Oleh: hurahura | 2 Juni 2014

Memburu Misteri Goa Harimau

PUKUL 07.00. Mobil pikap melaju, mengantar serombongan peneliti ke pinggir hutan. Lengkingan siamang (Symphalangus syndactylus) membelah hutan Desa Padang Bindu, Semidang Aji, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.

Embun pagi masih bergelantung di dedaunan ketika para arkeolog bergegas masuk hutan menuju Goa Harimau. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak licin, berbatu, dan dihuni lintah sejauh 2 kilometer pada pekan lalu. Mereka juga mendaki tangga dengan kemiringan hingga 45 derajat.

Tak mudah menjangkau liang di tengah hutan itu lantaran letaknya di lereng perbukitan kapur, sekitar 50 meter di atas Sungai Air Kaman Basa. Namun, kelelahan langsung terobati dengan kemegahan relung-relung Goa Harimau. Goa bermulut lebar dengan panjang 43 meter dan lebar 32 meter itu dihiasi stalaktit-stalaktit besar di langit-langitnya.

Di Goa Harimau, mereka ”bergumul” dengan tulang belulang manusia prasejarah yang diperkirakan menghuni goa itu lebih dari 14.000 tahun lalu. Fika Nuriavi (24) segera sibuk ikut ”mengupas” perlahan bongkahan tanah dengan semacam pinset dan kuas. Bongkahan tanah itu mengandung tulang belulang dan tengkorak manusia prasejarah. ”Harus hati-hati. Tulang-tulang ini rapuh,” ujar mahasiswa arkeologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu.

Sejak 2009 hingga 2014, sebanyak 78 kerangka yang dikubur berpasangan atau berkelompok berhasil digali. Arkeolog menduga ada pola tradisi kepemimpinan, pranata sosial, dan kepercayaan yang berkembang selama ribuan tahun. Tradisi itu yang kemudian mendasari peradaban masyarakat Nusantara.

Hasil identifikasi Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional menunjukkan, lapisan tanah kubur berusia hingga 5.445 tahun. Namun, begitu digali lagi sampai kedalaman 4,8 meter, ditemukan serpihan batu obsidian, alat pipisan, dan alat tumbuk pada lapisan tanah berusia 14.825 tahun. Goa terpencil itu sempat menjadi hunian.


Tidur bersama kerangka

Dua tahun terakhir, arkeolog prasejarah Pusat Arkeologi Nasional, Harry Truman Simanjuntak, menggandeng arkeolog muda turun ke lapangan untuk mengekskavasi Goa Harimau. Mereka diajak masuk hutan, menggali dasar goa, menganalisis, dan tidur bersama kerangka manusia prasejarah.

Sebagian besar anggota Tim Penelitian Goa Harimau 2014 merupakan tenaga muda, mulai dari mahasiswa arkeologi UGM hingga para master lulusan universitas di Eropa.

Sofwan Noerwidi, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta, adalah master paleoantropologi Institut de Paléontologie Humaine, Paris. Begitu juga rekan sekampusnya, Mirza Ansyori, master arkeologi fauna yang aktif di Center for Prehistory and Austronesian Studies (CPAS).

Untuk meneliti tulang belulang manusia prasejarah, Truman mengajak pula Dyah Prastiningtyas. Dia seorang osteoarkeolog dari CPAS, lulusan S-2 University of Sheffield, London. Lalu, proses ekskavasi vertikal dan pembuatan gambar tiga dimensi situs Goa Harimau dipercayakan kepada Ruly Fauzi, master lulusan Università Degli Studi di Ferara, Italia.

Ketua tim penelitian, Adhi Agus Oktaviana, fokus mengamati gambar cadas (rock art) Goa Harimau. Tahun ini, dia menemukan 10 motif gambar cadas baru. Sampai sekarang, ada 34 motif gambar di goa itu.

”Mereka siap ’tempur’ di lapangan. Arkeologi tanpa lapangan tak akan berkembang. Arkeologi tanpa lapangan hanyalah arkeologi metropolitan,” ucap Truman.

Bersama para yuniornya, Truman turun ke lapangan meski dia sempat cedera karena terjatuh saat menyusuri perbukitan Padang Bindu. ”Setelah 35 tahun ke lapangan, baru kali ini mengalami kecelakaan,” kata Truman yang terpaksa berobat ke Jakarta, tetapi beberapa hari kemudian kembali masuk goa.

Di pelosok Padang Bindu, para arkeolog terasing dari dunia luar. Mereka tidur di Museum Si Pahit Lidah yang berada di tengah hutan dengan jaringan sinyal telekomunikasi lemah.

Ketika hujan lebat, listrik sering kali mati. Museum pun menjadi sunyi, hanya terdengar suara siamang dan kicau burung. Mereka terpaksa mandi dengan air keruh Kali Semuhun. ”Badan saya gatal-gatal. Jika hujan, saya mandi air hujan. Airnya lebih jernih,” kata Sofwan. Dulu, air Kali Semuhun jernih. Namun, setelah pembukaan kebun sawit, sungai jadi keruh.

Bagi mereka, jauh dari keluarga itu lumrah. ”Seminggu sebelum menikah, Maret lalu, saya masih ekskavasi di Situs Sangiran. Sebulan setelah menikah, langsung ditugaskan ke Goa Harimau,” ucap Ruly.

Penggalian Goa Harimau masih panjang. Di dalam lantai goa masih tersisa puluhan kerangka terpendam. Goa dan tulang-tulang itu akan menguak misteri sebuah peradaban. (Aloysius B Kurniawan)

(Sumber: Kompas, Senin, 2 Juni 2014)


Tinggalkan komentar

Kategori