Oleh: hurahura | 22 Juni 2012

Jejak Nasionalisme di Sulawesi Selatan: Jejak Perjuangan Tergerus Zaman

KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP
Lapangan Karebosi di pusat Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dipotret dari lantai 4 Monumen Mandala atau Monumen Pembebasan Irian Barat, Senin (4/6). Di lapangan itulah, Presiden Soekarno menghadiri rapat akbar dalam rangka mengembalikan Irian Barat ke Tanah Air pada 4-8 Januari 1962.

KOMPAS, Rabu, 20 Juni 2012 – Mal. Itulah yang ada di benak Della (13) ketika ditanya tentang Lapangan Karebosi yang menjadi ikon kota mereka, Makassar, Sulawesi Selatan. Memang, di bawah lapangan yang menjadi saksi sejarah perjuangan anak-anak bangsa untuk menyatukan Irian Barat ke wilayah NKRI itu kini terdapat pusat perbelanjaan modern ”Karebosi Link”.

Ya, saya tahu Lapangan Karebosi. Ada mal di sana. Memang di Lapangan Karebosi pernah ada apa?” kata siswa kelas VII Sekolah Menengah Pertama Negeri 6 Kota Makassar tersebut yang ditemui tengah menunggu jemputan pulang, di pintu gerbang kompleks sekolahnya, di Jalan Jenderal A Yani, Kota Makassar, Kamis (7/6).

Della mengaku tidak tahu sejarah Lapangan Karebosi karena seingat dia tidak diajarkan di sekolah. Dia juga tak pernah mendapatkan cerita soal sejarah lapangan itu dari orangtuanya ataupun orang-orang di sekitarnya.

Revitalisasi Karebosi pada 2008 memang mengubah lapangan yang pada 4-8 Januari 1962 menjadi tempat rapat akbar dalam rangka pembebasan Irian Barat itu. Tempat di mana presiden pertama RI, Soekarno, memekikkan ”rebut Irian Barat sebelum ayam berkokok” yang membakar semangat nasionalisme untuk mempertahankan NKRI tersebut kini identik dengan mal. Lapangan ditinggikan sekitar 2 meter dan di bawahnya dibangun tempat perbelanjaan modern.

”Lapangan Karebosi sudah tidak lagi berkarisma seperti dulu. Ketika masuk lapangan, tidak ada kesan bahwa tempat itu harus dipelihara karena merupa-kan situs sejarah. Sekarang, orang ke Lapangan Karebosi karena ada mal,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan M Syuaib Mallombasi di Makassar.

Selain tempat rapat akbar untuk pembebasan Irian Barat, Lapangan Karebosi juga menjadi tempat perjuangan para patriot bangsa berakhir. Robert Wolter Monginsidi dan sejumlah pejuang lainnya dihukum mati oleh Belanda di lapangan tersebut. Sebelum dihukum mati, mereka ditahan di penjara di seberang lapangan yang kini menjadi pertokoan.


Terasing

Tak jauh dari Lapangan Karebosi, Monumen Mandala atau Monumen Pembebasan Irian Barat yang menjulang tinggi tampak terasing di tengah hiruk-pikuk aktivitas manusia dan kegiatan pembangunan di kota dagang itu. Penanda kota setinggi 75 meter tersebut terlihat kusam tak terawat, demikian juga tiga bangunan lainnya di kompleks monumen itu.

Relief lidah api di bagian bawah bangunan yang melambangkan semangat Trikora (Tiga Komando Rakyat) dan semangat perjuangan yang tidak pernah padam terlihat kusam. Warna cat merah kecoklatan pada relief itu telah luntur diterpa terik matahari dan hujan yang datang silih berganti. Menara setinggi 62 meter berbentuk segitiga sama sisi yang dimaknai sebagai Trikora ditumbuhi tanaman liar di beberapa tempat.

Kolam di sekeliling menara simbol kejernihan berpikir, yang mutlak dimiliki setiap pejuang, airnya berwarna hijau keruh dan berlumut. Diorama di lantai 1-4 monumen seolah sekadar menjadi penunggu ruangan yang terlihat seperti gudang tua. Diorama di lantai 4 hanya menjadi saksi bisu perkembangan Kota Makassar yang terlihat menawan jika dilihat dari puncak menara tersebut.

”Jarang sekali ada kunjungan ke monumen ini. Dalam se-minggu belum tentu ada. Kalaupun ada, biasanya anak-anak sekolah. Itu pun jarang yang naik ke lantai 4,” kata Anwar, pegawai di Monumen Mandala.

Kondisi serupa juga terlihat di Benteng Somba Opu di Desa Sapiria, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa. Memasuki kompleks benteng serasa memasuki perkampungan masyarakat tradisional yang kurang terawat dengan rumah-rumah panggung dan jemuran pakaian di sekitar rumah.

