam beberapa prasasti masa Jawa Kuno, di antaranya Prasasti Baru (956 Saka atau 1034 Masehi) dari masa  Raja Airlangga, Prasasti Pikatan/Pandlêgan (1038 Saka atau 1116 Masehi) dari masa Raja Bameswara, Prasasti Hantang (1057 Saka atau 1135 Masehi) dari masa pemerintahan Raja Jayabhaya. Berikut ini beberapa profesi keprajuritan masa Jawa Kuno yang berkaitan dengan senjata, yaitu:

No Jenis Profesi Artinya
1 Magalah Pasukan bertombak
2 Mamanah Pasukan bersenjata panah
3 Magaṇḍi Pasukan yang bersenjata gaṇḍi (sejenis kapak)
4 Matênggrān Pasukan yang bersenjata jerat (seutas tali besar)
5 Makuda Pasukan yang berkendara kuda
6 Mahaliman Pasukan yang berkendara gajah
7 Pakarapan Pasukan pengendara kereta [perang]
8 Agilingan Pembawa kereta perang

Dikutip dari Stutterheim (1925) & Yogi (1996), Sedyawati (1985)


3. Anugerah Raja kepada Para Pembuat Senjata

Pada beberapa prasasti dari masa Jawa Kuno terdapat beberapa istilah untuk menyebut para pembuat senjata beserta pimpinannya seperti yang sudah dibahas pada sub bab sebelumnya. Para pandai besi dalam masa Jawa Kuno juga mendapatkan anugerah dari raja yang berkuasa di zamannya. Anugerah tersebut berupa penetapan status daerahnya menjadi sima (perdikan) atas jasanya ketika membantu raja. Pemberian status sima tersebut sebagian besar setelah raja berhasil memenangkan sebuah peperangan. Hal ini berkaitan dengan bantuan persenjataan yang berkaitan dengan sebuah peperangan melawan musuh raja (1).

[1] Hal ini pernah dibahas oleh Galeswangi dalam sebuah diskusi sejarah kuno di Malang tahun 2013

Terdapat dua raja yang memberikan status sima (perdikan) kepada para pandai besi, yaitu Srī Mahārāja Rakai Phangkaja Dyah Wawa Srī Wijayaloka yang dalam Prasasti Sangguran (846 Saka/924 Masehi) yang ditemukan di daerah Batu, Jawa Timur, memberikan Sīma Kajurugusalyan kepada pandai besi yang berada di Manañjung (= … sīma kajuru gusalyan ing manañjung…) yang masih dalam wanua i Sangguran (Desa Sangguran). Selanjutnya Sri Maharaja Mpu Sindok dalam Prasasti Kampak (angka tahun sudah aus) yang diduga berasal dari daerah Trenggalek, memberikan Sīma Pangurumbigyan yang berada di Kampak(Hardiati, 2010: 183). Kedua daerah tersebut mendapat anugerah dari raja atas jasanya dalam membantu raja pada saat terjadi peperangan, khususnya yang berkaitan dengan pengadaan persenjataan.

Sebuah prasasti yang berbentuk lempeng berbahan logam (tamra prasasti) yang berisi tentang pemberian status sīma kepada pembuat senjata yaitu Prasasti Tembilingan berasal dari Bali. Alih aksara pada prasasti tersebut sebagai berikut:

aang-senjata

(Sumber foto: https://anangpaser.wordpress.com)


Isi Prasasti:

  1. Hangerong logawa alawan dening pangraga skarekang kasujine ring Tambêlingan. ingongaṇjênêngakên sa
  2. takring salawang angkên kawolu. dening paranakaning deśa. irehane hahi dêpa ring Tambêlingan. Hunusan. pa
  3. kḍu. tngah mêl. kang rājamudra yenuwus kawaca kagugona dene kang apaṇḍe wsi ring Tambêlingan. Tithi.
  4. ṇawa. i śaka. 1320 / o /.


Terjemahan:

  1. (Tambêli?)ngan. Berlama-lama dengan ikhlas disertai oleh sesaji berupa bunga-bunga setiap Bulan Asuji di Tambêlingan. Telah bersedia menghadiri
  2. pengukuran dengan patuh setiap waktu kedelapan, yaitu para keturunan desa, bermaksud untuk memastikan ukuran dêpa di Tambêlingan. (Di antaranya) Hunusan,
  3. Pangi, Kḍu, Tngah Mêl. yang (telah mendengarkan) titah raja untuk menyelesaikan baju baja yang dibuatkan oleh para Pande Besi di Tambêlingan. Tithi (hari menurut peredaran bulan)
  4. Tanggal 9 di tahun Śaka. 1320 atau 1398 Masehi / o /.

