Oleh: hurahura | 2 Agustus 2010

Karnaval Erotis Nenek Moyang Kita

Tempointeraktif.com, 10 Mei 2004 – Sebuah patung menyiratkan sosok seorang lelaki. Si pematung tampaknya tak begitu hirau dengan topografi, liku, dan lekuk badan obyek karyanya. Para arkeolog memang telah sepakat, itulah ciri peninggalan masa neolitik (500 SM), zaman batu baru: tubuh memanjang dari pundak sampai panggul seperti batang kayu. Tapi para penonton yang sempat menyaksikan karya itu di Galeri Dharma Mulia, Ciputat, Tangerang, Banten, mungkin sampai pada kesimpulan lain. Si pemahat menonjolkan dua hal. Satu, wajah dingin, berwibawa, bahkan mengandung pesona magis seorang pemimpin. Dan satu lagi, ia sosok yang memegangi penis yang mendongak ke atas.

Novelis Agung, sarjana arkeologi Universitas Gadjah Mada, menawarkan penjelasan bernada Freudian. “Biasanya penis ditafsirkan sebagai simbol kekuasaan juga,” katanya. Kita ingat ahli psikoanalisis Norman Brown yang mengutip King James, Raja Inggris yang membahasakan diri suami, dan wilayah kekuasaan istrinya. Sang Raja adalah ereksi dari tubuh politik, dan segala gemerlap kekuasaan adalah personifikasi penis.

Tadulako, demikian nama obyek yang dipamerkan sepanjang Mei 2004 dengan tema Sex and the City, Erotic Art in Indonesia 13th-20th di galeri itu, mungkin bukan model pemimpin seperti raja di atas. Lebih mungkin, ia sosok lelaki pilihan yang diangkat menjadi pemimpin sebuah keluarga besar pada zamannya. Patung setinggi satu meter ini berasal dari Bada, Sulawesi Tengah, banyak ditemukan di Los Selatan, dan biasa disandingkan dengan patung Langkae Bulava yang diletakkan di depan rumah adat Souraja. Masyarakat Sulawesi Tengah melukiskan Tadulako sebagai ayah yang tampan dan gagah perkasa. Sedangkan Langkae Bulava perempuan cantik dan ibu yang baik hati. Keduanya gambaran harmoni antara flora dan fauna di wilayah mereka.

Indonesia di masa lampau, negeri yang melimpah dengan simbol-simbol seks. Kita punya Candi Sukuh, dan relief Karmawibhangga di Borobudur, yang kaya ilustrasi seksual. Dan pameran itu menyuguhkan sekitar 160 benda dari emas, kayu, batu kapur (terracotta), dan perunggu—semua menunjukkan keragaman imajinasi seks. Bentuk dan coraknya mewakili tradisi setiap daerah dan masa.

Ada Tadulako dari Sulawesi Tengah. Ada Brayut, patung batu kapur dari masa Kerajaan Majapahit abad ke-13 sampai ke-16. Begitu pula Hampatong Shaman, patung batu dari abad ke-18 buatan masyarakat Dayak Basap di Kalimantan Timur. Juga patung Ancestor Figure dari Papua, buatan awal abad ke-19.

Patung Shaman tampil dalam atmosfer Dayak yang kental: bermata bulat besar, rahang kekar, lengan tangan kecil, dan kaki panjang melingkar-lingkar. Dalam tradisi Dayak, patung berfungsi sebagai penjaga rumah dari gangguan roh jahat. Tak aneh jika patung yang diukir di jendela rumah ini kerap berwajah mistis. Aura serupa bisa kita temukan pada patung masyarakat Papua—meski “bahasa” yang dipakai pematung Papua lebih “liar.” Sebagian kelamin laki-laki digambarkan panjang melilit kaki dan yang lain tegak menantang langit, seperti dongkrak mengangkat beban. Tak usah heran jika sebagian besar patung mereka tampil telanjang. “Mungkin ada pengaruh konsep mereka tentang busana,” kata Agung.

Konsep busana ini pula yang membedakan corak patung buatan Papua dan Jawa. Brayut menampakkan dua payudara besar, tapi selembar selendang menutup sebagian tubuhnya. Payudara membusung dan perut buncit, simbol kesuburan dan kemakmuran. Bentuk payudara kencang ini banyak mewarnai patung dari batu kapur dan perunggu peninggalan abad ke-13 sampai ke-16.

Pada era ini pula keragaman gaya sanggama diabadikan seperti dalam Man and Women in Love. Patung dari batu kapur itu menampilkan adegan pelukan laki-laki dan perempuan sambil bertindih paha. Peninggalan dari masa Majapahit sebesar kotak telepon rumah ini cukup detail menggambarkan organ vital manusia. Begitu pula dengan konsep kecantikan. Wajah perempuan sering digambarkan oval, berdagu lancip, mata agak redup, bibir bagian bawah agak tebal, tulang pipi sedikit menonjol, dan rambut lurus panjang.

“Pemahaman anatomi tubuh dan fantasi seks nenek moyang kita memang luar biasa,” kata Ayatrohaedi, guru besar arkeologi Universitas Indonesia. Imajinasi seks itu bukan cuma lewat patung, tapi juga lewat sastra klasik Serat Centini dan Darmo Gandul karya Ronggowarsito.

Pemahaman anatomi tubuh tadi tak hanya melahirkan karya bercorak realis, sama dengan obyek aslinya. Para seniman patung melakukan improvisasi bentuk. Misalnya Lingga dari Candi Sukuh di lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah. Patung batu kapur cokelat muda kemerahan ini berbentuk penis sebesar betis orang dewasa. Tingginya kira-kira setengah meter. Ia tegak seperti Monas yang menjulang di tengah keramaian Jakarta.

Seharusnya lingga memiliki dua testis. Tapi entah kenapa patung dari abad ke-19 ini malah memiliki empat testis. “Mungkin pengaruh arus besar seni di Candi Sukuh,” kata Agung. Candi yang didirikan masyarakat Hindu Tantrayana pada 1437 di Karanganyar, Jawa Tengah, ini memang dikenal sebagai candi paling erotis. Beberapa reliefnya berbentuk alat kelamin laki-laki dan perempuan yang hampir bersentuhan.

Sebagian relief Candi Sukuh menggambarkan legenda Dewi Uma yang dikutuk suaminya, Batara Guru, karena berselingkuh dengan seorang penggembala. “Soal selingkuh, erotisme, dan ketidaksenonohan juga digambarkan di Candi Borobudur,” kata Ayatrohaedi.

Relief tentang erotisme itu dikenal dengan cerita Karmawibhangga di lantai dasar candi. Ukiran pada dinding di sepanjang lorong merupakan cerita bergambar tentang kehidupan erotis Gandhawa dan Sidha. Sebagian relief itu pernah ditutup, yang menimbulkan kontroversi. “Mungkin karena kelewat vulger,” kata adik kandung sastrawan Ajip Rosidi itu. Namun itulah bagian dari perjalanan panjang, pencarian makna terhadap hal-hal tentang dan di sekitar kita. Arif Firmansyah


Tinggalkan komentar

Kategori