Oleh: hurahura | 1 Januari 2012

Pandangan Seorang Kerani Rendahan: Pemulihan Jati Diri Bangsa melalui Pengelolaan Terpadu untuk Candi Borobudur, Per(Museum)an, dan Perpustakaan*


Latar Belakang

Sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru dan dilanjutkan dengan Reformasi 1998, “tatanan” masyarakat yang ada di Indonesia mulai kacau balau. Bedanya hanya pada kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat di kalangan masyarakat, dari terkekang menjadi bebas sebebas-bebasnya. Untuk itu, ada baiknya kita menyimaki apa yang dulu tidak pernah terjadi dan sekarang sering terjadi di masyarakat. Dulu dikenal ramah tamah dan penuh toleransi, sekarang beringas dan mudah diadu domba.

Kita pernah berpandangan bahwa bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang multietnis. Pandangan itu berubah manakala kita kaji lebih jauh sampai kedatangan bangsa-bangsa lain ke Nusantara. Masuknya bangsa-bangsa Tionghoa, India, Arab, dan Eropa dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda, menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang multikultur. Para pendatang itu ada yang membaur dengan penduduk pribumi, dan ada pula yang “memaksakan” budayanya ke penduduk pribumi dalam bentuk penjajahan.

Suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang multikultur dengan keragaman budaya pada suku-sukubangsa yang hidup di Nusantara. Sejak kemerdekaan dan Indonesia menjadi Negara Kesatuan, selama beberapa puluh tahun suku-sukubangsa yang mendiami Nusantara hidup dalam damai. Tidak pernah terdengar pertikaian antarsukubangsa dan antaragama. Kedamaian ini “berakhir” dengan dimulainya pertikaian antarsukubangsa di Kalimantan Barat, menyusul di Kalimantan Selatan. Yang lebih memprihatinkan adalah pertikaian antaragama di Ambon dan Poso. Sampai saat ini kondisi demikian seperti api dalam sekam, artinya setiap saat dapat meletus kembali.

Semua kejadian yang memalukan tersebut kalau diamati mungkin disebabkan oleh menipisnya rasa toleransi yang berakar dari jatidiri. Ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah dalam hal penghapusan kurikulum budi pekerti pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Terbukti para remaja mudah beringas dan mudah terprovokasi. Kalau ditelusuri ke belakang, remaja yang mudah beringas ini ketika masih di tingkat Sekolah Dasar tidak mengenal pelajaran Budi Pekerti. Fenomena inilah yang harus segera dibenahi dengan menggunakan pendekatan kebudayaan.

Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan Kabinet Indonesia Bersatu (Jilid 2), bahwa Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata masuk dalam koordinasi Menko Perekonomian, tak pelak masyarakat awam bertanya-tanya: Mau dikemanakan kebudayaan? Apakah kebudayaan akan “dijual” melalui kegiatan kepariwisataan? Ya tidak masalah kalau dijual karena sumber devisa dari migas akan habis dalam jangka waktu tidak lama lagi. Sebab itu sektor pariwisata harus digalakkan agar dapat menjadi salah satu sumber devisa negara.

Tidak dimungkiri bahwa Indonesia sangat kaya akan ragam budaya penduduknya yang katanya multietnis, bahkan lebih tepat dikatakan multikultur. Keragaman budaya dikarenakan perbedaan budaya antara satu sukubangsa dengan sukubangsa lainnya merupakan daya tarik wisata, yang sudah barang tentu bisa dijual. Lantas, bagaimana dengan sisi lain dari kebudayaan yang lebih penting bagi jatidiri bangsa dan persatuan?

Jika kebudayaan dimaknai sebagai pariwisata, maka kita tidak ubahnya seperti bangsa Eropa zaman kolonial yang melihat kebudayaan di luar negaranya sebagai sesuatu yang eksotis, menarik, dan “aneh” sehingga perlu dilestarikan agar bisa dinikmati. Padahal kebudayaan mempunyai pengertian yang sangat luas, yang menyangkut jatidiri bangsa dan pengetahuan bangsa.

