Oleh: hurahura | 5 Juli 2011

Ranah Minang dan Kerajaan Mālayu

Oleh: Bambang Budi Utomo

Di antara sungai-sungai besar yang mengalir di Sumatera, Batanghari merupakan sungai yang mempunyai perjalanan sejarah yang cukup panjang. Sungai ini merupakan sungai terpanjang yang masuk sampai ke daerah pedalaman Sumatera Barat. Di daerah pedalaman ini terdapat ranting-ranting sungai Batanghari yang berhulu di daerah kaki dan lereng pegunungan Bukit Barisan, antara lain di Gn. Singgirik (+1.913 meter), Gn. Rasam (+2.505 meter), Gn. Manderusah (+2.000 meter), dan Gn. Hulujuhan (+1.382 meter). Ada juga yang berhulu di Danau Diatas dan Danau Kerinci. Ranting Batanghari yang berhulu di Danau Diatas adalah S. Gumanti; di Gn. Hulujuhan adalah Batang Tebo, Batang Ulas, dan Batang Bungo; dan yang berhulu di Danau Kerinci adalah Batang Tabir dan Batang Merangin. Ranting-ranting dan cabang-cabang sungai tersebut setelah melewati Sungaidareh, Sitiung, Kotabaringin, Teluk­kayu­putih, Telukkuali, Muara Tebo, Muara Tembesi, Muara Bulian, Bayubang, dan Jambi men­jadi Batanghari. Di daerah Simpang, Batanghari kemudian bercabang menjadi Sungai Niur yang mengalir ke arah baratlaut, dan Sungai Berbak yang mengalir ke arah timurlaut kemudian keduanya bermuara di Selat Berhala.

Di antara rangkaian pegunungan Bukit Barisan ada celah (pass) yang menghu­bungkan antara satu tempat dengan tempat lain. Melalui celah ini manusia dapat menuju ke satu tempat tanpa mengalami kesulitan pendakian. Celah yang menghubungkan wilayah Tanah Datar dan Batanghari melalui tempat-tempat Muara, Sijunjung, Timbulun, Tanjunggadang, Bukitsabalah, dan Sungai Langsat. Sebelumnya dapat melalui Batang Selo yang mengalir membelah wilayah Tanah Datar.


1. Babakan Sejarah

Wilayah Kerajaan Mālayu Kuna secara geografis terletak di sekitar daerah aliran Sungai Batang­hari yang meliputi Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat; di sekitar Kabupaten Tanah Datar (Pagarruyung); dan di sekitar daerah aliran sungai Rokan, Kampar, dan Indragiri di wilayah Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau. Di beberapa tempat, di tepian sungai Batanghari banyak ditemukan situs arkeologi, mulai dari daerah hilir (di wilayah Provinsi Jambi) hingga daerah hulu (di wilayah Provinsi Sumatera Barat), antara lain Muara Sabak, Koto Kandis, Situs di daerah pertemuan Sungai Batanghari dan Sungai Kumpeh (Ujung Plancu, Suakkandis, dan Sematang Pundung), Muara Jambi, dan Solok Sipin (Jambi) di wilayah Provinsi Jambi; dan Situs Padanglawas, Ram­bahan, Pulau Sawah, Bukik Awang Maombiak, dan Padangroco di wilayah Provinsi Sumatera Barat.

Berdasarkan identi­fikasi unsur pertanggalan yang diperoleh dari paleografi tulisan-tulisan singkat pada lempeng emas di Candi Gumpung (Boechari 1984:9; 1985: 237–38), tulisan singkat pada batu pipisan dari Koto Kandis (Bambang Budi Utomo 1990:148), tulisan singkat pada arca makara dari Solok Sipin (Boechari 1979:28), dan pecahan keramik (Bambang Budi Utomo 1990:148) menunjukkan pertanggalan sekitar abad ke-8–11 Masehi. Unsur pertanggalan situs tersebut terletak di daerah hilir Batang­hari. Unsur pertanggalan yang lebih muda ditemukan di situs-situs di hulu Batanghari berasal dari sekitar abad ke-13-14 Masehi. Unsur pertanggalan ini diperoleh pada Prasasti Dharmaśraya dari Padangroco yang menunjukkan angka tahun 1286 Masehi (Moens 1924), Prasasti Amoghapāśa dari Rambahan menunjukkan angka tahun 1347 Masehi (Kern 1917), dan pecahan keramik dari situs Rambahan, Pulau Sawah, Siguntur, dan Padangroco menunjukkan pertanggalan abad ke-13-14 Masehi (Bambang Budi Utomo 1992).

