Oleh: hurahura | 20 November 2016

Teori-Teori Tentang Perpindahan Pusat Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur

teori-01Candi Sambisari di Slemen, pernah terkubur abu gunung berapi

Fakta luar biasa dalam sejarah Indonesia pada masa pengaruh Hindu-Buddha adalah tentang perpindahan pusat kerajaan Mataram Kuno. Kerajaan ini sebelumnya berpusat di Jawa Tengah, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada sekitar abad ke-10 M (Boechari, 1976; Coedes, 2010: 181; Rahardjo, 2011: 41). Munculnya indikasi bahwa telah terjadi perpindahan pada pusat kerajaan Mataram kuno adalah berdasarkan data prasasti.

N.J Krom (1931) menyatakan bahwa Pu Sindok sebagai raja yang pertama kali memindahkan pusat kerajaannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, berdasarkan prasasti yang menyebutkan kalimat rahyang ta i bhumi mataram i watugaluh. Ini berbeda dengan prasasti raja Daksa dan Wawa yang memerintah sebelumnya, yang menyebut ibu kota kerajaan sebagai kadatwan sri maharāja i mdang i bhumi mataram. Jika melihat dari frasa rahyang ta yang berarti “yang diperdewakan (leluhur)”, sedangkan frasa rahyang ta selanjutnya merujuk atau berkonteks dengan nama lokasi ibu kota kerajaan, berarti Sindok sudah tidak berada di mdang i bhumi mataram lagi, tetapi sudah beralih atau berpindah ke mdang i bhumi mataram i watugaluh (Boechari, 1976: 1).

Ada beberapa teori dari para ahli tentang sebab-sebab perpindahan ibu kota kerajaan Mataram kuno. Schrieke (1957: 301) mengatakan bahwa perpindahan tersebut terjadi karena rakyat Mataram kuno pada waktu itu menanggung beban yang sangat berat. Mereka diharuskan untuk membangun bangunan keagamaan besar dalam waktu singkat. Pekerjaan seperti itu sangat membebani rakyat karena mengalihkan pekerjaan mereka di sektor pertanian yang mengakibatkan produktivitas hasil pangan mereka menurun (Boechari, 1976, Rahardjo, 2011: 41).

Hal di atas dianggap Schrieke sebagai faktor penyebab perpindahan pusat kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timur. Schrieke sendiri menyimpulkan “…the final conclusion, then, is that central Javanese royal culture was destroyed by its own temple…” (Rahardjo, 2011: 41). Pendapat lain adalah faktor ekonomi. Wilayah Jawa Timur yang dipilih sebagai lokasi baru, berada di sekitaran delta Sungai Brantas dan lebih dekat dengan pintu gerbang perdagangan internasional menjadi daya tarik ekonomi. Sektor seperti perdagangan diharapkan akan lebih berkembang jika pusat kerajaan dipindah ke daerah ini (Boechari, 1976). Pendapat lain adalah teori katastropis atau letusan gunung berapi oleh Beemelen (1952: 67), yang menyebutkan bahwa telah terjadi ledakan besar di Jawa Tengah akibat gunung berapi (Merapi?) yang menyebabkan perpindahan pusat kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timur (Andreastuti, dkk, 2006: 202). Bahkan Beemelen juga mengatakan bahwa letusan itu mengakibatkan sungai Progo tertutup dan mengubur beberapa bangunan keagamaan beserta wilayah pertanian, sehingga butuh waktu lama dalam membenahi kerajaan.

Teori selanjutnya oleh J. G de Casparis (1958) yang menghubungkan perpindahan pusat kerajaan Mataram kuno dengan penyerangan Sriwijaya. Beliau mengatakan bahwa sebagai dampak dari ramainya jalur perdagangan pada sekitar abad ke-9 M, dengan produk-produk dari Jawa seperti beras, rempah, dan cendana, muncul keinginan dari salah satu kerajaan yang menggantungkan kelangsungan pemerintahannya melalui perdagangan dan pelayaran, yaitu Sriwijaya untuk menguasai Jawa. Hal ini dibuktikan dengan prasasti Anjukladang (937 M) yang berisi anugerah kepada penduduk desa Anjukladang dikarenakan penduduk desa tersebut telah berjasa membantu pasukan raja di bawah pimpinan Pu Sindok untuk menghalau serangan tentara Malayu (Sumatera) ke Mataram Kuna yang pada saat itu telah bergerak sampai daerah mereka (sekarang menjadi wilayah Nganjuk, Jawa Timur).

