Oleh: hurahura | 26 Juni 2013

Candi Singosari Dibangun sebagai Pilar Kosmis Kerajaan Singasari

Abstract: The Singosari temple is located in Krajan, Candirenggo, Singosari part of district of Malang. Based on general structure, Singosari temple has experienced divergence. The body which is slightly built upward is supported by the temple’s feet which looks bigger on the veranda. The bigger temple’s foot is actually a style of annex that has rooms each of which surround its main temple’s feet. Therefore, the body structure is highly increased. The function of Singosari temple according to building structural observation and also the importance of its position as replica of Mt. Meru (the heaven of God) in the past is needed to review.

Acoording to observation and research on field, it can be concluded that the function of Singosari temple is not as place for keeping the corpse ash, the king’s tomb, or as the worship place related to ancestor spirits. This is based on the fact that there are no coffins of corpse and wells for keeping the corpse coffins found in the temple. Moreover the Hinduism tradition about corpse care says that the corpse ash is not put in the temple or holy place. The function of Singosari temple is addressed as magical protection for the country or kingdom that has basic religion of Tantrism. As country or kingdom’s temple, the scale model beautifully made according to Meru concept. As the replica of Mt. Meru, therefore it is exclusively build in the center of the city.

Key words: Candi Singosari, Kosmis, Kerajaan.


Latar Belakang

Candi Singosari terletak di dukuh Krajan Kelurahan Candirenggo Kecamatan Singosari Kabupaten Malang, merupakan candi yang paling banyak dikaji dan diteliti daripada candi-candi di kabupaten Malang lainnya. Sejak dilaporkan penemuannya tahun 1803 hingga sekarang, tidak habis-habisnya penelitian dilakukan terhadap bangunan yang penuh misteri tersebut. Candi peninggalan kerajaan Singasari ini memang memiliki ciri yang khas jika dibanding dengan candi-candi lain yang ada di Indonesia, khususnya Jawa Timur. Ciri khas tersebut dapat dilihat dari bentuk dan struktur bangunannya. Pada candi-candi lain, terutama dari jenis candi agama Hindu, bentuknya menjulang atau tambun dengan struktur bangunannya terdiri dari bagian kaki, badan, dan puncak. Arca -arca ditempatkan pada bagian tubuh candinya.

Ditinjau dari struktur candi secara umum, candi Singosari menunjukkan penyimpangan. Bentuk badan yang terkesan menjulang ramping ditopang oleh kaki candi yang terkesan sangat tambun di atas batur. Kaki candi yang tambun itu ternyata adalah sebuah ubahan dari bangunan penampil yang memiliki ruangan yang masing-masing mengelilingi kaki bangunan induknya, sehingga tubuh candinya terangkat agak tinggi. Arca-rca ditempatkan pada kaki candi dalam bentuk bangunan penampil tersebut. Tubuh candinya dirancang untuk tidak memiliki ruangan tempat arca sebagai layaknya candi Hindu. Sebagai gantinya dibuatlah relung-relung yang tidak terlalu dalam di setiap sisi dinding luar badan candi, dan menghadap ke arah empat penjuru mata angin pusat. Sebagai catatan bahwa sejak candi itu ditemukan, tidak didapati arca maupun fragmen arca yang menempati relung-relung tersebut. Kalaupun terlepas dari tempatnya, tidak ditemukan pula di pelataran percandian, juga daerah sekitarnya.

Penyimpangan struktur yang demikian itu bukanlah merupakan hal yang kebetulan atas dasar kreatifitas dari arsitek pembangunnya. Tentunya ada sebab-sebab atau pertimbangan yang melatar belakangi kelokal geniusan akan rencana para arsiteknya, mengapa bentuk serta struktur candi Singosari dibangun seperti itu. Puncak – puncak dari bangunan penampil sekarang tampak pejal, seolah-olah puncaknya rata, oleh karena itulah bagian badan terkesan langsing menjulang, sementara bagian kaki terkesan gemuk tambun. Menurut perencanaan kembali di atas kertas yang dibuat oleh Leydie Melville, arsitektur candi Singosari merupakan bangunan induk dengan puncak yang menjulang tinggi, yang dikelilingi oleh empat bangunan penampil yang memiliki puncak lebih rendah dari puncak bangunan induknya.

Singhasari-01Gambar perencanaan candi Singosari oleh Leydie Melville

Kesan yang dapat dilihat di lapangan saat ini menampilkan sosok bangunan yang pernah runtuh, sehingga tidak utuh lagi. Apalagi jika dicermati bagian-bagian hiasannya, banyak ornamen yang tidak selesai dikerjakan, terutama bagian badan dan kaki candinya. Kondisi semacam itu menambah kekaburan terhadap bentuk arsitekturnya serta latar belakang keagamaan yang melandasinya. Apalagi pertanyaan yang menyangkut tujuan didirikannya bangunan tersebut.

Dari pengumpulan informasi dimasyarakat serta beberapa teori yang terdapat pada literatur pendukung, didapat keterangan bahwa candi Singosari merupakan tempat menyimpan abu jenasah raja Kertanegara dan sekaligus sebagai tempat pemujaan. Namun demikian perlu dicermati kembali fungsi dari candi Singosari berdasarkan pengamatan struktur bangunan serta arti penting kedudukannya sebagai replika gunung Meru (kahyangan para dewa) di masa lampau. Dengan mengkaji struktur bangunan atas dasar landasan keagamaan yang mendasarinya waktu itu, serta tata letak bangunan berdasar topopgrafi sekitarnya, maka diharapkan fungsi serta kedudukan candi Singosari dapat terungkapkan.


Permasalahan

Sejauh ini bangunan candi agama Hindu diasumsikan sebagai tempat pemakaman seorang raja. Pendapat tersebut dilontarkan oleh Stutteirheim sejak awal abad XX dan bertahan hingga sekarang. Namun Soekmono dalam pandangan teorinya lebih menitik beratkan sebagai bangunan pendharmaan. Demikian pula dengan candi Singosari, tidak lepas dari asumsi bahwa bangunan tersebut merupakan tempat pemakaman raja Singasari terakhir, yaitu Kertanegara. Pendapat tersebut rupa-rupanya mengacu pada keterangan Pararaton bahwa Kertanegara dimakamkan di Tumapel. Akan tetapi mengingat sejauh ini belum ada temuan-temuan sebagai bukti arkeologis yang menguatkan bahwa candi Singosari sebagai bangunan pemakaman/pendharmaan raja Kertanegara, maka fungsi sebenarnya dari candi ini perlu diteliti kembali.