Kebudayaan merupakan satu kesatuan dari pengetahuan atau gagasan budaya, tingkah laku budaya dan benda-benda budaya. Ini tentunya menjadi sangat menarik jika ketiga unsur itu dilihat secara terpisah, sehingga orang berbicara tentang mana yang bisa dijual dan mana pula yang tidak bisa dijual. Pengetahuan budaya sebagai sebuah entitas yang sangat terkait dengan eksistensi masyarakat pendukungnya menjadi bekal yang kuat bagi jatidiri suatu komunitas, bahkan bangsa. Sebut saja kearifan lokal, yang sangat sarat dengan ide, nilai, norma dan moral suatu komunitas sesuai dengan lingkungan hidupnya.

Suatu entitas mestinya disimbolkan juga dengan penguasaan wilayah yang tergambar sebagai hak hukum adat seperti dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 18b ayat (2): “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Penguasaan wilayah menjadi dasar bagi berkembangnya aturan adat yang dilindungi itu, dan biasanya wilayah komunitas tertentu dikuatkan dengan adanya mitos, legenda dan ceritera-ceritera rakyat tentang daerah dan asal komunitas yang bersangkutan, dan ini menjadi sandaran bagi aturan-aturan adat yang ada. Wilayah-wilayah tersebut tidak terbatas pada daratan saja, akan tetapi juga wilayah lautan atau air yang menjadi daerah yang dapat dihuni.

Batas kewilayahan tempat tinggal komunitas suatu sukubangsa tidak nyata. Ada daerah abu-abu yang dimukimi oleh komunitas dua sukubangsa yang berbeda. Daerah abu-abu inilah merupakan daerah rawan konflik. Pada saat ini di daerah tersebut sering terjadi pertikaian antarsukubangsa, seperti yang terjadi di Lombok dan beberapa tempat lain.


Pengelolaan Terpadu

Tidak ada satu pun pemerintah di muka bumi ini yang membiarkan rakyatnya hidup dalam kekacauan dan tidak mempunyai jatidiri. Kalau kita melihat kenyataan-kenyataan yang terjadi pada bangsa ini, penurunan jatidiri bangsa, mudah beringas dan diadu-domba, serta dilecehkan bangsa lain, tentu pemerintah Republik Indonesia melalui Kabinet Indonesia Bersatu (Jilid 2) harus segera berbenah.

Setahun lebih pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (Jilid 2) “mengemban” amanat rakyat, namun hingga saat ini hasilnya apalagi manfaatnya belum ada. Kita tidak tahu apa hasil dari penilaian yang 30, 50, 70, dan 100 hari seperti yang pernah dijanjikan oleh Presiden Yudhoyono. Kita hanya melihat bahkan merasakan, tidak ada perubahan yang mengarah pada perbaikan. Ini tentu ada yang salah. Kalau kita perhatikan keseharian dalam kehidupan masyarakat, kesalahan itu terletak pada degradasi jatidiri masyarakat Indonesia.

Urusan jatidiri bangsa adalah urusan kebudayaan, dan urusan kebudayaan ada pada Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Lantas apa yang harus dilakukan untuk membenahi bangsa yang sedang “kehilangan” jatidiri ini? Untuk itu, marilah kita lihat potensi yang kita miliki dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bangsa.

Urusan jatidiri bangsa dapat dilakukan melalui beberapa cara, tetapi walau bagaimanapun cara yang dilakukan harus melalui suatu pengelolaan yang terpadu di antara potensi-potensi yang dimiliki, yaitu Borobudur, Museum, dan Perpustakaan yang pengelolaannya harus dilakukan antar kementerian terkait. Lagipula, kabinet sekarang ini mengandalkan kerja sama antar kementerian. Inilah potensi dan sekaligus kekayaan budaya yang sangat berharga dan tidak ternilai.

Borobudur merupakan gunung kosmos, punden berundak untuk memuja arwah nenek moyang dan juga bangunan suci utama dari dinasti Sailendra yang berkuasa di Tanah Jawa pada abad ke-8-10 Masehi. Ini mengindikasikan bahwa meskipun pada Borobudur kental dengan unsur budaya India, namun unsur budaya lokal tidak ditinggalkan. Arsitektur punden berundak merupakan unsur budaya lokal.