Pertanggalan situs tersebut menunjukkan kepada kita bahwa di daerah Batang­hari pada Masa Klasik Indonesia telah terdjadi pergeseran permukiman. Permukiman yang tua berlokasi di daerah hilir Batanghari, sedangkan permukiman yang muda berlokasi di daerah hulu Batanghari di wilayah Sumatera Barat. Dalam sejarah Batang­hari, di wilayah ini pernah ada dua kerajaan besar yang berpengaruh di belahan barat Nusantara. Kedua kerajaan itu adalah Mālayu dan Śrīwijaya yang tumbuh dan berkem­bang pada waktu yang bersamaan. Dari Berita Tionghoa yang ditulis oleh I-tsing disebutkan bahwa suatu saat (sekitar tahun 670-an) Mālayu pernah menjadi bagian dari Śrīwijaya (Groeneveldt 1960). Setelah Śrīwijaya melemah, Mālayu kemudian merdeka kembali.

Berdasarkan Berita Tionghoa tersebut, Hasan Djafar (1992:77) membagi Mālayu dalam tiga fase, yaitu:

Fase I

Fase Awal, sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi;

Fase II

Fase Pendudukan oleh Śrīwijaya, sekitar tahun 680 sampai seki­tar per­tengahan abad ke-11 Masehi;

Fase III

Fase Akhir, sekitar pertengahan abad ke-11 sampai sekitar akhir abad ke-14 Masehi.

Ketiga fase tersebut mengacu kepada perjalanan sejarah Kerajaan Mālayu Kuna, tetapi tidak menjelaskan lokasi pusat pemerintahannya. Sebagai­mana telah dikemukakan bahwa lokasi geo­grafis Mālayu ada di daerah Batanghari. Beberapa pakar berpendapat bahwa pusat Mālayu Kuna pada Fase Awal berlokasi di sekitar Kota Jambi sekarang (Slametmulyana 1981:30-42; Irfan 1983:94-102). Pendapat ini didasarkan atas asumsi bahwa pusat kerajaan adalah juga merupakan pelabuhan Mālayu. Pelabuhan Mālayu yang lokasinya di tepi Batanghari sangat baik untuk pelabuhan sungai. Sungai Batanghari yang yang panjangnya sekitar 800 km, lebarnya sekitar 500 meter dan keda­lamannya lebih dari 5 meter cukup baik untuk pelayaran sungai. Panjang sungai dapat dilayari perahu atau kapal besar adalah sekitar 600 km. Selebihnya hanya dapat dilayari perahu kecil.

Di dalam kitab Sejarah Dinasti T‘ang (abad 7-10 Masehi), untuk pertama kali­nya disebutkan datangnya utusan dari negeri Mo-lo-yeu ke Cina pada tahun 644-645 Masehi (Pelliot 1904:324 dan 334). Toponim Mo-lo-yeu dapat diidentifikasikan dengan Mālayu yang letaknya di pantai timur Pulau Sumatera, dan pusatnya di sekitar Jambi. Sementara itu, di dalam berita Arab dari jaman Kekhalifahan Muawiyah (661-681 Masehi) disebut nama negeri Zābag sebagai bandar lada terbesar di Sumatera bagian selatan. Toponim Zābag dapat diiden­tifikasikan dengan (Muara) Sabak, di daerah muara Sungai Batanghari.

Pada tahun 672 Masehi, dalam perjalanannya dari Kanton ke India, I-tsing singgah di Shih-li-fo-shih (=Śrīwijaya) selama enam bulan untuk belajar tata-bahasa bahasa Sansekerta sebe­lum melanjutkan pelayarannya ke Chieh-cha (Kedah) dan menuju Nālanda (India) (Wheatly 1961:41-42). Dari Shih-li-fo-shih kemudian ia singgah di Mo-lo-yeu selama dua bulan, untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke India. Selanjutnya, I-tsing menuliskan bahwa sekemba­li­nya dari Nālanda, pada tahun 685 Masehi ia singgah di Mo-lo-yeu yang sekarang menjadi Fo-she-to. Oleh karena I-tsing meninggalkan Nālanda pada tahun 685 Masehi, pendudukan Mālayu oleh Śrīwijaya berlangsung antara tahun 671 Masehi, ketika ia mening­galkan Śrīwijaya dan tahun 688/689 Masehi ketika ia datang lagi ke Śrīwijaya. Berita I-tsing tersebut sesuai dengan isi Prasasti Karangberahi yang ditemukan di tepi Sungai Merangin, anak Batanghari di daerah hulu, menyebutkan tentang persumpahan bagi yang tidak mau tunduk kepada Kadātuan Śrīwijaya. Kedua data ini menginformasikan kepada kita bahwa pada waktu itu Mālayu telah ditaklukan dan diduduki oleh Śrīwijaya sampai sekitar abad ke-13 Masehi. Pendudukan Śrīwijaya atas Mālayu dianggap penting karena dengan menduduki Mālayu, Śrīwijaya dapat menguasai bandar-bandar yang ada di sekitar Selat Melaka. Hal yang sama dilakukan juga ke daerah lain, misalnya ke Kota Kapur (Bangka), Bhumī Jāwa, serta Palas dan Jabung (Lampung). Dengan menduduki daerah-daerah ini Śrīwi­jaya tidak perlu memindahkan ibukotanya yang ada di Palembang.