Berdasarkan hasil terjemahan dari isi Prasasti Tambelingan di atas, diketahui penduduk Desa Tambelingan mendapatkan status sīma dari raja karena dengan ikhlas melakukan upacara sesaji bunga setiap bulan Asuji (September-Oktober) serta yang lebih penting lagi yaitu para pande besi dari desa tersebut telah menyelesaikan pembuatan baju baja/baju perang yang merupakan sebuah titah dari raja. Rasa ketulusan para pandai besi dalam melakukan pekerjaan untuk raja itulah yang patut kita teladani.


PENUTUP

Berdasarkan penjelasan atas, dapat disimpulkan bahwa pada masa Jawa Kuno profesi yang berkaitan dengan pembuatan senjata masuk dalam daftar Sang Mangilala Drwya Haji, yaitu abdi dalêm atau pegawai istana yang terdiri atas beberapa profesi dan berkedudukan sangat penting dalam kerajaan dalam melayani serta mengabdi penuh demi memperkuat kedudukan dan kekuasaan seorang raja, sehingga mereka mendapat perlindungan khusus dari kerajaan. Profesi-profesi tersebut di antaranya pembuat keris beserta gagang dan sarungnya, pembuat senjata dari logam, pembuat senjata yang digunakan dalam kaki ayam (taji), serta juga ada pedagang senjata. Selanjutnya untuk golongan prajurit kerajaan yaitu para pasukan bersenjata panah, tombak, gandi, jerat, penunggang kuda, penunggang gajah, dan penunggang kereta perang. Seorang raja memberikan anugerah kepada para pandai besi berkat jasanya dalam ikut serta mendukung raja dalam melawan musuh, yaitu dengan mempersiapkan senjata-senjata yang dapat digunakan untuk peperangan sehingga setelah raja mengalami kemenangan sebagai balas jasanya dengan memberikan status sīma pada daerah tempat tinggal para pandai besi atau pembuat senjata tersebut.

Karya tulis ini masih jauh dari sempurna dan penulis berharap di kemudian hari ada yang mampu untuk melengkapinya agar pengetahuan tentang senjata tradisional khususnya dalam kerajaan kuno di Jawa banyak yang tertarik untuk menjadikannya sebuah kajian dan fokus penelitian yang menarik. Pelajaran berharga yang dapat kita petik dalam kajian ini yaitu marilah kita meneladani rasa ketulusan hati dari para pandai besi dalam mengabdi kepada kerajaan serta menjadi pendukung kokohnya sebuah pemerintahan. Selain itu marilah kita ciptakan hidup yang penuh dengan perdamaian, karena sejatinya perdamaian itu indah.


Daftar Rujukan

Ananto, S.N. 1985. Senjata pada Relief Karmawibhangga Candi Borobudur. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Fakultas Sastra UI.

Brandes, J.L.A. 1913. Oud Javaansche Oorkonden (OJO), Verhadelingen van het Bataviaasch Genootschap van kunsten en Wetenschappen (VBG), Dell. L, Batavia Albrecht & Co, ‘s Hage M. Nijhoff.

Hardiati, E.S., Djafar H., Soeroso, Ferdinandus, P.E.J., & Nastiti, T.S. 2010. Zaman Kuno. Dalam Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.

Manu. 1985. Kakawin Smaradahana: Sebuah Studi Filologi dalam Rangka Ilmu Sastra. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.

Padmapuspita, J. 1966. Pararaton: Teks dari Bahasa Kawi Terjemahan Bahasa Indonesia. Jogjakarta: Taman Siswa.

Riana, I.K. 2009. Kakawin Dēśa Warṇnana uthawi Nāgarakṛtāgama. Jakarta: Kompas.

Sedyawati, Edi. 1985. Pengarcaaan Gaesa Masa Kairi dan Siŋhasāri: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian. Disertasi tidak diterbitkan. Jakarta: Pascasarjana UI.

Sukendar, H., Simanjutak, T., Eriawati, Y., Suhadi, M., Prasetyo, B., Harkantiningsih, N., & Handini, R. 1999. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Siwy. V.E. 1996. Relief Senjata pada Candi-candi Masa Majapahit Abad XIV-XV Masehi. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Fakultas Sastra UI.

Yogi, D. 1996. Mangilala Drwya Haji: Kedudukan dan Peranannya dalam Struktur Pemerintahan. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Fakultas Sastra UI.

Zoetmulder, P.J. 1982. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Terjemahan Darusuprapta & Sumarti S. 1994.  Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Aang Pambudi Nugroho**
Email: aangpambudinugroho@gmail.com

*Dipresentasikan pada Pembelajaran Jawa Kuno dalam Acara Pameran Pusaka di Ponorogo pada Hari Selasa, 27 September 2016.

**Penulis adalah Pembina Komunitas Jawa Kuno Sutasoma yang dalam acara ini melaksanakan kerja sama dengan Komunitas Mahija Wengker dalam upaya pelestarian warisan budaya aksara Jawa Kuno.


Tinggalkan komentar

Kategori