Bangunan Borobudur bukan saja merupakan contoh arsitektur yang unik, tetapi juga dapat dianggap sebagai perwujudan konsep ajaran Buddha dalam batu. Penguasa Sailendra mewariskan kepada kita suatu dokumentasi kehidupan keseharian masyarakat pada abad ke-8 Masehi yang ceria dan damai. Meskipun rangkaian cerita yang dipahatkan pada dinding bangunan dan dinding pagar berasal dari India, namun setting-nya adalah keadaan masyarakat di sekitar Borobudur. Misalnya dapat disaksikan bentuk-bentuk rumah tinggal, perahu khas Asia Tenggara, sistem pertanian sawah, membuat barang tembikar, dan aktivitas pande logam di bengkelnya. Pesan yang hendak disampaikan melalui penggambaran relief adalah hidup damai dan saling menolong antar umat manusia seperti yang diajarkan oleh para Bodhisattwa.

Borobudur dengan relief ceritanya bak sebuah buku best seller yang kandungan isinya baik dan dianjurkan dibaca untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Namun sayangnya, kitab yang baik itu tidak atau kurang disertai dengan “resensi” yang baik serta kurang disosialisasikan pada masyarakat pewarisnya. Akibatnya, calon pembaca hanya melihat bentuk fisiknya, tidak membacanya dengan seksama, apalagi mengimplementasikan dalam kehidupan kesehariannya. Pengunjung lebih suka berfoto berlatar onggokan batu yang tidak dapat berbicara.

Berbicara Indonesia, maka tak pelak lagi muncul sebuah ikon yaitu Borobudur, sehingga nama Borobudur lebih identik dengan Indonesia. Bangunan itu sarat dengan nilai sejarah, filosofi serta harapan-harapan, merupakan sebuah benda budaya yang sudah menjadi milik Indonesia dan bukan lagi Jawa atau Sailendra. Ini menjadi sebuah jatidiri bangsa Indonesia.

Museum, berdasarkan definisi yang diberikan International Council of Museums (ICOM), adalah institusi permanen, nirlaba, melayani kebutuhan publik, dengan sifat terbuka, dengan cara melakukan usaha pengoleksian, mengkonservasi, meriset, mengkomunikasikan, dan memamerkan benda nyata kepada masyarakat untuk kebutuhan studi, pendidikan, dan kesenangan.

Cerminan dari tingginya kebudayaan sebuah bangsa dapat dikatakan diwujudkan dalam sebuah benda. Itulah sebabnya tinggi rendahnya peradaban dari sebuah bangsa dapat dilihat di museum berupa benda-benda koleksinya. Adalah tugas dan kewajiban dari penelitilah yang menjadikan benda koleksi museum menjadi “hidup” dan dapat “berbicara”. Ini jarang sekali dilakukan oleh para pengelola museum. Akibatnya sebagian besar masyarakat mengganggap bahwa museum hanya tempat menyimpan barang-barang antik peninggalan masa lampau, tanpa melihat proses atau aktivitas dari keberadaan benda-benda budaya tersebut.

Perjalanan panjang sebuah artefak mulai dari situs sampai museum memerlukan waktu yang lama dan biaya yang relatif besar. Idealnya, sebuah artefak yang ditemukan terlebih dulu dilakukan analisis artefaktual dan konstekstual sampai tuntas. Setelah diketahui jenis dan fungsinya, barulah diserahkan ke museum untuk menjadi koleksi dan sekaligus diinformasikan pada masyarakat bagaimana sebuah aktivitas manusia dari bangsa tertentu melaksanakan kehidupannya. Dari perjalanan aktivitas serta benda yang ada di museum, maka tampak adanya sebuah atau seperangkat tingkah laku budaya dari bangsa tersebut. Melalui benda-benda cagar budaya inilah jatidiri sebuah bangsa dapat terbentuk.

Borobudur tidak berdiri sendiri. Bangunan ini berkonteks dengan bangunan lain dan artefak lain yang ditemukan di sekitar Borobudur, atau di tempat yang jauh tetapi masih berkorelasi dengan Borobudur. Benda cagar budaya lepasan ini, setelah tuntas dianalisis idealnya diserahkan ke museum. Kalau museum itu ada di lingkungan kompleks Borobudur, dapat menjadi koleksi Museum Samudrareksa. Kenyataan yang ada, selain “miskin” koleksi, museum ini jarang dikunjungi masyarakat, baik untuk keperluan sekadar melihat-lihat koleksi maupun untuk pengetahuan apalagi untuk keperluan studi.