Di dalam sebuah Berita Tionghoa disebutkan bahwa pada tahun 853 dan tahun 871 Masehi, Chan-pi mengirim misi dagang ke Tiongkok (Wolters 1974: 144). Dalam catatan Ling piao lu i yang ditulis dalam tahun 889-904 Masehi, disebutkan Pi-chan (Chan-pi) menghasilkan sejenis kacang-kacangan yang bentuknya seperti bulan sabit. Orang-orang Hu mengum­pulkannya dan diberikan kepada pegawai Tiongkok sebagai curiosities (Wolters 1974:144). Menurut Wolters, toponim Chan-pi atau Pi-chan dapat diidentifikasikan dengan Jambi sekarang.

Berita Tionghoa yang berasal dari masa Dinasti Song (960-1279 Masehi) menyebut­kan sebuah kerajaan di Sumatera yang bernama San-fo-t‘si. Diuraikan bahwa kerajaan itu terletak di Laut Selatan di antara Chen-la (=Kamboja) dan She-po (=Jawa). Ibukota ke­ra­ja­an di mana raja bersemayam terletak di Chan-pi. Rakyatnya berdiam di rakit-rakit yang ditambatkan di tepian sungai, sedangkan para pembesar kerajaan berdiam di darat­an. Atap rumah tinggal di rakit-rakit dibuat dari ilalang (Hirth dan Rockhill 1967:62).

Kita mempunyai dua nama untuk menyebut kerajaan di Sumatera yang keduanya mengacu kepada nama Śrīwijaya. Kedua nama itu adalah Shih-li-fo-shih dan San-fo-tsi. Nama Shih-li-fo-shih dikenal oleh para pakar sejarah dan arkeologi sebagai nama dari Kadātuan Śrīwijaya sebe­lum abad ke-9 Masehi dengan pusatnya di Palembang. Setelah Śrīwijaya memin­dahkan ibukotanya ke Jambi, penyebutannya berubah menjadi San-fo-tsi. Masalahnya, bagai­mana halnya dengan Mālayu. Untuk nama kera­jaan ini Berita Tionghoa telah menyebutkannya dengan nama Mo-lo-yeu, seperti yang diberitakan oleh I-tsing. Antara Mālayu dan Śrīwijaya agak­nya terjadi persaingan, dimana kerajaan yang terlebih dahulu ada adalah Mālayu, yaitu pada tahun 644-645 Masehi. Keber­adaan kerajaan ini sudah diakui dengan diterimanya utusan ke Tiongkok.

Masa pendudukan Śrīwijaya agaknya berlangsung cukup lama, mulai dari abad ke-7 sampai abad ke-11 Masehi. Tetapi selama masa itu, ada juga masa di mana Śrīwijaya agak “lengah”. Kesempatan itu diguna­kan untuk mengirimkan duta ke Tiongkok. Berdasarkan catatan Tiongkok, Mo-lo-yeu mengirimkan utusan ke Tiongkok pada tahun 853 dan 871 Masehi (Wolters 1970:41-42). Namun tindakan ini segera diketahui Śrīwijaya. Oleh sebab itulah, maka pada tahun 905 Masehi raja Śrīwijaya mengirimkan duta ke Tiongkok dan menegaskan bahwa duta yang datang pada tahun 853 dan 871 Masehi adalah “pemimpin dari Chan-pi” (Groeneveldt 1960:64).

Kronik Istana Kerajaan Pagan dari abad ke-12 Masehi menyebut­kan adanya hubungan bilateral antara Kera­jaan Pagan dengan Kerajaan Mālayu. Raja Pagan mengi­rim pendeta Buddha untuk menterjemahkan naskah-naskah agama Buddha atas perintah raja Mālayu. Pendeta ini kemudian mengawini putri raja dan tinggal di istana Mālayu (Adhyatman 1990: 103).

