Oleh: hurahura | 14 April 2011

Kerja Sunyi untuk “I La Galigo”

kompas/maria serenade sinurat

Inilah koleksi hasil penerjemahan I La Galigo ke dalam bahasa Indonesia di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Upaya untuk terus mencari penafsir Sureq La Galigo ataupun lontarak pada umumnya terus digiatkan Muhammad Salim sebelum meninggal dunia.

Kompas, Rabu, 13 April 2011 – Bermula dari keprihatinan atas terlupakannya naskah lontarak I La Galigo, Riza Darma Putra (30) bersama kawan-kawannya bertekad merevitalisasi seni sastra kuno Bugis Makassar itu. Mereka menerbitkan naskah La Galigo dalam bentuk komik.

Medio Desember 2009, Riza Darma Putra menempuh perjalanan darat sejauh 543 kilometer ke Luwu Timur, timur laut Kota Makassar. Misinya kala itu mencari jejak La Galigo. Betapa sayang, pemuda-pemudi yang dia temui justru mengenalnya sebagai nama rumah sakit umum daerah setempat.

Ingatan itu masih lekat di kepala Riza, peneliti yang bergabung dalam proyek revitalisasi kebudayaan gagasan Pusat Studi La Galigo (PSLG) di Universitas Hasanuddin. Bersama lima kawannya, Riza menyambangi Luwu Timur, Wajo, dan Barru guna meneliti seni tradisi di masyarakat Bugis Makassar itu.

Apa daya, mereka menemukan kenyataan bahwa generasi muda lebih mengakrabi televisi dan internet ketimbang naskah lontarak, yang menjadi penanda keluhuran peradaban suku Bugis. Di Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, misalnya, ketika para orang tua masih berpegang pada pesan yang tertuang dalam lontarak (aksara lokal Bugis Makassar), para pemuda lebih suka terjaga hingga larut malam untuk bermain poker di komputer.

Kegelisahan merambati Riza dan kawan-kawan. La Galigo yang bagai ”kitab sakti” untuk dikaji bagi peneliti, ternyata kehilangan arti bagi generasi masa kini.

Berpijak pada hal itu, mereka pun sepakat membuat komik La Galigo. Mengapa komik? ”Karena komik adalah budaya populer yang akrab dengan generasi saat ini,” kata Riza, alumnus Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.

Cukup sulit juga menentukan bagian mana yang akan dituangkan dalam komik. Sureq (serat) Galigo dianggap sastra klasik terpanjang di dunia—sekitar 9.000 halaman—yang bahkan mengalahkan ketebalan epos Mahabharata. Naskah terlengkap sebanyak 6.000 halaman saat ini tersimpan di Leiden, Belanda, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad Salim.

Setelah perdebatan panjang, Riza dan kawan-kawan sepakat untuk menuangkan tentang awal mula Sangiang Serri. Di dalam naskah, Sangiang Serri tumbuh di kuburan anak pertama Batara Guru dari salah satu istrinya. Sangiang Serri inilah yang dikenal sebagai padi yang akhirnya menjadi makanan utama manusia.

Padi dan komik bisa dibilang keseharian yang tidak asing. ”Apa yang ada di dalam La Galigo juga sebenarnya ada di keseharian masyarakat saat ini. Hanya kita sering terlupa,” kata Harwan Andi Kunna (30), peneliti lainnya.

Komik yang rencananya akan diterbitkan Juli 2011 ini ditujukan bagi siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama yang kelak dibagi secara gratis.


Proyek idealis

Apa yang dilakukan Riza dan Harwan bisa dikatakan sebagai proyek idealis. Kendati PSLG didanai oleh Toyota Jepang dengan bantuan Rp 70 juta setiap enam bulan, para peneliti muda ini bekerja karena kecintaan akan dunia penelitian.

Ruang pertemuan mereka di lantai tiga gedung Pusat Kegiatan Penelitian (yang akan berganti menjadi Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat) Unhas lebih kerap sepi. Jika tak ada donasi, aktivitas penelitian pun mati.

Dengan dana minimal, para anak muda ini bekerja maksimal. Harwan, misalnya, sengaja tinggal selama enam bulan di Wajo dan Barru untuk menyerap pengaruh seni tradisi di desa-desa.

Selama di desa, Harwan juga mendampingi guru SD dan SMP untuk mengenali kesenian lokal. Di Barru, misalnya, Harwan mengajar cara menggunakan suling panjang yang lubang nadanya hanya lima. Lazimnya, suling memiliki 8 lubang. Suling dari bambu ini dimainkan untuk mengiringi nyanyian yang diambil dari naskah lontarak. ”Pesertanya tidak sampai 10, tetapi mereka semangat. Itu yang penting,” kata Harwan.

Harwan merasakan bahwa menjadi peneliti muda, terutama yang bergelut dengan seni tradisi, adalah kerja yang sunyi. Ketika anak muda seangkatannya gandrung memilih industri populer yang gebyar, dia justru memilih merambah desa-desa untuk meneliti.


Lewat anak muda

Kehadiran peneliti-peneliti muda yang tertarik dengan La Galigo ini membuat Nurhayati Rahman, Kepala PSLG, tenang. Setelah Muhammad Salim, penerjemah Sureq Galigo meninggal dunia, sempat timbul kekhawatiran akan hilangnya generasi penerus Salim.

Harus diakui, sulit mencari pengganti Salim yang bisa memaknai Galigo agar bertautan dengan masa kini. Namun, Nurhayati percaya bahwa hal itu bisa diasah. ”Galigo tidak akan mati selama ada anak muda yang masih mempelajarinya walaupun butuh proses panjang,” katanya.

Upaya untuk terus mengenalkan La Galigo itu pun tidaklah berhenti. Jurusan Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, dulu bernama Program Studi Sastra Bugis Makassar, yang berdiri sejak 1985 adalah upaya untuk melahirkan para penafsir-penafsir lontarak yang baru.

Nurhayati dan (alm) Salim selaku pengajar menekankan pentingnya konteks dan pemaknaan dalam membaca lontarak. Akan tetapi, yang terutama tentu saja ketertarikan pada bidang yang digeluti.

Tidak semua alumnus jurusan ini terjun di dunia penelitian. Riza dan Harwan, misalnya, justru berlatar belakang ilmu komunikasi. Mereka yang masih menggeluti dunia sunyi inilah yang bagi Nurhayati bertugas mengembalikan La Galigo ke akarnya, dengan bahasa masa kini.

Mudah-mudahan karya besar dalam sunyi mereka akan mendapat sambutan masyarakat….


Tanggapan

  1. maaf boleh saza tahu dimana dapat saya beli-baca terjemahan i la galigo dalam bahasa indonesia, sebab di gramedia tidak saya temui. terima kasih. no hp 0818 1700 20

    • Setahu saya bbrp tahun lalu memang ada terbitan Lagaligo, mudah2an ada yg bisa bantu info, tks.


Tinggalkan komentar

Kategori