Kajian Teoritis

Candi Singosari sebagai candi yang bersifat Hindu, dihubungkan dengan raja Kertanegara, raja terakhir dari kerajaan Singasari yang meninggal tahun 1292 M dan menurut kabaran Pararaton, ia dimakamkan di Tumapel, yang dikemudian hari diidentikkan dengan Singasari (Blom, 1985:15; Sumadio, 2008:445). Sebuah prasasti tahun 1351M (prasasti Gajahmada) yang ditemukan di pekarangan penduduk sebelah utara candi Singosari menyebutkan tentang pendirian sebuah bangunan suci (caitya) yang diperuntukkan sebagai penghormatan bagi para pendeta yang meninggal bersama-sama dengan raja Kertanegara (Bernet Kempers, 1959:194-195). Pitono dalam mengkaji tentang pengaruh Tantris pada seni bangunan di Indonesia, memberikan asumsi tentang peranan candi Singosari di masa Kertanegara bahwa ”dari segi arsitektur hanyalah dapat dikatakan jika candi Singosari mempunyai keistimewaan, yakni terdapatnya sebuah ruangan lagi pada kaki candi yang menyebabkan tubuh candi lebih banyak sebagai hiasan saja. Sebab kamar candi yang sebenarnya terdapat pada bagian kaki candi ini. Mengingat bahwa kompleks candi Singosari merupakan pusat percandian negara, tidaklah mustahil kalau candi Singosari memegang peranan pelaksanaan upacara-upacara Tantrayana” (Pitono, 1969:7).

Ada beberapa keistimewaan yang perlu dicatat berkenaan dengan candi Singosari, yaitu pertama adalah kaki candinya yang digunakan sebagai tempat/ruang utama penempatan arca pemujaan. Kedua, badan candinya yang terangkat di atas kaki yang tinggi dengan tidak berpintu. Sebagai gantinya di keempat sisi dindingnya terdapat relung-relung. Ketiga adalah bahwa candi Singosari tidak mempunyai sumuran dan dengan demikian tidak mempunyai peti batu tempat peripih. Yang ada ialah suatu susunan saluran air di bawah lantai biliknya. Rupa-rupanya dahulu dipergunakan untuk mengalirkan air pembasuh arca pemujaan ke sebuah pancuran (Blom, 1985:15; Soekmono, 1974:20). Sisa-sisa saluran serta pancurannya masih dapat di lihat di sisi utara selasar kaki candi. Dengan struktur yang demikian itu candi Singosari seakan-akan merupakan gambaran sebuah ‘Lingga’ yang bertumpu pada ‘Yoni’.

Dalam konteks lain candi Singosari dapat dikatakan sebagai sebuah gambaran atau tiruan dari gunung Meru. Candi Singosari memiliki satu puncak di tengah dan dikelilingi oleh empat puncak lainnya yang lebih rendah sebagai puncak dari bilik-bilik penampil. Dengan demikian candi Singosari jelas berhubungan dengan konsep gunung Meru yang juga mempunyai struktur demikian (Bernet Kempers, 1959:197).

Berdasarkan dogma agama Hindu, candi merupakan gambaran atau tiruan dari pegunungan Himalaya di India yang disebut sebagai Meru. Sesuai dengan kondisi geografis India utara, pegunungan Himalaya memiliki beberapa puncak, di antaranya puncak yang tertinggi dinamakan Gaurisangkar. Puncak tertinggi tersebut dikelilingi oleh empat puncak yang lebih rendah. Empat puncak yang lebih rendah tersebut adalah: Kauncanjanghu, Daulagiri, Nanga Parbat, dan Nanda Devi (Wirjosuparto, 1957:6) Puncak Gaurisangkar dengan puncak-puncak lain yang lebih rendah itulah oleh masyarakat Hindu dianggap sebagai tempat bersemayam para dewa yang dinamakan Meru.

Dengan demikian bangunan candi yang dibangun secara vertikal sebenarnya berorientasi kepada konsep Meru. Apabila Meru sebagai sebuah gunung memiliki struktur kaki, lereng, dan puncak, maka bangunan candi pun memiliki struktur yang sama, yaitu kaki, tubuh, dan atap. Kaki candi merupakan gambaran dari gunung; tubuh candi sebagai gambaran dari lereng gunung; dan atap candi sebagai gambaran dari puncak gunung . Dalam filsafat Hinduistis dikenal dengan sebutan “Bhurloka=kaki candi; Bwahloka=badan candi; dan Swahloka= puncak candi. Bhurloka menggambarkan alam manusia, Bwahloka menggambarkan alam antara atau alam langit, dan Swahloka menggambarkan alam kahyangan atau sorgawi” (Asmito, 1984 :112).

Berkenaan dengan arti penting kedudukan candi Singosari pada waktu itu dapat dilihat pada sisa-sisa struktur bangunan serta kompleks halaman percandiannya. Pada bagian selasar kaki candi, di dasar lantai ruang utama di bawah pedestal (landasan arca/lingga) terdapat saluran air yang menuju ke arah utara. Tepat di depan bilik sisi utara pada teras candi masih dapat dilihat saluran air tersebut. Begitu pula di bawah tempat bekas arca-arca di bilik sisi utara, timur, dan selatan. Jalur saluran-salurannya sendiri sekarang sebagian tidak tampak lagi karena sudah ditutup pada waktu restorasi tahun 1937 (Bernet Kempers, 195978, Blom, 1976:44).

Soekmono menduga bahwa fungsi dari saluran tersebut apabila orang melakukan upacara keagamaan di candi Singosari, orang harus membasuh lingga/arca dengan air yang sudah diberi mantra oleh pendeta. Pembasuhan tidak hanya dilakukan terhadap lingga/arca di ruang utama, tetapi juga arca-arca yang berada di bilik-bilik luar. Air pembasuh lingga/arca tersebut akan jatuh ke bawah dan mengalir melalui saluran-saluran yang selanjutnya menjadi satu dan mengalir menuju pancuran di teras sisi utara (Soekmono, 1974:20). Air tampungan ini dianggap sebagai air Amerta, yaitu air suci yang keluar dari akibat pengadukan lautan susu (samodramantana) oleh gunung Mandara (Soekmono, 1984:27). Dengan demikian disamping candi Singosari berfungsi sebagai alat perantara dan pengubah (transformator) dari air biasa menjadi air suci (Amerta), juga sebagai gambaran atau tiruan dari gunung Mandara. Dalam ulasannya mengenai Samodramanthana lebih lanjut Soekmono menekankan bahwa pemahaman akan konsep gunung Mandara dengan gunung Meru, di Jawa kedua konsep tersebut tidak banyak perbedaan (Soekmono, 1984:27).