Di antara Kerajaan Mālayu dan Śrīwijaya selalu terjadi persaingan dan satu sama lain saling mendominasi. Suatu saat, ketika Śrīwijaya lengah, Mālayu bangkit kem­­­bali dengan mengi­rim­kan utusannya ke Tiongkok. Misalnya pada sekitar pertengahan abad ke-11 Masehi, ketika Śrīwijaya lemah sebagai akibat dari serangan Cōla, Mālayu memanfaatkan kesempatan untuk bangkit kembali. Sebuah prasasti yang dite­mukan di Srilanka menyebut­kan, bahwa pada masa pemerintahan Vijayabahu di Sri­lanka (1055-1100 Masehi), Pangeran Suryanarayana di Malaya­pura (Mālayu) berhasil memegang tampuk pemerintahan di Swarnnapura (Sumatera) (Wolters 1970:92-93). Kronik Tiongkok, Ling-wai-tai-ta, menye­but­kan bahwa pada tahun 1079, 1082 dan 1088, negeri Chan-pi di San-fo-tsi mengirimkan utusan ke negeri Tiongkok (Hirth & Rockhill 1911:66).

Mālayu merupakan sebuah kerajaan yang dianggap penting. Eksis­tensi kerajaan ini selalu diakui oleh berbagai kerajaan. Sebuah kerajaan besar di Nusantara akan selalu mem­perhitungkan keberadaan kerajaan Mālayu, seperti misalnya Śrīwijaya dan Maja­pahit.

Dalam Kakawin Nāgarakŗtāgama Pupuh XIII:1 dan 2 (Pigeaud 1960) disebutkan:

1. Terperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Mālayu: Jāmbi dan Palembaη, Karitań, Teba, dan Dharmaś­raya pun juga ikut disebut, Kaņdis, Kahwas, Manańkabwa, Siyak, Ŗkān, Kāmpar dan Pane, Kāmpe, Harw, dan Maņ­dahiliń juga, Tumihaη, Parlāk dan Barat.

2. Lwas dengan Samudra dan Lamuri, Batan, Lampuη dan Barus. Itulah terutama negara-negara Mālayu yang telah tunduk.

Kakawin Nāgarakŗtāgama menyebutkan Mālayu lebih dahulu dan me­nye­butkan sebagai sebuah negara terpenting dari seluruh negara bawahan Majapahit. Wilayah kekuasaan kera­jaan ini meliputi seluruh daratan Sumatera, dari ujung baratlaut hingga ujung tenggara. Beberapa daerah yang merupakan “bawahan” Mālayu seperti misal­nya Jāmbi, Dharmaśraya, Kaņdis, dan Manańkabwa berlokasi di daerah Sungai Batanghari. Karena disebutkan yang pertama, agaknya Jambi merupakan tempat yang penting. Pada waktu itu mungkin meru­pakan sebuah bandar penting dan bekas ibukota kerajaan. Pada masa Majapahit, ibukota Kerajaan Mālayu sudah berlokasi di Dharmaśraya yang lokasinya di hulu Batanghari.

Setelah lepas dari Śrīwijaya, Mālayu tetap diperhi­tungkan seba­gai sebuah kerajaan yang memegang peranan penting. Pada waktu Mālayu sudah merdeka, Kerajaan Sińhasāri di Jawa sedang ber­selisih dengan Mongol di daratan Tiongkok. Bahkan Sińhasāri sedang meng­hadapi ancaman penyerbuan tentara Mongol. Untuk tidak mem­per­banyak musuh, Sińhasāri dengan rajanya Kŗtanagara berkeinginan menjalin per­sa­habatan dengan Mālayu. Besarnya perhatian Kŗtanagara kepada Mālayu mem­buk­tikan bahwa pada abad ke-13 Masehi Kerajaan Mālayu merupakan negara utama di Sumatera. Untuk itulah, maka pada tahun 1275 Sińhasāri meng­adakan ekspedisi pamālayu. Pararaton menye­­butkan:“Setelah musuh ini mati, menyuruh pasu­kan-pasukan berperang ke tanah Mālayu“ (Pitono 1965:37). Itulah sebabnya banyak para sarjana berpendapat bahwa ekspedisi pamālayu berarti pendudukan atas Mālayu .