Benteng pertahanan terakhir perjuangan Sultan Hasanuddin melawan Belanda tersebut memang sudah hancur sejak 1669, dihancurkan Belanda ketika mengalahkan Sultan Hasanuddin. Istana Raja Gowa juga hancur bersama hancurnya benteng. Hanya tersisa dinding setebal sekitar 2 meter dengan tinggi sekitar 3 meter di sisi barat di mana pintu masuk benteng berada. Selain itu hanya ada sisa fondasi benteng di sisi timur dan selatan.


Dihidupkan

Upaya Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan ”menghidupkan” Benteng Somba Opu dengan membangun Taman Miniatur Sulawesi Selatan yang berisi sejumlah rumah adat Sulawesi Selatan pada awal 1990-an tidak membuahkan hasil. Rumah-rumah adat tersebut kini ditempati masyarakat dan dijadikan hunian.

Museum Karaeng Pattingalloang yang dibangun pada 1992 di kompleks benteng seluas sekitar 20 hektar tersebut juga tidak mampu menarik minat wisatawan untuk berkunjung. Koleksi museum tersebut hampir tidak dapat ”menjelaskan” masa kejayaan Kerajaan Gowa ataupun perjuangan Sultan Hasanuddin. Hanya peta benteng di langit-langit museum yang harus dilihat menggunakan cermin besar menyerupai meja, yang sedikit memberi gambaran wujud benteng kala itu.

”Memang masih banyak yang harus dilakukan. Pasca-era otonomi (daerah) benteng ini tidak ada pengelolanya. Baru mulai dikelola lagi tahun 2010 di bawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan,” kata M Yusuf Husain, staf Pengelola UPTD Benteng Somba Opu.

Berbeda dengan Benteng Somba Opu, Benteng Rotterdam terlihat apik. Kondisi benteng dan bangunan nyaris masih utuh. Bangunan di dalam benteng kini difungsikan sebagai kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Makassar, kantor dan juga Museum Negeri Provinsi Sulawesi Selatan ”La Galigo”, serta kantor Dewan Kesenian Makassar. Benteng ini setiap hari juga ramai dikunjungi masyarakat.

Benteng tersebut merupakan peninggalan Kerajaan Gowa yang direbut Belanda dari Sultan Hasanuddin melalui Perjanjian Bongaya pada November 1667. Benteng itu juga merupa-kan jejak terakhir perjuangan Pangeran Diponegoro. Selama 21 tahun (1834-1855), Diponegoro menghabiskan sisa hidupnya di benteng tersebut.

Dengan pertimbangan-pertimbangan itu, ditambah letaknya yang strategis tak jauh dari Pantai Losari, menurut Syuaib, benteng tersebut diprioritaskan direvitalisasi. Biayanya menggunakan dana APBN sebesar Rp 10 miliar pada 2010 dan Rp 27 miliar pada 2011. ”Situs bersejarah di Sulawesi Selatan ini jumlahnya puluhan. Pembenahan diutamakan di situs yang bisa diunggulkan untuk pariwisata seperti Benteng Rotterdam,” kata Syuaib.

Pemprov juga telah mengajukan dana kepada pemerintah pusat untuk memperbaiki Monumen Mandala, tetapi belum ada tanda-tanda dana akan turun. ”Untuk itu, kami juga bekerja sama dengan pihak ketiga akan membuka rumah cokelat di gedung pertemuan di kompleks monumen. Sulawesi Selatan, kan, daerah penghasil cokelat terbaik. Rumah cokelat ini akan menjadi satu paket wisata dengan monumen,” katanya.

Pemprov juga bekerja sama dengan investor membangun wahana permainan air modern di zona pengembangan Benteng Somba Opu. Wahana permainan air tersebut diharapkan dapat memperkuat citra benteng untuk menarik wisatawan. Rumah-rumah adat di dalam kompleks benteng akan difungsikan sebagai tempat menginap wisatawan (homestay).

Fahri, siswa kelas VII SMPN 6 Kota Makassar, mengaku tidak tahu di mana letak dan bagaimana sejarah benteng tersebut meski dia tahu Sultan Hasanuddin adalah pahlawan nasional yang terkenal dari Sulawesi Selatan. ”Kata ayah saya, di dekat benteng itu sedang dibangun waterboom (tempat wisata air). Nanti kalau sudah jadi, saya akan diajak ke waterboom,” katanya.

Ya.., semoga nasib Benteng Somba Opu tidak seperti Lapangan Karebosi. (Yovita Arika dan Aswin Rizal Harahap)


Tinggalkan komentar

Kategori