Mengenai kaki candinya yang strukturnya tidak lazim seperti kaki candi pada umumnya, berupa sebuah bilik pusat yang berisi arca perwujudan atau lingga yang berdiri tepat di tengah bilik, di atas pedestal yang sekarang rusak, dan menghadap ke arah pintu masuk candi. Dinding-dinding bilik sisi luarnya terdapat relung dengan bangunan penampilnya sendiri yang diisi dengan arca-arca.

Demikianlah sepertinya merupakan suatu ketetapan di Indonesia bahwa relung dinding sisi utara berisi arca Durgamahisasuramardini, relung dinding belakang (timur) berisi arca Ganeça, pada relung dinding sisi selatan berisi arca Siwa Mahaguru atau orang sering menyebut Agastya, sedang pada kanan dan kiri pintu masuk ruang utama candi masing-masing berisi arca Mahakala dan Nandiçwara. Sistem penempatan semacam ini dinamakan sistem ‘mandala’ atau sistem Jawa Tengah (Sulaiman, 1980:53), karena menurut hematnya Jawa Tengahlah yang mula-mula menggunakan sistem penempatan semacam itu.

Tubuh candi dibuat agak tinggi di atas kaki yang berfungsi sebagai tempat arca. Tubuh candi yang memiliki empat cela tersebut sangatlah menarik perhatian. Stutteirheim mengingatkan bahwa cela-cela itu dimaksudkan bagi arca-arca dari pantheon agama Budha. Dengan demikian di dalam tubuh candi itu haruslah ada sesuatu (arca) yang bersifat Budha. Mungkin dalam hal ini dapat diartikan pada mandala pantheon Budha di Borobudur. Oleh karena itu candi Singosari dianggap berkeagamaan ganda. Bagian bawah untuk Siwa, sedang bagian atas untuk Budha (Stutteirheim, 1936:300;Blom, 1976:46). Jelasnya adalah candi Siwa Budha.

Dari hasil kajian teoritis di atas dapat diambil beberapa pemahaman bahwa candi Singosari dapat dikatakan sebagai:

  1. Simbolisasi dari Lingga dan Yoni. Adanya teras/batur yang memiliki cerat pada sisi utara pararel dengan struktur dari sebuah Yoni (yang di Indonesia posisi cerat Yoni pada percandian selalu menghadap ke utara), sedang struktur bangunan candinya dipararelkan sebagai Lingga
  2. Tiruan gunung Meru yang berpuncak Kailasa dengan keempat puncaknya yang lebih rendah yang menempati penjuru mata angin pusat, yaitu gunung Gandamana, gunung Mandara, gunung Vipula, dan gunung Suparsya. Candi Singosari memiliki bangunan induk dengan puncaknya sebagai puncak tertinggi dikelilingi oleh empat bangunan penampil dengan puncak yang lebih rendah.
  3. Juga sebagai simbolisasi dari konsep Samodramantana (pengadukan lautan susu) yang menggunakan gunung Mandara sebagai antan guna mencari/mengeluarkan air Amerta. Dari proses pengadukan ini keluarlah air suci (Amerta). Gambaran tersebut dipararelkan dengan ketika terjadi prosesi upacara pembasuhan arca ataupun lingga di ruang utama, maka air sisa pembasuhan tersebut akan mengalir melalui saluran pipa dan menuju ke cerat sebelah utara. Disana air tersebut ditampung sebagai Amerta.
  4. Candi yang bersifat keagamaan ganda yaitu Siwa dan Budha, atas dasar konstruksi bangunan bagian bawah memiliki arca-arca dari pantheon Siwa, sedang bagian atas memiliki empat cella yang merupakan tempat untuk pantheon Buddha.


Pembahasan

1. Fungsi Candi Singosari dari sisi Arsitektur berdasar Konsep Meru
Banyak yang beranggapan bahwa candi Singosari berfungsi sebagai makam raja Kertanegara, yaitu raja terakhir kerajaan Singasari. Keterangan ini didapat dari hasil wawancara yang didengar di lapangan baik berasal dari penduduk sekitar, juru pelihara ketika menerangkan kepada pengunjung candi, para pengunjung candi, serta para guru sejarah yang melakukan pembelajaran di sekolah, yang semuanya itu diduga bersumber pada berita-berita purbakala dari jaman Belanda serta teori-teori tentang fungsi candi. Pengaruh tentang fungsi candi sebagai makam dimasyarakat umum maupun di kalangan masyarakat ilmu sejarah memang sangat besar. Setidaknya sampai sejauh ini anggapan tersebut tetap melekat dalam pemikiran mereka.

Sedikit kembali kebelakang, sumber dari anggapan candi sebagi makam muncul ketika Raffles pada tahun 1814 melakukan pencatatan dan penelitian tentang candi di Jawa, yang dianggapnya bahwa candi adalah cungkup atau makam atas dasar pengetahuannya yang ia peroleh dari keterangan penduduk setempat waktu itu (Soekmono, 1974:1-2). Pendapat tersebut jauh sesudahnya banyak mendapat dukungan dengan ditemukannya bukti-bukti yang mendukung di lapangan. Pada akhirnya lebih dipertegas lagi oleh Stutteirheim pada tahun 1931 atas dasar penelitiannya, yang menyebutkan bahwa candi merupakan bangunan pemakaman atau tempat untuk meletakkan abu jenasah raja, keterangan Stutteirheim itu adalah sebagai berikut:

Dahulu apabila raja meninggal dunia, menurut kebiasaan dalam agama Hindu jenasahnya dibakar, dan abunya dilarung ke sungai atau ke laut, atau ditebarkan di penjuru mata angin, dan sisanya ditaruh dalam sebuah peti batu beserta benda bekal kubur lainnya. Setelah itu dibuatkan tempat pendharmaannya, yaitu sebuah bangunan peringatan sebagai tempat pemujaan bagi arwahnya, pada umumnya masyarakat Jawa dikemudian hari menyebutnya Candi. Di dalam candi tersebut, tepatnya di bawah arca pemujaan di ruang utama, dibuatlah sumuran guna meletakkan peti abu jenasah tersebut (dalam Soekmono, 1974:16-17).Dari dasar teori tersebut muncul sebuah pemahaman di kalangan masyarakat umum bahwa semua bangunan candi adalah makam raja, baik dalam arti ditanam abu jenasahnya bahkan ditanam jasadnya. Dengan tanpa pengecualian semacam itu dengan sendirinya candi Singosari dikatakan juga sebagai makam raja Kertanegara.