Berita tertulis yang penting mengenai keberadaan lokasi pusat Mālayu di hulu Batanghari kita peroleh dari dua buah prasasti, yaitu Prasasti Dharmaśraya yang ber­angka tahun 1286 Masehi dan Prasasti Amoghapāśa yang berangka tahun 1347 Masehi. Selain itu ada prasasti-prasasti lain yang ditemukan di daerah pedalaman Sumatera Barat (Pagar­ruyung dan Batusangkar).

Prasasti Dharmaśraya menyebutkan bahwa pada tahun 1286 Masehi sebuah arca Amoghapāśa dengan keempatbelas pengiringnya dan saptaratna dibawa dari Bhūmijawa ke Swarnnabhūmi untuk ditem­patkan di Dharmaśraya sebagai punya Śrī Wiswarupaku­mara. Peja­bat tinggi kera­jaan yang diperintahkan oleh Śrī Mahārājādhirāja Kŗtanagara untuk mengi­ring­kan arca tersebut ialah Rakryān Mahāmantri Dyah Adwaya­brāhma, Rakryān Sirīkan Dyah Sugatabrahma, Samgat Payāńan Haŋ Dīpangkaradāsa, dan Rakryān Dmuŋ Pu Wīra. Seluruh rakyat Mālayu dari keempat kasta bersukacita, terutama rajanya, ialah Śrīmat Tribhuwana­rāja Mauliwarm­madewa (Hasan Djafar 1992:56–8).

Isi prasasti tersebut jelas memberikan informasi kepada kita bahwa penguasa Mālayu pada waktu itu adalah Śrīmat Tribhūwanarāja Mauliwarmmadewa, dan berke­dudukan di Dharmaśraya. Lokasi Dharmaśraya ini ada di sekitar daerah Sawahlunto-Sijunjung di Kampung Ram­bahan, tempat di mana prasasti ini ditemukan pada sekitar tahun 1880-an (Krom 1912:48). Di sekitar daerah ini ditemukan juga beberapa kelompok bangunan candi yang terdapat di beberapa lokasi, yaitu Padanglawas, Padangroco, Pulau Sawah, Siguntur, Bukik Awang Maombiak, dan Rambahan (Bambang Budi Utomo 1992).

Ekspedisi Pamālayu oleh beberapa sarjana ditafsirkan sebagai pendudukan atau penguasaan atas Mālayu. Namun berdasarkan isi Prasasti Dharmaśraya tidak ada petunjuk pendu­dukan Sińhasāri atas Mālayu, seperti tercantum dalam kalimat “Seluruh rakyat Mālayu dari keempat kasta bersukacita, terutama rajanya Śrīmat Tribhūwa­na­rāja Mauliwarmmadewa.” Arca Amoghapāśa yang dikirimkan oleh Kŗtanagara ditemukan kembali di Rambahan yang letaknya sekitar 4 km. ke arah hulu dari Padangroco. Meskipun ditemukan terpisah, namun berdasarkan isi Prasasti Dharmaśraya yang dipahatkan pada bagian lapik arca, arca Amoghapāśa yang ditemukan di Rambahan ternyata merupakan pasangannya.

Arca Amoghapāśa yang ditemukan di Rambahan pada sekitar tahun 1800-an (Krom 1912:48) memberikan pentunjuk kepada kita bahwa pada tahun 1347 yang berkuasa di daerah Mālayu adalah Śrī Mahārājā Ādityawarmman, upacara yang bercorak tantrik, pembuatan se­buah arca Buddha, dan pemujaan kepada Jina. Informasi yang terdiri dari 27 baris itu dipahatkan di bagian belakang arca Amoghapāśa yang dikirim oleh Kŗtanagara. Berdasarkan isi prasasti ini para sarjana ber­anggapan bahwa pada tahun 1347 merupakan tahun awal pemerin­tahan Āditya­warm­man di Mālayu.

Prasasti lain yang jelas-jelas menyebutkan perpindahan pusat pemerintahan adalah Prasasti Gudam. Berdasarkan informasi dari prasasti ini, de Casparis menduga bahwa yang me­min­dahkan pusat kekuasaan ke daerah Batusangkar adalah Akarendra­warman, raja Mālayu pen­dahulu Ādityawarmman (1989 dan 1992). Pada sekitar tahun 1340-an, di daerah Batu­sangkar dan Pagarruyung memerintah seorang raja yang ber­nama Ādityawarmman. Pada prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah terse­but, misal­nya Prasasti Kuburajo I dikatakan bahwa Ādityawarmman memerintah di kaņakamedi­nīndra (=raja pulau emas) (Kern 1917:219). Pada tahun 1347, berdasarkan isi Prasasti Amoghapāśa Ādityawarmman mengangkat dirinya menjadi seorang mahārājādhirāja dengan gelar Śrī Udayādityawarmman atau Ādityawar­modaya Pratāpaparākramarājen­dra Mauliwarmadewa.

