Oleh: hurahura | 18 Januari 2012

Menanti Kabar Baik dari Biting…

KOMPAS/DAHLIA IRAWATI

Salah satu bagian Situs Biting di Lumajang yang diduga merupakan pangungakan atau menara pengawas. Situs Biting dipercaya merupakan penanda pusat kota Lumajang pada era pemerintahan Nararya Kirana tahun 1255 hingga era Mataram Islam (pertengahan abad ke-17).

KOMPAS, Sabtu, 14 Januari 2012 – Reruntuhan bata merah tertata tidak beraturan, membentuk gunung kecil. Namun, begitu memanjat gunungan setinggi lebih kurang 3 meter tersebut, kita akan tahu bahwa bagian dalamnya semacam kolam tampungan air.

Untuk menemukannya, orang harus melewati jalan setapak di samping makam Dusun Biting, Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Jika tidak ada petunjuk dari kertas yang tertempel di pepohonan, mungkin orang akan balik kanan karena tidak menduga lokasinya tersembunyi di belakang makam.

Meski demikian, siapa sangka kawasan tersebut menurut para ahli menyimpan nilai sejarah tinggi. Arkeolog menyebut gunungan tersebut sebagai pangungakan atau menara pengawas. Di luar itu diduga masih ada susunan tembok benteng dan susunan bangunan lain yang menggambarkan sebagai wilayah permukiman kuno—bahkan dimungkinkan menjadi pusat kota. Orang menyebut lokasi tersebut sebagai Situs Biting.

Kondisi fisik Situs Biting boleh dibilang memprihatinkan. Sama memprihatinkannya dengan nasibnya saat ini.

Pengembang perumahan berusaha memperluas pembangunan perumahan mereka dan bukan mustahil akan merusak kawasan bersejarah tersebut. Mereka sudah mengantongi surat rekomendasi pembangunan dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan.

Di satu sisi, komunitas Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur (MPPMT) habis-habisan membela keselamatan situs tersebut agar tidak dirusak pengembang.

Pertengahan Desember lalu, komunitas MPPMT membuat aksi bersama tanda tangan dukungan di situs tersebut agar tidak dirusak. Aksi didahului dengan menggelar seminar ”Situs Biting sebagai Bagian Sejarah Lumajang”.

”Situs Biting merupakan peninggalan sejarah yang penting pada masa klasik (sebelum tahun 1500-an). Situs ini bukti kebesaran sejarah Lumajang. Itu sebabnya kami tak ingin situs ini dirusak. Merusaknya sama saja dengan merusak sejarah Lumajang,” kata Mansur Hidayat, Ketua MPPMT. MPPMT mendesak agar Situs Biting ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah daerah.

Aksi MPPMT tersebut diharapkan menjadi landasan untuk mendorong dibuatnya peraturan daerah tentang cagar budaya di Lumajang (nantinya Situs Biting tercakup di dalamnya).


Penelitian

Situs Biting sebenarnya sudah menjadi fokus penelitian berbagai pihak sejak zaman kolonial hingga masa setelah kemerdekaan.

Pada tahun 1861, J Mageman menjadi orang pertama yang meneliti situs ini. Penelitian dilanjutkan oleh A Muhlenfeld dari Dinas Arkeologi Belanda pada tahun 1920.

Pada masa Indonesia merdeka, penelitian mendetail dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun 1982-1991. Penelitian ini meliputi 11 tahap dan hasilnya menyimpulkan bahwa daerah Biting merupakan kawasan lindung budaya yang perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya.

Dari penelitian diketahui, Situs Biting merupakan kawasan permukiman dan di dalamnya ditemukan pertahanan alam; meliputi Sungai Bondoyudo di sebelah utara, Sungai Bodang di sebelah timur, Sungai Ploso di sebelah barat, dan Sungai Cangkring sebagai sungai buatan di sebelah selatan.

Kawasan ini diperkokoh benteng yang mempunyai ketebalan 6 meter, tinggi 10 meter, dan panjang 10 kilometer. Sementara di dalam dinding benteng terdapat beberapa situs seperti blok percandian, blok jading (Taman Sari), Blok Minak Koncar, dan Blok Kraton.

Benteng itu diduga melindungi pusat kota Lamajang Tigang Juru mulai dari era pemerintahan Nararya Kirana (putri Raja Singosari Wisnuwardhana) pada tahun 1255 hingga era Mataram Islam pada pertengahan abad ke-17 dari berbagai serangan.