Dapat pula diduga bahwa candi Singosari dihubungkan dengan raja Kertanegara, tetapi sebagai makam atau tempat penyimpanan abu jenasahnya perlu diteliti kembali keberadaannya, mengingat dalam kenyataannya candi Singosari tidak memiliki sumuran serta tidak ditemukannya peti batu penyimpan peripih. Guna menelaah lebih lanjut permasalahan fungsi bangunan candi Singosari sebagai tempat pemakaman atau bukan, maka perlu diketahui bagaimana sistem perawatan mayat pada jaman Hindu di Jawa atas dasar kepercayaan atau tradisi keagamaannya. Untuk itu diperlukan metode etnoarkeologi sebagai suatu cara mencari dan menggali data sejenis melalui informasi di lapangan terhadap masyarakat masa sekarang yang kepercayaan serta tradisinya dianggap masih sama dan relevan.

Sepertinya tradisi tentang perawatan mayat oleh masyarakat Hindu sampai sekarang masih dapat kita lihat pada masyarakat Hindu Bali dan Tengger. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh-tokoh umat Hindu di daerah setempat, diperoleh keterangan tentang upacara perawatan mayat, mulai dari upacara ngaben (pembakaran mayat) sampai kepada upacara larung. Berikut petikan keterangan yang diberikan oleh Ida Bagus Bajera (2008), Ketua Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia untuk Malang Raya:

“Ngaben intinya untuk membersihkan manusia yang telah meninggal dari sifat kotor. Dimana tubuh manusia itu terdiri dari 5 unsur yang disebut Pancamahabhuta. Setelah ngaben, sisa-sisa jenasah yang berupa abu dimasukkan dalam sebuah bejana, dan kemudian secara keseluruhan dilarung ke laut atau sungai. Tidak ada sedikitpun sisa yang ditaruh di rumah, apalagi ditempatkan di dalam pura, karena sifat pura yang suci. Setelah beberapa hari, minimal 42 hari dan seterusnya, barulah keluarga melakukan upacara menyongsong roh untuk ditempatkan di suatu tempat yang bernama sanggar Kamulan atau Plangkiran. Simbol tempat roh di Kamulan atau Plangkiran itu disebut Daksina atau Pejati, yaitu sebuah bejana yang terbuat dari daun Tal dibentuk bundar, dan isinya pun berupa logam-logam serta barang-barang yang bundar seperti kelapa, telor, dan biji-bijian sebagai lambang dari dunia”

Dari keterangan di atas berkenaan dengan sisa jenasah yaitu abu, tidak pernah ditempatkan di dalam rumah, apalagi di pura. Sebagai ganti tempat arwah leluhur dibuatlah Daksina atau Pejati. Daksina atau Pejati itu bentuknya semacam tabung atau keranjang yang terbuat dari daun Tal (ron Tal). Isi dari Daksina atau Pejati adalah benda-benda yang sifatnya bulat/bundar seperti kelapa yang dihilangkan sabutnya tetapi disisakan pada mata tunas, telor, serta biji-bijian. Dalam tradisi candi benda-benda semacam itu dapat disamakan dengan peti batu (Garbhapatra) yang berisi peripih.

Kesamaan tradisi dapat dilihat pula pada upacara perawatan mayat masyarakat Hindu Tengger. Di sana disebutkan “apabila orang meninggal dunia, jenasahnya dikubur. Selang beberapa hari, antara 44 hari, 100 hari, 1 tahun, bahkan 1000 harinya, mereka melakukan upacara mengangkat roh yang disebut entas-entas”(Ismuhendro, 1989/1999:16-17). Dalam upacara entas-entas tersebut tidak terlihat aktivitas membongkar jenasah dikuburan untuk kemudian diambil dan sebagian sisanya diletakkan di dalam bejana yang kemudian ditempatkan pada bangunan suci atau rumah. Inti dari upacara entas-entas adalah pembuatan ‘Petra’, yaitu “lambang jasmaniah dari orang yang meninggal yang menyerupai boneka terbuat dari daun-daunan dan bunga-bunga. Petra tersebut dibakar di pedanyangan (tempat khusus untuk pembakaran). Setelah menjadi abu selesailah sudah kewajiban keluarga untuk memuliakan roh leluhur kembali ke alam kedewaannya’ (Ismuhendro, 1998/1999:21).

Dari berbagai pengamatan data pola perawatan mayat di atas dapat disimpulkan bahwa bangunan suci yang bernama Pura atau Meru, atau tempat khusus di rumah yang bernama Sanggar Kamulan atau Plangkiran, tidak pernah digunakan sebagai tempat menyimpan sisa abu jenasah orang yang telah meninggal yang diletakkan pada sebuah bejana bernama Daksina atau Pejati. Daksina atau Pejati yang fungsinya sama dengan Garbhapatra pada jaman candi hanyalah sebuah wadah untuk menempatkan benda-benda sebagai lambang jasmaniah bagi roh orang yang meninggal dunia. Berkenaan dengan pembahasan tersebut, justru pada candi Singosari tidak ditemukan kotak peti batu (Garbhapatra) tempat penyimpanan peripih. Keanehannya lagi bahwa “candi Singosari tidak memiliki sumuran tempat menyimpan peti batu tersebut” (Blom, 1985:17).