Berdasarkan data prasasti dan pertanggalan situs di daerah Batanghari, Keraja­an Mālayu sekurang-kurangnya telah mengalami tiga kali pemindahan pusat pemerin­tah­an. Pusat­nya yang pertama berlokasi di sekitar kota Jambi sekarang, pusat yang kedua di daerah Padangroco, dan pusat yang ketiga di daerah Pagarruyung. Para sarjana menduga bahwa pemindahan pusat pemerintahan ini disebabkan karena ancaman dari musuh, terutama musuh yang datang dari Jawa melalui Sungai Batanghari. De Casparis menduga bahwa Mālayu pada masa akhir mendapat ancaman dari kerajaan yang bercorak Islam di Samudra Pasai yang juga datang melalui Batanghari (1992). Unsur ancaman dari negara tetangga memang ada, tetapi dalam hal ini saya lebih condong untuk menyatakan bahwa alasan pemindahan pusat pemerin­tahan itu adalah untuk penguasaan sumber emas yang banyak terdapat di daerah pedalaman. Di samping itu, secara geografis daerah pedalaman di Batusangkar dan Pagarruyung dekat dengan jalan air yang lain, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Indragiri. Jika diban­dingkan dengan Sungai Batanghari, muara kedua sungai ini lebih dekat dengan Selat Melaka. Emas dari daerah pedalaman kemudian dipasarkan keluar Mālayu melalui sungai-sungai ini.

Mengenai perpindahan pusat kerajaan ini, atau setidak-tidaknya perpindahan permu­kiman tampak dari pertanggalan situs, Berita Tionghoa dan berita prasasti. Situs-situs arkeologi yang ditemukan di daerah Batang­hari, mulai dari daerah hilir sampai ke daerah hulu menun­jukkan suatu pertanggalan yang berbeda. Situs di daerah hilir menunjukkan pertang­galan yang tua, seperti misalnya situs Koto Kandis berasal dari sekitar abad ke-8-13 Masehi dan Muara Jambi berasal dari sekitar abad ke-8-13 Masehi. Di daerah hulu Batanghari menunjukkan pertanggalan yang lebih muda, yaitu dari sekitar abad ke-13-14 Masehi. Berita Tionghoa Ling piao lu i (889-904 Masehi) menyebutkan Pi-chan (=Jambi) mengirim misi dagang ke Tiongkok, sedangkan Kitab Sejarah Dinasti Song (960-1279 Masehi) Buku 489 menyebutkan raja tinggal di Chan-pi (=Jambi). Apabila data per­tanggalan situs dan data Berita Tionghoa dikorelasikan, maka akan tampak keselaras­an­nya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa aktivitas Kera­jaan Mālayu pada masa awalnya (sebelum Śrīwijaya abad ke-7 Masehi) berlokasi di daerah hilir Batanghari dengan pusatnya di sekitar kota Jambi sekarang.

Situs Muara Jambi yang merupakan suatu kompleks percandian, dibangun dalam be­berapa tahap, misalnya Candi Gumpung dibangun setidak-tidaknya dalam dua tahap pembangun­an. Berdasarkan temuan lempengan emas yang bertulisan yang ditemu­kan di dalam sumuran candi Gumpung, menurut paleografinya berasal dari sekitar abad ke-8 Masehi (Boechari 1981, tidak diterbitkan). Tetapi langgam arca Prajñaparamita yang ditemukan di antara runtuhan candi Gumpung, berasal dari abad ke-13-14 Masehi (Sulaiman 1983:203). Berdasarkan per­tanggalan relatif dari paleografi, gaya seni arca, dan gaya seni bangunan Sulaiman menduga bahwa kompleks percandian Muara Jambi sudah ada sebelum kedatangan pengaruh Sińhasāri. Lagipula, ada seorang guru yang bernama Atiśa dari India yang belajar di Malayagiri antara tahun 1011-1023 Masehi. Mungkin ia berkunjung ke Muara Jambi pada waktu datang ke Malayagiri.

