Oleh: hurahura | 16 Maret 2011

Kawasan Thamrin – Sudirman Dulu Lahan Kosong, Kini Hutan Beton

Hotel Indonesia, hotel mewah pertama di Jakarta. Kini sudah berganti wajah. [Foto: internet]

Warta Kota, Selasa-Kamis,15-17 Maret 2011 – Sebelum menjadi kawasan utama di wilayah DKI Jakarta, puluhan tahun yang lalu kawasan Thamrin dan Sudirman masih berupa lahan kosong dan lahan perkebunan, sebagaimana tergambar dari nama Kebon Kacang dan Kebon Kosong di sekitarnya. Kemungkinan besar, yang pertama kali tinggal tidak jauh dari sana adalah budak-budak dari Bali sebagaimana nama Kampung Bali sekarang.

Sebagai ibukota negara, memang sejak 1950-an perkembangan Jakarta dicanangkan menjadi bagian dari politik mercu suar. Hal ini untuk menunjukkan kepada dunia luar adanya kekuatan-kekuatan baru yang sedang tumbuh. Selain jalan raya, ketika itu dibangun hotel mewah, toko serba ada, kompleks olahraga, dan jalan melingkar.

Hotel mewah yang pertama kali dibangun adalah Hotel Indonesia (HI). Hotel ini didirikan untuk menyambut kontingen olahraga berskala internasional karena pada 1962 Indonesia terpilih menjadi tuan rumah Asian Games IV. Setahun kemudian ketika Indonesia menyelenggarakan Ganefo (Games of The New Emerging Forces), yakni pesta olahraga negara-negara Asia Afrika yang baru merdeka, HI pun menjadi tempat menginap para atlet dan official mancanegara.

Seusai itu selama bertahun-tahun HI yang dibangun dengan pampasan perang Jepang, menjadi primadona Jakarta. Banyak kegiatan sosial politik dan juga kesenian dilakukan di sini. Waktu itu Ballroom HI menjadi kebanggaan tersendiri karena banyak didatangi golongan VIP. Karcis bioskopnya pun berharga mahal. Hanya masyarakat golongan atas yang mampu menonton film-film berkategori gala premiere. Seiring munculnya hotel-hotel bertaraf internasional pada 1980-an, peranan HI pun ikut memudar. Bahkan cenderung menghilang karena tidak mampu bersaing secara profesional.

Pada zamannya, HI merupakan bangunan paling tinggi di Jakarta. Selain itu, merupakan hotel paling mewah dan mahal. Terutama setelah kusutnya manajemen Hotel Duta Indonesia (Des Indes) di kawasan Jalan Gajah Mada. Sayang, kini hotel yang pernah menjadi kebanggaan Jakarta itu pun lenyap tergerus waktu. Hanya bagian tertentunya yang terselamatkan. Itu pun karena desakan para pemerhati sejarah.

Yang tetap dikenang masyarakat hanyalah nama Bundaran HI. Apalagi sejak maraknya berbagai unjuk rasa di era reformasi ini. Bundaran HI ibarat tempat VIP untuk melakukan uneg-uneg atau mencari perhatian publik.

Nama HI sendiri, paling tidak, sulit terpisahkan dari Tugu atau Patung Selamat Datang yang berdiri di depannya. Patung ini pun dibuat dalam rangka persiapan penyelenggaraan pesta olahraga Asian Games IV. Ujud patung berupa dua orang pemuda dan pemudi memberi ucapan selamat datang. Keduanya melambaikan tangan kanannya ke atas, sementara si pemudi membawa seikat bunga sebagai tanda penyambutan.

Lokasi sekitar HI dipilih untuk menempatkan patung karena pada waktu itu HI merupakan pintu gerbang masuk kota Jakarta. Dalam rangkaiannya dengan Asian Games di Senayan, HI merupakan pintu gerbang menuju ke gelanggang olahraga tersebut.

Menurut buku Sejarah Singkat Patung-patung dan Monumen di Jakarta terbitan Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta (1985), gagasan pendirian patung diberikan oleh Presiden Soekarno, sementara pola desainnya dikerjakan oleh Henk Ngantung, seniman yang juga pejabat tinggi di DKI Jaya. Sebaliknya, menurut Hikayat Jakarta karangan Willard A. Hanna (1988), patung tersebut merupakan sumbangan dari China. Untuk itu tentunya perlu ada klarifikasi dari pihak berwenang, referensi mana yang benar.

Patung Selamat Datang berdiri di atas air mancur yang fenomenal. Seperti halnya masa sekarang, dulu di sekeliling air mancur sering berbaris rakyat jelata yang marah terhadap semua pengecam Presiden Soekarno.