”Dengan temuan itu, kami berharap apa yang tersisa dari Situs Biting saat ini jangan sampai dirusak. Bahkan, kalau bisa, ada penelitian lanjutan atas situs ini guna benar-benar mengungkap kisah di balik situs tersebut,” tutur Novida Abbas, peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta.


Saling lempar

Masalah mulai timbul dengan dibangunnya perumahan oleh Perumnas Biting pada tahun 1996. Meski mereka sudah mendapat peringatan dari Balai Arkeologi Yogyakarta, pembangunan terus berlanjut dan diperkirakan sudah merusak struktur bangunan bersejarah yang ada di kawasan tersebut.

Pada tahun 2011, masyarakat Lumajang yang terdiri dari Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur, Komunitas Mahasiswa Peduli Lumajang, dan Masyarakat Wisata Kotaraja Lamajang bahu-membahu mengadvokasi pelestarian Situs Biting. Namun, sampai saat ini belum ada upaya serius dari pihak-pihak terkait atas keberadaan situs itu.

Bahkan keluar rekomendasi dari BP3 Trowulan, tertanggal 28 april 2011, yang mengizinkan perluasan Perumnas Biting. Usut punya usut, rekomendasi BP3 Trowulan muncul karena belum adanya surat keputusan menteri pariwisata yang menetapkan Situs Biting sebagai cagar budaya (sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya).

Usulan Situs Biting menjadi cagar budaya sudah dibawa ke pusat, tetapi belum juga mendapat respons hingga keluarnya UU No 11/2010 tentang Cagar Budaya per tanggal 24 November 2010. Menurut undang-undang ini, penentu kebijakan benda cagar budaya adalah pemerintah daerah dan tim ahli di daerah.

”Kami tidak bisa melarang pembangunan itu karena kami tidak punya dasar. Apalagi saat pihak pengembang minta rekomendasi, mereka sudah mengantongi izin dari pemerintah daerah. Saat ini yang berhak menentukan pengelolaan situs tersebut jelas-jelas pemerintah daerah,” ujar Wicaksono Dwi Nugroho, arkeolog BP3 Trowulan.

Menurut Wicaksono, rekomendasi pembangunan yang dibuat BP3 Trowulan tetap menyertakan syarat, yaitu jika pengembang menemukan artefak atau benda arkeologis lain, mereka diminta melaporkan hal itu kepada Pemerintah Kabupaten Lumajang untuk ditindaklanjuti.

”Di sini, Pemerintah Kabupaten Lumajang bisa melakukan penangguhan pembangunan dengan menahan izin mendirikan bangunannya. Jadi, masih banyak cara untuk melindungi Situs Biting. Namun, semua kewenangan kini ada di daerah,” ujarnya.

Pemerintah Kabupaten Lumajang mengaku sudah membentuk tim pelestarian dan perlindungan cagar budaya, termasuk di dalamnya Situs Biting. ”Namun, saat ini kami belum bisa berbuat banyak karena dengan keluarnya UU No 11/2010 tentang Cagar Budaya, penetapan cagar budaya dilakukan oleh tim ahli di daerah. Sementara ketentuan tentang tim ahli belum ada petunjuk teknisnya lebih lanjut sehingga kami masih menunggu petunjuk dan kebijakan pemerintah pusat. Itu pula yang terjadi dengan upaya pelestarian Situs Biting. Kami tidak bisa menetapkannya menjadi cagar budaya sebelum tim ahli terbentuk,” ujar Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Kabupaten Lumajang Lumintu.

Dinas pariwisata, menurut Lumintu, tidak bisa mencegah upaya pengembang untuk memperluas perumahan, apalagi mereka sudah mengantongi rekomendasi dari BP3 Trowulan. Yang bisa dilakukan sekadar membuat kesepakatan dengan pihak pengembang.

Terkesan, semua pihak saling lepas tanggung jawab. ”Memang idealnya semua pihak terkait, yaitu pemerintah daerah, BP3 Trowulan, Balai Arkeologi Yogyakarta, pengembang perumahan, dan masyarakat peduli Situs Biting duduk dan membicarakan hal ini bersama-sama. Butuh kearifan semua pihak untuk memahami arti penting situs bersejarah ini,” kata sejarawan dari Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono. (Dahlia Irawati)

Grafik: Peta – Dusun Biting


Tinggalkan komentar

Kategori