Jambi dengan kompleks percandiannya di Muara Jambi mungkin merupakan tempat yang strategis. Daerah ini merupakan daerah Kerajaan Mālayu yang pada waktu Śrīwijaya sedang kuat berada di bawah ke­kua­saan Śrīwijaya. Waktu itu Śrīwijaya merupakan sebuah Talasocracy, sebuah kerajaan yang merupakan himpunan dari bandar-bandar. Setelah Śrīwijaya lemah, Kŗtanāgara memandang perlu menjalin persahabatan dengan Mālayu karena adanya ancaman dari Tiongkok. Untuk itulah pada tahun 1275 Masehi dikirim ekspedisi Pamālayu. Untuk lebih mempererat persahabatan dengan Mālayu, pada tahun 1286 Masehi Kŗtanāgara mengirimkan arca Amoghapāśa.

Mengenai perpindahan pusat kerajaan dari daerah hilir ke daerah hulu Batanghari hingga kini belum ditemukan sumber tertulisnya. Secara ekonomis, daerah hilir Batanghari (Jambi) lebih menguntungkan jika di­ban­dingkan dengan daerah hulu (Sumatera Barat). Di daerah hilir, sungai Batanghari dapat dilayari dengan perahu-perahu ukuran besar, se­dangkan di daerah hulu tidak. Dasar sungai dangkal dan berbatu-batu. Sungai Batanghari di daerah hulu hanya dapat dilayari dengan sampan. Tetapi, di­tinjau dari segi keamanan, daerah pedalaman lebih menguntungkan karena daerah ini tidak mudah dijangkau dengan menggu­nakan perahu besar.

Perpindahan pusat kerajaan ke daerah hulu, mungkin disebabkan karena alasan keamanan. Selain itu penguasa pada waktu itu memandang perlu pengawasan terhadap sumber alam tambang emas. Daerah peda­laman, terutama di daerah Sumatera Barat (hulu Batanghari), sejak dulu merupakan sumber emas. Sumber emas inilah kemudian dikelola oleh penguasa Mālayu dan dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan kerajaan.

Perkembangan Kerajaan Mālayu mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Āditya­warman dengan pusatnya di daerah hulu Batanghari. Pada masa itu logam emas dimanfaatkan semaksimal mungkin, seperti dipakai sebagai bahan lempengan emas, benang emas, lembaran emas ber­tulis, kalung, dan arca (Sulaiman 1977). Meskipun pusat kerajaan ber­lokasi di daerah hulu Batanghari di wilayah Minangkabau, Ādityawar­man tidak pernah menyebut daerah ke­kuasaannya sebagai Kerajaan Minang­kabau seperti dikemukakan oleh Moens (1937). Ia mena­makan dirinya sebagai Kanakamedi­nīndra yang berarti ‘penguasa negeri emas‘ atau Swarnna­dwīpa, Sumatera, Swarnna­bhūmi. Dengan demikian ia meng­anggap pula dirinya sebagai pengua­sa daerah-daerah yang dulunya menjadi daerah kekuasaan Śrīwijaya (Sulaiman 1977:9).

Dengan pindahnya pusat kerajaan ke hulu Batanghari, ini tidak berarti daerah hilir diabaikan. Jambi sebagai bekas pusat kerajaan tetap berkembang sebagai sebuah pelabuhan yang penting. Melalui pelabuhan Jambi barang-barang komoditi dari daerah pedalaman dipasarkan ke daerah lain. Pada abad ke-12-14 Masehi, Jambi merupakan salah satu dari tiga bandar penting di Sumatera bagian timur (Ambary 1990:58). Dua buah lagi adalah Kota Cina di wilayah Sumatera Utara dan Palembang di wilayah Sumatera Selatan.

Tinggalan budaya masa lampau dari situs-situs di daerah hilir Batanghari sebagian besar berupa keramik. Barang ini diketahui sebagai barang import dari Tiongkok. Di Situs Koto Kandis, Situs Suakkandis, dan Situs Muara Jambi temuan yang paling dominan adalah keramik Tiongkok dari masa Dinasti Song-Yuan (abad ke-12-14 Masehi). Dengan ditemukan­nya barang-barang tersebut, kita memperoleh bukti bahwa pada masa lampau hilir Batanghari (Jambi) memegang peranan penting dalam perdagangan internasional. Para pedagang dari daerah lain datang ke Jambi membawa barang dagangan untuk ditukar dengan hasil setempat. Dari Tiongkok para pedagang membawa keramik dan kain sutera. Kembalinya ke Tiongkok mereka membawa damar dan kapur barus.