Di seberang air mancur, hampir berhadap-hadapan dengan HI, terdapat sebuah gedung pencakar langit tertinggi di Jakarta bernama Wisma Nusantara. Dana pembangunan gedung itu juga berasal dari pampasan perang. Ironisnya, selama bertahun-tahun pembangunan gedung tersebut pernah terbengkalai sehingga besi-besi penyangganya berkarat. Kabarnya, pihak pemerintah dan kontraktor saling tuduh dan curiga adanya ketidakberesan dalam pengerjaan proyek.

Tak berapa jauh dari HI masih di Jalan Thamrin, berdiri Gedung Toserba (Toko Serba Ada) Sarinah. Nama Sarinah diberikan untuk mengenang jasa ibunda Presiden Soekarno. Seperti halnya HI, Sarinah juga dibangun dengan dana pampasan Jepang.

Pada awalnya, Sarinah merupakan pusat perbelanjaan modern yang harus menjual barang dengan harga sangat murah. Waktu itu pemerintah kalang kabut karena nilai rupiah jatuh akibat inflasi. Untuk merebut hati rakyat, maka didirikanlah Sarinah itu. Mungkin karena masih gagap teknologi, pengoperasian Sarinah sering tersendat. Eskalator, AC, dan listrik kadang-kadang tidak bekerja maksimal. Masyarakat pun tidak bisa membeli banyak karena barang-barangnya langka atau bahkan tidak ada sama sekali.

Sebagai pusat perbelanjaan di jantung Jakarta, kemudian beberapa lantai di gedung itu disewakan untuk pusat penjualan barang kerajinan Indonesia. Banyak turis asing sering datang ke sini. Pernah pula dipakai untuk penyelenggaraan kasino dan klub malam. Setelah kegiatan itu dilarang, Sarinah jarang didatangi orang. Sekarang, memang Sarinah masih berfungsi. Namun perannya sebagai pusat perbelanjaan kelas atas dan perkantoran, sudah tergeser oleh mal dan “gedung jangkung” yang lebih modern.

Berbicara kawasan Thamrin – Sudirman tentu kita tidak boleh melewatkan Stadion Utama Senayan dan kompleks Gelanggang Olahraga Bung Karno. Di kompleks inilah penyelenggaraan Asian Games dan Ganefo berlangsung semarak. Sampai kini kedua gedung itu masih berfungsi, bukan hanya untuk kegiatan olahraga tetapi juga untuk menyelenggarakan kesenian, pameran buku, dan kegiatan politik.

Kompleks Senayan merupakan sumbangan pemerintah Uni Soviet. Pada masanya, Stadion Utama Senayan merupakan salah satu stadion olahraga terbesar di dunia. Tempat tersebut mampu menampung sekitar 100.000 penonton. Meskipun peresmiannya sempat diwarnai insiden—ketika itu PM Uni Soviet Nikita Krushchev sangat murka karena pemerintah Indonesia tidak memberikan tanda atau prasasti untuk mengingatkan jasa Uni Soviet itu—namun nama Senayan tidak pernah dilepaskan dari sejarah.

Salah satu maskot dari kawasan Thamrin – Sudirman tentu saja adalah jalan melingkar yang disebut Jembatan Semanggi. Jembatan yang dirancang oleh Ir. Sutami ini sampai sekarang masih tetap menjadi poros yang menghubungkan berbagai wilayah di dalam kota.

Kini poros Thamrin – Sudirman sudah menjadi hutan beton paling luas di seluruh Indonesia. Bahkan menjadi kawasan paling bergengsi dan mahal dengan sebutan “Segitiga Emas”. (Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)


Tanggapan

  1. Hotel Indonesia…Hotel Termewah Pertama Di Indonesia….

  2. Ya benar, dibangun dari pampasan perang Jepang

  3. Koreksi sedikit: nama Sarinah diberikan oleh bung Karno utk mengenang ibu asuh beliau waktu beliau masih kecil, yaitu ibu SAINAH (dgn sedikit di plesetkan).

    • Terima kasih atas infonya

  4. Aku masih SMP dikawasan Pegangsaan Barat, ketika HI baru sampai lantai 8, kami sengaja diliburkan bergilir, dipimpin oleh wali kelas yang juga sama kampungannya dengan kami, untuk piknik ke lantai 8. Lantai tertinggi yang pernah ada dimasa itu. jalan kaki sejauh itu adalah hal biasa, Itu dulu, gerobak dan beca masih hilirmudik.


Tinggalkan komentar

Kategori