Selanjutnya, ketiga teori di atas disanggah oleh Boechari dalam tulisannya di Bulletin of the Research Centre of Archaeology of Indonesia (1976). Boechari mengritik pendapat Schrieke (1957) tentang pembangunan berlebih di kerajaan Mataram kuno. Menurut Boechari, pembangunan monumen keagamaan yang banyak menyerap tenaga dan menyusahkan masyarakat tidak berlandaskan kebiasaan dan cara masyarakat dalam membangun suatu bangunan keagamaan yang dilakukan atas perintah Raja. Sedangkan pengerjaannya dilakukan secara bergotong-royong oleh masyarakat sebagai bakti mereka kepada dewata. Hal ini bisa dianalogikan dengan pembangunan pura-pura di Bali yang dilakukan gotong-royong oleh rakyat, yang disebut Ngayah (Boechari, 1976). Jadi tidak benar bahwa pembangunan itu menyusahkan rakyat.

Sedangkan untuk teori de Casparis tentang penyerangan Sriwijaya, yang mengacu pada bukti prasasti Anjukladang (937 M), Boechari mengatakan bahwa Pu sindok yang pada masa itu memimpin pasukan dalam penghalauan serangan bergelar Rakryan dan belum menjadi raja, dilihat dari periodenya besar kemungkinan bahwa Mataram masih berada di Jawa Tengah (Boechari, 1976). Daerah Sungai Brantas sendiri juga daerah yang berbahaya untuk dilalui tentara untuk menyerang daerah ini, kita bisa ambil contoh penyerangan tentara Mongol (1292 M) yang melewati Brantas dan akhirnya bisa dihalau Raden Wijaya. Pun demikian tidak mudah bagi tentara Sriwijaya yang belum kenal daerah itu untuk melewatinya.

Tentang pendapat Beemelen mengenai adanya letusan gunung berapi yang terjadi pada 1006 M sebenarnya sudah dilakukan penelitian geologi tentang kebenaran letusan pada 1006 M. Hasilnya mengatakan bahwa tidak ada letusan pada tahun itu (lihat: Andreastuti, dkk, 2006). Terlepas dari ini sebenarnya Boechari sudah menyanggah pendapat tentang adanya letusan gunung berapi yang mengakibatkan bencana besar pada 1006 M. Dalam pendapatnya Beemelen mengatakan bahwa pada 1006 telah terjadi Pralaya atau bencana besar, pembacaan Beemelen  tersebut berdasarkan prasasti Pucangan (1041 M). Kemudian Beemelen menghubungkan bencana besar (pralaya) tersebut adalah akibat dari letusan gunung Merapi.

Boechari menyanggah pendapat itu dengan mengatakan bahwa pralaya yang dimaksud terjadi akibat dari serangan Haji (raja) Wura-wari dari Lwaram pada saat pernikahan Airlangga dengan putri Raja Dharmawangsa Tguh yang mengakibatkan kehancuran kerajaan dan memaksa Airlangga untuk menyelamatkan diri ke hutan (Boechari, 1976, Andreastuti, dkk, 2003: 207). Prasasti Pucangan (1041 M) menyebutkan konteks tentang  pralaya dengan penyerangan Raja Wura-wari ini terjadi pada 1016 M, bukan terjadi pada 1006 menurut pendapat Beemelen.

Jika melihat letak geografis pusat Kerajaan Mataram kuno dan sebagian wilayahnya yang berada di sekeliling gunung berapi (Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing) adanya letusan gunung yang terjadi berulang-kali di daerah pusat Mataram Kuno sekitaran periode abad ke-9-10 M adalah suatu keniscayaan. Hal itu didukung dengan beberapa data atau temuan arkeologis pada monumen keagamaan atau candi di sekitar wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah yang mayoritas ada indikasi pengaruh bencana yang diakibatkan oleh letusan gunung berapi.

Beberapa candi terlihat sempat terendam sisa-sisa material vulkanik gunung api seperti Candi Sambisari yang pada saat ditemukan terendam material vulkanik lebih dari enam meter, Candi Palgading, Candi Kedulan, Morangan, dll yang mengakibatkan  candi-candi ini mengalami transformasi setelah ditinggalkan oleh pendukung budayanya. Sisa-sisa material gunung api ini juga yang mempertahankan beberapa tinggalan arkeologi karena telah memendamnya selama beratus-ratus tahun. Ini artinya bahwa dampak kerusakan lain terutama yang diakibatkan oleh makhluk hidup tidak mungkin terjadi.

