Oleh: hurahura | 2 Agustus 2010

Perginya Pakar Makam Islam

Tempointeraktif.com, 22 Mei 2006 – BERITA duka itu diterima dari mailing list Arkeologi. Prof Dr Hasan Muarif Ambary telah tiada, Kamis yang lalu. Dia pergi begitu saja. Di malam hari ia tidur di rumahnya di bilangan Klender, Jakarta Timur, dan tidak pernah bangun kembali. Setiap orang lalu mencari kenangan terbaik bersama sang pakar makam kuno Islam berusia 67 tahun itu.

“Dia bekas kepala pusat penelitian yang super baik. Dia suka bikin masakan yang kami makan bersama-sama di Paris tahun 1999,” kenang Kasmanian Setiagama, mantan mahasiswa Arkeologi UI. “Dia memimpin seperti bapak,” kata Bambang Budi Utomo, salah seorang peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Bambang juga mengenang ulahnya yang slebor,” Di kantor, kaus kakinya terkadang ada di mana-mana.”

Dunia arkeologi Indonesia kehilangan dua pakarnya tahun ini. Februari lalu Profesor Ayatrohaedi wafat. Dia merupakan pakar senior kepurbakalaan Islam. Hanya berselang tiga bulan, Hasan Muarif menyusul.

Bukan kebetulan bila sebagai lulusan Arkeologi Universitas Indonesia Hasan Muarif nyemplung ke bidang kepurbakalaan Islam. Hasan lahir dan dibesarkan di tengah keluarga ulama atau ajengan. “Kepurbakalaan Islam sangat penting bagi bangsa yang mayoritas Islam ini,” katanya dalam sebuah wawancara, tujuh tahun lalu.

Berbeda dengan Ayatrohaedi yang menyumbangkan ilmunya di bidang pendidikan, Hasan memilih bergiat sebagai peneliti. Sepulangnya dari Paris, Prancis, setelah menyelesaikan master dan doktor di Ecole des Hautes Etrude en Science Sociales pada 1984, ia bergabung dengan Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional.

Di lembaga yang kelak berganti nama menjadi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional itu, Hasan langsung menjadi Kepala Bidang Kepurbakalaan Islam. Tiga tahun kemudian dia menjadi orang nomor satu di lembaga itu. Hasan menggantikan Profesor R.P. Sujono, salah satu pakar arkeologi prasejarah Indonesia.

Sosok yang fasih berbahasa Inggris, Arab, dan Prancis, ini 10 tahun berkutat dalam penelitian. Setelah pensiun pada 1997, dia sempat menyepi di Paris untuk menyelesaikan bukunya, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia yang kemudian terbit pada 1998.

Pada 1998 itu dia kembali ke Indonesia dan mulai mengajar di program sarjana dan pascasarjana Arkeologi di Kampus Universitas Indonesia di Depok selama beberapa tahun. Setelah itu, dia lebih banyak mencurahkan waktu untuk mengajar di Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta. Di sana juga ia menjadi guru besar luar biasa. Sembari mengajar, Hasan juga mengepalai Museum Bait Quran di Taman Mini Indonesia Indah.

Kepakarannya di bidang arkeologi Islam dibuktikan dengan banyaknya buku dan artikel di berbagai jurnal dan penerbitan ilmiah yang ditulisnya. Selain itu, Hasan juga menulis bab khusus kepurbakalaan masa Islam di buku Sejarah Nasional Indonesia terbitan Balai Pustaka.

Tetapi ketertarikannya tak melulu soal Islam. Hasan juga menulis beberapa artikel mengenai kepurbakalaan Buddha Sriwijaya di Sumatra Selatan. Dia pun terlibat dalam proyek Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya yang dirancang pemerintah daerah setempat pada 1993.

Setahun terakhir ini kondisi kesehatannya menurun. Asam urat dan diabetes mengganggunya. Diduga, penyakit itulah yang membuatnya tertidur panjang tanpa sempat meninggalkan pesan, tanpa tanda-tanda. “Istrinya baru tahu ia tiada sewaktu akan membangunkannya untuk salat subuh. Kata dokter, ia sudah meninggal tiga jam sebelumnya,” cerita Bambang Budi Utomo. Ia belum sempat meluncurkan dua buku yang ditulisnya, Sejarah Perkembangan Kota Palembang dan Sejarah Indonesia. “Padahal naskahnya sudah selesai,” ujar Bambang lagi.

Satu per satu sosok penting arkeologi Indonesia pergi. Sementara banyak sarjana arkeologi yang tak nyemplung ke bidangnya sendiri. Kesempatan untuk bergiat di bidang ini juga minim. “Bila tak segera dipecahkan, kekayaan warisan budaya Indonesia akan habis selama-lamanya,” kata Hasan dengan cemas, tujuh tahun lalu.

Tak ada solusi untuk membuat Hasan tenang. Kecemasan itu terus dibawanya, sampai ia dimakamkan di rumah terakhirnya di Majalengka. Deddy Sinaga


Tinggalkan komentar

Kategori