Berdasarkan uraian di atas fungsi candi Singosari tidak dapat dikatakan sebagai tempat makam raja Kertanegara dalam arti sebagai tempat penyimpanan abu jenasahnya. Juga tidak dapat dikatakan sebagai tempat pendharmaan dari raja yang meninggal dunia. Apabila sebuah bangunan suci bukan sebagai tempat pemujaan arwah leluhur yang diperdewakan (sistem dewaraja), maka fungsinya tentu lebih diperuntukkan bagi Siwa sendiri sebagai dewa tertinggi (Paramasiwa) penguasa Meru. Apakah sebagai Palladium terhadap Dewa Siwa, maupun sebagai Yantra yang bersifat magis mistis bagi Siwa yang menjelma ke dunia sebagai raja (raja sebagai titisan dewa di dunia) (Soekmono, 1974: 192-196). Oleh karena itu candi Singosari lebih tepat dikatakan sebagai candi Negara atau candi Kerajaan, artinya candi yang dibangun sebagai inti atau pusat kekuatan magis kerajaan. Sebagai Palladium, candi Singosari merupakan miniatur dari cosmis axis. Sebagai Yantra, candi Singosari dipuja guna kelangsungan kekuatan magis protektif bagi kekuasaan kerajaan. Dari sebab fungsinya yang demikian itulah mudah kiranya dipahami, mengapa candi Singosari dibangun dengan struktur soubasement mirip Yoni, badan candi yang ramping tanpa ruang induk tetapi memiliki keempat relung, serta puncak-puncak yang menjulang tinggi. Sehingga strukturnya berlainan dengan struktur arsitektur candi pendharmaan pada umumnya.

Sebagaimana kebiasan yang terdapat di Asia Tenggara dan Jawa, konsep negara sebagai lambang sentral dari alam semesta merupakan sebuah ciri yang khas. Robert Heine Geldern dalam bahasannya tentang konsep negara di Asia Tenggara menyatakan bahwa “sebagaimana jagat raya, menurut cita pikiran kepercayaan Hindu dan Budha, berpusat kepada gunung Meru. Maka jagat kecil tadi yaitu kerajaan, haruslah mempunyai gunung Meru pula sebagai pusat ibu kotanya. Kalaupun bukan akan menjadi pusat geografis dari kerajaan yang bersangkutan, sekurang-kurangnya gunung Meru di ibu kota ini akan menjadi pusat magisnya”(Geldern, 1982:7). Mereka percaya bahwa dewa-dewa utama agama Hindu tinggal di pusat dunia, di gunung Meru yang suci, serta menguasai ruang dan waktu. Oleh karenanya candi yang secara teoritis terletak di pusat kota, dekat dengan istana raja, dimaksudkan agar dapat mengngkapkan dengan lebih meyakinkan bahwa secara konkret istana adalah pusat alam semesta, tempat memerintah dewa dan wakilnya di dunia, yaitu raja (Groslier, 2002:102). Dengan demikian bahwa dengan adanya gunung Meru itu ibu kota kerajaan selain sebagai pusat pemerintahan juga sebagai pusat magis bagi wilayah kerajaannya.

Budaya Asia tenggara daratan dan Jawa tentang konsep Meru sebagai pusat magis bukanlah suatu hal yang perlu diragukan. Dalam perjalanan sejarah antara Asia Tenggara dan Nusantara, keduanya merupakan daerah yang saling berhubungan. “Jaman dinasti Sailendra berkuasa di Jawa Tengah, terdapat hubungan dengan Asia Tenggara (Khmer). Raja Khmer, Jayawarman II disebut-sebut pernah menetap di Jawa ketika kerajaannya kacau. Ia pulang kembali ke Khmer sekitar tahun 790M” (Groslier, 2002:124).

“Pada jaman kerajaan Singasari disebutkan bahwa raja Campa beristrikan putri dari Jawa. Petunjuk itu terdapat pada prasasti Po Sah tahun 1306M bahwa raja Campa mengawini putri dari Jawa bernama Tapasi”(Hall, 1988:178; Poesponegoro, 1984:414). Tahun 1306M merupakan tahun terdekat dengan hancurnya masa pemerintahan raja Kertanegara. Dengan demikian persamaan budaya antara Asia Tenggara (Campa) dengan Jawa (Singosari) tidak disangsikan lagi disebabkan adanya hubungan antara kedua kerajaan.

Menarik perhatian pula terhadap konsep Meru pada candi Singosari sebagai tempat tinggal dewa tertinggi. Dewa tertinggi dalam aliran ini adalah Siwa sebagai Paramasiwa. Penentuan Siwa sebagai dewa tertinggi (Paramasiwa) diisyaratkan pada struktur bangunan candinya. Struktur bangunan candi Singosari sepertinya dibuat atas dasar aliran tertentu dari agama Hindu, yaitu aliran Siwa Sidhanta.

Dalam sistem kedewaan aliran Siwa Sidhanta, alam ini dibagi menjadi 3 bagian, yaitu yang pertama alam Niskala (tak berwujud) yang merupakan tempat Paramasiwa bersemayam. Kedudukannya di alam atas. Alam Niskala merupakan alam tidak berwujud, tidak dapat dibayangkan tetapi ada. Pada bagian candi diwakili oleh puncak.

Yang kedua adalah alam Sakala Niskala (alam wujud tak berwujud). Alam ini merupakan alam antara yang diduduki oleh Sadasiwa dengan 4 aspeknya yang semuanya merupakan penjelmaan Siwa juga. Mereka itu adalah Siwa (di barat), Wisnu (di utara), Maheswara (di timur), dan Brahma (di selatan). Yang ketiga adalah alam Sakala (alam wujud), yaitu bagian kaki candi yang dikuasai Maheswara dengan segala aspeknya (Pott dalam Soekmono, 1974:206).

Konsep pembagian alam kedewaan tersebut tampak menonjol pada struktur candi Singosari. Puncak candi yang menjulang merupakan lambang alam Niskala yang dikuasai oleh Paramasiwa. Badan candi mewakili alam Sakala-Niskala dikuasai oleh Sadasiwa dengan keempat aspeknya. Secara teknis keempat aspek dari Sadasiwa tersebut ditunjukkan oleh adanya empat relung yang terdapat di badan candi yang menghadap ke penjuru mata angin pusat sebagai tempat Maheswara (timur), Brahma (selatan), Siwa (barat), dan Wisnu (utara). Sedangkan kaki candi sebagai lambang Sakala merupakan tempat bersemayam Maheswara yang aspeknya adalah Siwa Rudra-Wisnu-Brahma yang disatukan dalam wujud ‘Lingga’.