Pada titik ini kita juga layak untuk mempertanyakan lagi. Jika memang satu-satunya alasan perpindahan pusat kerajaan adalah karena pengaruh dari bencana atau letusan gunung berapi, lokasi perpindahan ke wilayah timur (Jawa Timur sekarang), tidak akan mengurangi resiko yang sama. Peluang terjadinya bencana serupa juga mungkin terjadi. Kita tahu bahwa sekitaran wilayah ini berdiri banyak gunung berapi seperti Kelud, Arjuno, atau bahkan Semeru. Boechari mengatakan bahwa konsep kosmologis Jawa kuno mengharuskan sebuah wilayah kerajaan harus mempunyai lambang Meru atau gunung sebagai pusat kosmologis, yaitu dunia atas tempat para dewa. Meskipun perpindahan ke Jawa Timur memungkinkan bencana seperti itu terulang lagi, mau tidak mau mereka harus menjalankannya, karena konsep tidak bisa lepas dari gunung sebagai pusat sebuah wilayah terutama pusat kerajaan.

Memang perpindahan kerajaan ini memiliki beberapa faktor yang terkait dengan ekonomi, dan faktor dari dalam lain, tetapi keyakinan religius tentunya mempunyai andil besar (Boechari, 1976). Sebenarnya, pada saat pusat kerajaan Mataram kuno masih berada di wilayah Jawa Tengah, telah terjadi beberapa kali perpindahan. Data prasasti memberikan keterangan bahwa pusat kerajaan yang diketahui pertama berada di (mdang i) bhumi Mataram (prasasti Canggal 732 M), Mammratipura dalam prasasti Siwagrha (Poerbatjaraka, 1951), dan Poh pitu. Penyebutan nama mdang menurut Riboet Darmosoetopo merujuk pada nama kerajaan, sedangkan setelahnya adalah wilayah pusat kerajaannya atau letak ibu kotanya berdiri. Jadi misal i mdang i poh pitu maknanya adalah “di (kerajaan) mdang (yang berada) di poh pitu.” Kemungkinan besar perpindahan pusat kerajaan atau ibu kota ini menghindari beberapa letusan yang sering terajadi pada periode itu (abad ke-8-10 M). Pertanyaannya mengapa pada saat beberapa letusan sepanjang kurang lebih dua abad itu kerajaan tidak dipindahkan ke wilayah yang lebih jauh? Mungkin banyak penyebab atau latar belakang khsus untuk menjelaskan fenomena ini.

Anggapan bahwa satu-satunya penyebab dari perpindahan besar pusat kerajaan Mataram kuno dari wilayah Jawa Tengah ke Jawa Timur diakibatkan oleh bencana gunung meletus bisa diterima. Tetapi peluang untuk faktor lain misal secara ekonomi yang berhubungan dengan letak geografis juga tidak dapat dikesampingkan. Fakta bahwa letak pusat kerajaan di wilayah Jawa Tengah secara geografis menyulitkan dari sisi hubungan antarpulau, yang memungkinkan adanya hubungan antarwilayah yang kemudian nantinya akan berkembang menjadi sistem perniagaan yang maju adalah salah satu kelemahan yang dimiliki. Arah anggapan bahwa sebab kepindahan itu merupakan akumulasi dari beberapa sebab yang antara lain mungkin dapat dirumuskan dari faktor ekonomi, geografi, keamanan, dan politik jarang sekali diungkapkan. Kesan yang terjadi, menurut hemat penulis, bahwa sebab perpindahan akibat bencana gunung api sudah cukup berdamai dengan anggapan kita, akibatnya banyak faktor lain sering dikesampingkan padahal peluangnya bisa setara jika benar-benar dikaji. Untuk itu, mungkin tulisan ini dapat sedikit memprovokasi untuk penelitian-penelitian ke depan.


Daftar Pustaka

Andreastuti, Supriati Dwi, dkk. 2006. “Menelusuri Kebenaran Letusan Gunung Merapi 1006,” dalam Jurnal Geologi Indonesia Vol. 1 No. 4 Desember 2006. Jakarta

Boechari. 1976. Some Considerations of The Problem of The Shift of Mataram’s Center of Government From Central Java to East Java in The 10Th Century A. D. Jakarta: Bulletin of The Research Centre of Archaeology of Indonesia.

_______.2012. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Coedes, George. 2010. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Kempers, A. J. Bernet. 1959. Ancient Indonesian Art. Cambridge: Harvard University Press.

Poerbatjaraka, Prof. Dr. 1951. Riwayat Indonesia Jilid I. Jakarta: Yayasan Pembangunan.

Rahardjo, Supratikno. 2011. Peradaban Jawa: dari Mataram Kuno Sampai Majapahit Akhir. Jakarta: Komunitas Bambu.

Sedyawati, Edi. 2012. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

***********

Penulis dan foto: Yogi Pradana


Tinggalkan komentar

Kategori