Kedua potensi tersebut (Borobudur dan Museum) yang masih bernaung di bawah satu atap (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala), tampaknya masih berjalan sendiri-sendiri tidak terkoordinasi dengan baik. Belum lagi kalau sebuah museum berada di bawah pengelolaan pemerintah provinsi, makin jauh dari koordinasi apalagi dikelola secara terpadu.

Sekarang kita melihat potensi lain yang dapat dipakai untuk mengangkat jatidiri bangsa, yaitu Perpustakaan. Salah satu dari misi dari perpustakaan adalah “Melestarikan Bahan Pustaka (Karya Cetak dan Karya Rekam) sebagai Hasil Budaya Bangsa” dengan kewenangan antara lain “merumuskan dan pelaksanaan kebijakan pelestarian pustaka budaya bangsa dalam mewujudkan koleksi deposit nasional dan pemanfaatannya”.

Seperti halnya museum, perpustakaan juga memiliki koleksi karya budaya yang mencerminkan jatidiri bangsa. Naskah-naskah (manuskrip-manuskrip) kuna tinggalan budaya awal berkembangnya Islam di Nusantara dan sebelumya, banyak tersimpan di perpustakaan di berbagai tempat. Ada yang disimpan di Museum Keraton, di Balai-balai Kajian, dan di perpustakaan daerah. Dilihat dari fisiknya, manuskrip ini ada yang ditulis di atas daun tal (lontar), kulit kayu, dan kertas. Isinya bermacam-macam, ada yang tentang sejarah kerajaan, hikayat, pengobatan tradisional, petuah-petuah kebajikan, pesan dan tuntunan hidup, agama, dan semuanya menunjukkan kearifan dari suatu bangsa.

Mengenai naskah—terutama naskah-naskah Melayu dari sekitar Riau Kepulauan—nasibnya sangat memprihatinkan. Pemerintah daerah dan pemerintah pusat kurang memberikan perhatian. Akibatnya banyak manuskrip dijual ke Singapura dan Malaysia. Padahal, di antaranya ada yang isinya cukup penting bagi penulisan sejarah. Ini sangat berbahaya apabila menyangkut batas-batas kerajaan sebelum terbentuknya Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Sebagai contoh, Malaysia dapat menang dari klaim Singapura atas Pulau Batu Putih karena merujuk dari dokumen zaman kesultanan Johor abad ke-19 tentang batas-batas wilayah. Bagaimana kalau sebuah pulau di Indonesia berhasil dikuasai Malaysia atau Singapura hanya berdasarkan rujukan dari secarik dokumen kesultanan Riau-Penyengat?

Selain itu, perpustakaan juga mempunyai andil terhadap perkembangan pengetahuan dan teknologi manusia, khususnya dalam hal sosialisasi pengetahuan dari generasi ke generasi. Adanya sistem on-line antar perpustakaan menjadi sangat membantu bagi kepentingan kebutuhan satu daerah dengan daerah lain dalam hal informasi terbaru melalui buku-buku yang ada serta informasi up to date dari perkembangan teknologi dapat diakses oleh seluruh komponen bangsa di seluruh Indonesia.

Perpustakaan adalah sebuah gudang penyimpanan pengetahuan manusia dalam bentuk tulisan-tulisan, baik masa lalu maupun masa sekarang dan akan berlanjut pada masa selanjutnya sebagai bentuk proses sosialisasi. Seperti istilah Scripta manen verba Volant, (“apa yang tertulis bersifat abadi dan apa yang diucapkan akan sirna”). Tulisan-tulisan yang tersaji dalam perpustakaan merupakan perjalanan panjang sebuah pengetahuan budaya suatu bangsa.

Tiga komponen atau potensi untuk pemulihan jatidiri bangsa perlu disinerjikan di bawah koordinasi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata yang merangkul Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Komunikasi dan Informasi. Karena kondisinya sangat mendesak agar dapat mengurangi tindak kekerasan di lingkungan masyarakat baik di kota maupun di desa, perlu segera dibentuk semacam tim pengelolaan terpadu untuk Borobudur, Museum, dan Perpustakaan. Melalui koordinasi yang bersinerji lintas sektoral (kementerian) potensi-potensi yang dimliki tersebut dapat dimasyarakatkan. Sebagai penanggungjawab program adalah Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. (Bambang Budi Utomo, Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional)

*Makalah pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi ke-12, 2011


Tinggalkan komentar

Kategori