Walaupun dalam kenyataannya keempat relung tersebut tidak berarca, namun relung tersebut sudah mewakili sebagai tempat dari aspek Sadasiwa. Relung pada badan candi yang merupakan lambang alam Sakala-Niskala dibuktikan secara teknis oleh struktur bangunan secara keseluruhan. Yaitu, apabila bangunan candi Singosari itu utuh, maka relung- relung pada badan candi akan tertutup oleh puncak-puncak bangunan penampil di depannya. Apabila dipandang secara perspektif, maka relung-relung tersebut tidak tampak. Akan tetapi kalau dilihat dengan posisi menyerong, maka relung-relung itu akan tampak sebagian. Diduga itulah makna dari alam Sakala-Niskala (sekali-kali tampak dan sekali-kali tidak tampak) yang terdapat pada konsep bangunan candi Singosari. Dari sinilah dapat ditarik kesimpulan bahwa landasan keagamaan candi Singosari tersebut adalah Hindu aliran Siwa Sidhanta yang sangat dekat dengan Tantrisme. Dengan demikian jelas bahwa tidak terdapat unsur Budhis dalam struktur candi Singosari sebagaimana pendapat yang dilontarkan oleh Stutteirheim.

2. Hubungan Candi Singosari dengan Topografi Daerah Sekitarnya
Dari gambaran konsep di atas, penelitian di lapangan terhadap kawasan candi Singosari agaknya mengarah kepada konsep candi yang berfungsi sebagai pusat magis kerajaan. Penelitian terhadap ukuran halaman candi yang sebenarnya, menunjukkan bahwa halaman candi Singosari secara imajiner dapat diduga seluas ±160.000 m2. Ukuran ini didapat dari menghitung jarak dari titik pusat candi yang diduga sebagai pusat halamannya, yaitu titik wastupurusamandala yang berada pada sisi selatan tangga masuk bilik utama candi, hingga menuju lokasi arca Dwarapala yang diyakini sebagai pintu gerbang halaman percandian, dan ditemukan jarak ±200 m.

Halaman bangunan candi Hindu selalu dibuat berdasarkan diagram pengkotakan berbentuk bujur sangkar yang disebut ‘wastupurusamandala’. Di tengah wastupurusamandala dari hasil garis potong diagonal inilah didapat titik pusatnya yang bernama ‘Brahmasthana’ dan merupakan letak bangunan candinya (Kramrisch, 1946:21-22; Soekmono, 1974:238-239). Dengan demikian luas bujur sangkar berdasar garis imajiner halaman candi Singosari yang sebenarnya adalah : (200m x 2)² = 160.000 m2.

Sebuah candi yang memiliki luas halaman ± 160.000 m2 serta memiliki arca penjaga pintu yang demikian besarnya, bukanlah merupakan tipe candi biasa. Itu haruslah sebuah mandala percandian yang kedudukannya sangat penting dalam sebuah kerajaan. Benar apa yang disimpulkan oleh Blom bahwa candi A (candi Singosari) merupakan tempat suci Siwaistis yang eksklusif (Blom, 1976:161) bukan merupakan tempat pemakaman/pendharmaan raja Kertanegara yang oleh Pararaton disebut sebagai Purwapatapan. Pendapat Blom dilandasi oleh letak tinggalan kepurbakalaan di sekitarnya. Yang menurutnya berdasarkan catatan peneliti pendahulunya, ditemukan tidak kurang dari 7 (tujuh) bangunan candi. Dari ke tujuh bangunan candi tersebut, candi Singosari yang menurut pemetaan Blom adalah candi A, letaknya tersendiri di sebelah utara (lihat peta hasil pengamatan kembali lokasi situs kepurbakalaan Singosari).

Singhasari-02

Peta kepurbakalaan Singosari (Sumber: penulis 2006)

Keterangan Peta:
angka:

  1. Candi Singosari (menurut laporan Belanda adalah candi A)
  2. Situs pendopo teras ±15 m arah selatan candi Singosari (dlm halaman candi)
  3. Kelompok arca Dwarapala dan pintu gerbang, ±200m arah barat candi Singosari
  4. Situs pondasi bata merah ±100m arah selatan candi Singosari (mengikuti Jl. Ronggowuni. Sekarang perumahan penduduk)
  5. Situs candi di bawah rumah Jl. Ronggowuni no.24, ±300m arah selatan candi Singosari (menurut laporan Belanda adalah candi C)
  6. Situs candi di Jl. Ronggowuni Gg. KH. Zakaria, dari posisi candi C ke arah barat ±200m (menurut laporan Belanda adalah candi B)
  7. Situs candi ±100m di sebelah utara pesantren Bungkuk, dari candi B ±50m arah Barat daya (menurut laporan Belanda adalah candi D/Balewertyo/Balekambang). Sekarang tegalan
  8. Situs candi di Jl. Bungkuk Gg.II, ±100m arah barat dari pertigaan Jl. Ronggowuni-Bungkuk (menurut laporan Belanda adalah candi E/candi Putri/candi Wayang). Sekarang rumah penduduk
  9. Garis imajiner candi Singosari jika disesuaikan dengan diagram ‘wastupurusamandala’
  10. Lingkungan pondok pesantren Bungkuk.

Abjad:
A. Jl. Kertanegara
B. Jl. Wisnuwardhana
C. Jl. Ronggowuni
D. Jl. Masjid
E. Jl. Wisnuwardhana Gg. I
F. Gg. KH. Zakaria
G. Jl. Kramat
H. Jl. Bungkuk
I. Jl. Bungkuk Gg.II
J. Jl. Wijaya Barat

Dengan pertimbangan letak candi Singosari yang dapat dikatakan tersendiri, serta menurut pengamatan berdasar daerah kawasan sekitarnya, dapat diduga bahwa candi Singosari dibangun di dalam ibu kota/karajyan dari kerajaan (dengan catatan tidak harus diasumsikan bahwa ibukota adalah sebuah benteng keraton). Bukti bahwa candi Singosari dibangun di dalam ibu kota kerajaan (karajyan), dapat dilihat melalui kondisi topografis dan toponimi daerah Singosari sekarang. Pada peta kecamatan Singosari dapat diketahui adanya sebuah desa yang bernama Ardimulyo dengan posisi sebelah utara desa Candirenggo dimana candi Singosari berada. Selain itu di wilayah Ardimulyo terdapat dusun bernama Songsong (payung) yang menunjuk kepada adanya indikasi salah satu perlengkapan dari sebuah keraton.Di sebelah timur laut desa Candirenggo atau di sebelah timur desa Ardimulyo, terdapat sebuah gunung kecil/bukit yang bernama Gondomayit. Sementara di sebelah selatan desa Candirenggo terdapat sebuah bukit yang bernama Mondoroko.

Singhasari-03Peta kecamatan Singosari (Sumber: Repro penulis)

Berkenaan dengan desa Ardimulyo, daerah tersebut samasekali bukan merupakan sebuah bukit (Ardi), kata ‘Ardi’ dalam bahasa Jawa berarti Gunung/Bukit (Poerwadarminta, tanpa tahun: 14), sedangkan ‘Mulyo’ berarti Tinggi/Luhur (Poerwadarminta, tanpa tahun:144). Ardimulyo menunjuk kepada sebuah arti ‘Gunung Mulia’. Gunung Mulia adalah sebutan bagi sebuah kahyangan para dewa yang bernama Meru dengan puncaknya Kailasa. Replika dari sebuah kahyangan di dunia secara sosial politis adalah istana kerajaan, sementara replika sebuah Meru secara simbolis adalah bangunan candi. Hal ini dibuktikan pula oleh adanya penemuan arca yang sangat penting dari desa Ardimulyo yang merupakan peninggalan kerajaan Singasari masa Kertanegara, yaitu arca Dewi Parwati sebagai Dewi Camundi, dewi dalam aliran Tantra (arca ini sekarang di Balai Penyelamatan Trowulan) yang pada bagian belakangnya memuat sebuah inskripsi berangka tahun 1214 saka (Damais, 1955:151-153). Arca ini ditemukan dalam keadaan pecah berkeping-keping, yang merupakan bentuk pecahan yang tidak wajar. Artinya bahwa arca tersebut sengaja dihancurkan. Hal ini tentunya dapat dihubungkan dengan serangan Jayakatwang terhadap Kertanegara, yang menurut Pararaton, waktu itu raja Kertanegara bersama patihnya sedang pesta minum di istananya. Namun tindakan Kertanegara tersebut sebenarnya merupakan sebuah praktik ritual tantra (Moens, 1974:17-18), yang ia lakukan dengan pemujaan terhadap arca dewi Camundi. Penghancuran sarana pemujaan seperti arca Camundi tersebut dimaksudkan membunuh tenaga magis mistis sang raja beserta keratonnya.

Di sebelah selatan Ardimulyo terdapat sebuah bukit bernama Mondoroko. Kawasan Mondoroko didapati juga situs-situs yang sekarang hanya diketahui sebagian. Situs pondasi bata merah terdapat di bukit sisi timur (sekarang menjadi bangunan sebuah pabrik ‘jahe’). Di sisi utara bukit Mondoroko terdapat sebuah patirthan ‘watugede’ yang airnya berlimpah. Kolam tersebut terbagi menjadi dua. Kolam bagian utara yang dikenal sebagai pemandian ‘watugede’, sementara bagian selatan dan agak ke bawah dinamakan kolam sumber. Situs-situs tersebut diduga dapat dihubungkan dengan istana/keraton kerajaan Singasari masa Wisnuwardhana. Prasasti Kudadu 1296 menyebutkan ‘… bhatāra jayaçrīwiçnuwārddhānānamadewābhiseka, sira sang līna ring mandāraparwwata’ (Yamin I, 1962:239), sementara prasasti Canggu 1305 memberikan keterangan ‘ … bhatāra çri wisnuwarddhana sang mokteng mandāragiri’ (Yamin II, 1962:97). Kedua prasasti tersebut berasal dari masa pemerintahan R. Wijaya di Majapahit, yang menyinggung tentang kakek mertua R. Wijaya, yaitu raja Wisnuwardhana, yang meninggal di bukit Mondoroko. Nama Mondoroko dapat dikembalikan kepada nama Mandaraparwata dan Mandaragiri yang artinya ‘gunung/bukit Mandara’.

Di sebelah barat candi Singosari, terdapat sebuah tempat yang dikenal dengan nama Sanggrahan (pesanggrahan). Nama ini dikenal pada masa Majapahit. Negarakertagama mencatatnya berkenaan dengan kunjungan raja Hayamwuruk ke pura Singasari. Tempat itu sekarang menjadi pemandian ‘Ken Dedes’. Juga agak naik ke atas dari Sanggrahan kea rah barat, terdapat kekunoan yang disebut sebagai Kedungbiru (mBiru) dan Kasurangganan (Kranggan).

Dari seluruh pembahasan di atas dapatlah diperjelas lagi bahwa Meru sebagai kahyangan para dewa yang berpuncak Kailasa itu dikelilingi oleh empat gunung yang puncaknya lebih rendah yang posisinya berada pada penjuru mata angin pusat. Sebagaimana diketahui bahwa replika kahyangan di dunia adalah ibukota kerajaan, sedangkan sang raja merupakan dewa menjelma di dunia. Kerajaan Singasari pada masa raja Kertanegara, diduga kuwu atau bentengnya terletak di daerah Ardimulyo. Sementara pusat magisnya adalah candi Singosari sebagai pilar kosmis (cosmis axis) terletak di desa Candirenggo. Kawasan ibukota/karajyan ini dikelilingi oleh nama-nama bukit yang identik dengan nama gunung yang mengelilingi Kailasa. Di sebelah timur desa Ardimulyo terdapat sebuah bukit/gunung yang bernama Gondomayit (diduga nama gunung ini merupakan nama ubahan yang rusak dari sebuah nama gunung dalam mitologi Hindu, yaitu Gandamana yang posisinya di sebelah timur Kailasa). Di sebelah selatan desa Ardimulyo terdapat sebuah bukit/gunung bernama Mondoroko (dalam mitologi Hindu bernama Mandara, yang posisinya di sebelah selatan Kailasa), sedangkan pada kawasan barat dan utara jelas terdapat daerah perbukitan, hanya nama Vipula dan Suparsya hingga sekarang tidak teridentifikasi.

Asumsi penguat berikut adalah tidak ditemukannya fragmen ‘lingga’ sebagai pasangan ‘yoni’ yang menempati ruang induk candi Singosari. Sejak awal penemuan (1803) hingga sekarang ‘lingga’ tersebut tidak pernah ditemukan. Ada dua dugaan berkenaan dengan hilangnya ‘lingga’ candi Singosari, yaitu:
a. Lingga tersebut dihancurkan oleh musuh saat serangan Jayakatwang, dengan tujuan menghilangkan pusat magis kerajaan. Perlu dicurigai pula latar belakang mengapa candi Singosari belum seluruhnya selesai dibangun. Mengapa pembangunannya terhenti di tengah jalan?
b. Apabila lingga itu selamat, maka lingga dibawa oleh penerus kerajaan Singasari ke istana yang baru, yaitu Majapahit.
Dugaan tersebut dilator belakangi anggapan bahwa sebagai pilar kosmis kerajaan, tentunya candi Singosari merupakan pusat magis, maka dengan sendirinya ‘lingga’ yang bersemayam di dalam candi tersebut tergolong sebagai ‘lingga pusaka’. Konsep semacam ini sudah lama dikenal di Asia Tenggara dengan nama konsep dewaraja.


Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa candi Singosari dibangun bukan sebagai tempat menyimpan abu jenasah/makam raja Kertanegara atau sebagai tempat pemujaan yang berhubungan dengan arwah nenek moyang/leluhur. Hal tersebut didasarkan tidak adanya peti abu jenasah apalagi tidak adanya sumuran tempat meletakkan peti abu jenasah, serta tradisi masyarakat Hindu tentang perawatan jenasah yang menyatakan bahwa abu jenasah tidak pernah ditempatkan di tempat suci/candi.

Pararaton yang menyinggung tentang bhatara Siwa Budha (raja Kertanegara) yang didharmakan di Tumapel dengan nama pendharmaan Purwapatapan, tidak dapat begitu saja diasumsikan sebagai candi Singosari. Fakta di lapangan jelas menunjukkan bahwa terdapat tujuh buah bangunan (candi) di sekitar candi Singosari. Bahkan candi Singosari terletak jauh di sebelah utara dari kelompok enam, dan letaknya eksklusif. Berdasarkan fakta tersebut, maka fungsi candi Singosari lebih ditujukan sebagai magis protektif (magis perlindungan) bagi kerajaan Singasari.

Sebagai candi yang dimaksudkan sebagai pilar kosmis, maketnya dibuat megah sesuai dengan konsep Meru. Sebagai replika dari gunung Meru, maka tempatnya sangat eksklusif dibangun di pusat ibukota/karajyan. Diduga candi tersebut nantinya akan dikelilingi oleh candi-candi lain yang lebih kecil seperti umumnya percandian kerajaan yang sudah di kenal di Asia Tenggara. Bukti di lapangan yang menguatkan bahwa candi Singosari merupakan pilar kosmis kerajaan Singasari dapat dilihat dari:

  1. Halaman candi yang sangat luas. Diduga luas halaman ± 160.000 m2 diukur dari titik pusat diagram Wastupurusamandala menuju posisi arca Dwarapala sebagai pintu gerbang halaman percandian
  2. Candi Singosari merupakan candi yang tersendiri. Artinya di kompleks percandian Singosari terdapat enam candi lainnya yang letaknya berada di luar area halaman candi, yaitu di sebelah barat daya candi Singosari.
  3. Nama-nama tempat (toponim) yang identik dengan konsep gunung Meru seperti Ardimulyo = gunung Mulia = kahyangan; gunung Gondomayit yang diidentikkan dengan gunung Gandamana; dan gunung Mondoroko yang diidentikkan dengan gunung Mandara, mendukung anggapan bahwa candi Singosari sebagai pilar alam semesta / pusat kosmis bagi kerajaan (kahyangan) Singasari.
  4. Secara mengherankan bahwa lingga pemujaan di ruang induk candi Singosari hingga kini tidak pernah ditemukan. Artinya lingga tersebut sengaja dihilangkan oleh musuh atau dipindahkan dari tempatnya oleh pewarisnya. Mengingat kedudukannya yang tinggi sebagai ‘lingga pusaka’. 

(Oleh: Suwardono/Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang)


DAFTAR PUSTAKA

Asmito. 1984. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: P2LPTK.

Bernet Kempers, AJ. 1959. Ancient Indonesian Art. Cambridge Massacussets: Harvard University Press

Blom, Jessy. 1976. Kepurbakalaan Singasari. Terj. Mudjadi dan Agus Salim. Surabaya: Jurusan Sejarah FKIS IKIP

………………….. 1985. Kepurbakalaan Sekitar Malang. Dalam Amerta No.2. hal. 7-22 Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Damais, Louis-Charles. 1955. “Études d’Épigraphie Indonésienne: IV. Discussion de la date des Inscription”. BÉFEO XLVII. Hal. 151-153.

Geldern, Robert Heine. 1972. Konsep Tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Terj. Deliar Noer. Jakarta: Rajawali

Groslier, Bernard Philippe. 2002. Indocina Persilangan Kebudayaan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Hall. DGE. 1988. Sejarah Asia Tenggara. Terj. Soewarsha, IP. Surabaya: Usaha Nasional

Ismuhendro, Hengky. 1998/1999. Entas-Entas Pada Masyarakat Tengger di Desa Ngadas Sukapura-Probolinggo. Surabaya: Depdikbud Prop. Jawa Timur

Kramrisch, Stella. 1946. The Hindu Temple. vol 1. Calcutta: University of Calcutta.

Moens, J.L. 1974. Buddhisme di Jawa dan Sumatra dalam Masa Kejayaannya Terakhir. Jakarta: Bhratara.

Poerwadarminta, WJS. tanpa tahun. Katrangan Tegesing Temboeng-Temboeng. Groningen-Batavia: JB. Wolters

Soekmono, R. 1974. Candi Fungsi dan Pengertiannya. Semarang: IKIP Semarang.

………………..1984. Samodramanthana. Dalam Amerta No.1. hal. 57-62 Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

……………….1988. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia II. Yogyakarta: Kanisius

Stutteirheim, W.F. 1936. Meeting dat de Torentempel Sivaistisch-Budhistisch (TBG LXXVI p.300).

Sulaiman, Satyawati. 1980. Perkembangan Seni Arca di Indonesia. Dalam Analisis Kebudayaan Th.1 No.1. hal. 50-59 Jakarta: Balai Pustaka

Sumadio, Bambang et al., ed.2008. Zaman Kuna (edisi pemutakhiran). Marwati Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, ed. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka

Wirjosuparto, Sutjipto. 1957. Sejarah Kebudayaan India. Jakarta: Indira.

Yamin, Mohammad. , 1962. Tatanegara Majapahit, jilid I dan II. Djakarta: Prapantja


Tanggapan

  1. peta purbakala itu kalo boleh tau sumbernya dari mana ya? kami ada melakukan peneltian sejarah rekontruksi kerajaan singosari, trims

    • Biasanya dari naskah kuno

  2. Sebagai generasi penerus, selayaknya kita melestarikan apa yang telah ditinggalkan oleh para leluhur. Terima kasih buat penulis, sedikit banyak membantu saya untuk mengingat masa lalu. Semoga masih banyak lagi yang terbantu. Rahayu…


Tinggalkan komentar

Kategori