Daerah hulu Batanghari dikenal sebagai daerah penghasil emas. Dari beberapa situs di daerah Batanghari banyak ditemukan artefak yang dibuat dari emas. Selain itu ditemukan juga pecahan-pecahan keramik dari bahan batuan yang berasal dari bentuk botol. Botol ini biasa dipakai sebagai wadah untuk menyimpan cairan merkuri untuk pengerjaan emas. Bukti bahwa Mālayu atau katakanlah Batanghari tempo dulu mengha­sil­kan emas cukup banyak. Namun, yang menjadi pertanyaan mengapa Berita Tionghoa tidak ada satupun yang menyebutkan emas sebagai barang komoditi, atau menyebut­kan bahwa Shih-li-fo-shih, San-fo-tsi, atau Mo-lo-yeu menghasilkan emas. Justru sebaliknya, Tiongkok mem­bawa barang komoditi emas ke negara-negara itu untuk ditukarkan dengan hasil bumi dan hasil hutan. Lepas dari tidak disebutkannya Mo-lo-yeu sebagai daerah penghasil emas, namun kita mempunyai bukti kuat bahwa di daerah Koto Kandis pada masa lampau berlangsung aktivitas pengerjaan emas. Buktinya, di Koto Kandis banyak ditemukan pecahan botol merkuri, dan tanah di Koto Kandis “mengandung” bijih emas dan emas yang sudah dikerjakan. Hingga kini masyarakat di Koto Kandis sering mencari emas di tepian Sungai Batanghari.

Sungai Batanghari telah memiliki sejarah peradaban manusia yang panjang. Bukti adanya aktivitas manusia di sepanjang daerah tepiannya banyak ditemukan pada situs-situs arkeologi mulai dari daerah hilir ke daerah hulu. Peradaban manusia di Batang­hari yang tua ditemukan di daerah hilir sampai ke kota Jambi sekarang, sedangkan yang muda ada di daerah hulu.

Dari pertanggalan keramik, prasasti, dan arca, dapat diketahui ada­nya perpin­dahan pusat Kerajaan Mālayu. Pusat kerajaan itu pada mulanya berlokasi di sekitar kota Jambi sekarang, kemudian pada sekitar abad ke-13 Masehi pusat kerajaan itu ada di Dharmaśraya yang lokasinya di hulu Batanghari. Meskipun pusat kerajaan sudah bergeser ke daerah peda­laman, Jambi tetap memegang peranan penting dan terus tumbuh menjadi kota dagang. Munculnya beberapa bandar utama di pantai timur dan barat Sumatera telah merubah Selat Melaka menjadi jalur perdagangan yang penting di kawasan Asia Tenggara yang dapat menghu­bungkan kawasan timur (Tiongkok) dan Asia Tenggara kepulauan (Nusantara) dengan kawasan laut sebelah barat. Bandar-bandar utama itu antara lain Barus, Singkel, Kota Cina, Jambi, dan Palembang. Bandar-bandar ini di kemudian hari tumbuh dan berkembang menjadi kota, misalnya Jambi dan Palembang.

Pusat Kerajaan Mālayu pada mulanya berlokasi di sekitar Jambi, di daerah hilir Batanghari. Kemudian pada sekitar abad ke-13 Masehi pusat kerajaan berpindah ke arah pedalaman, daerah hulu Batanghari di sekitar Rambahan (Sumatera Barat). Kerajaan Mālayu dengan Jambi sebagai bandar pentingnya, merupakan sebuah kerajaan yang cukup berperan dalam percaturan sejarah Asia. Bandar Jambi yang merupakan pelabuh­an sungai, terus hidup dan berkembang yang akhirnya menjadi sebuah kota.

2. Perdagangan Emas

Dalam Seminar Sejarah Mālayu Kuna terungkap bahwa lokasi Kerajaan Mālayu ada di daerah Sungai Batanghari, mulai dari daerah hilir di wilayah Provinsi Jambi hingga daerah hulu di wilayah Provinsi Sumatera Barat. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa ada perpindahan “pusat” kerajaan mulai dari arah hilir ke arah hulu Batanghari (Bambang Budi Utomo 1992:183–84). Demikian juga bukti prasasti menunjukkan bahwa prasasti-prasasti Mālayu yang lebih muda ditemukan di daerah hulu Batanghari, di wilayah Provinsi Sumatera Barat (Hasan Djafar 1992:50-80).

Jika dilihat dari pandangan geografis, daerah hilir Sungai Batanghari lebih mengun­tungkan jika dibandingkan dengan daerah hulu. Di wilayah pedalaman Sumatera Barat, jalan keluar menuju Selat Melaka adalah Sungai Indragiri dan Sungai Kampar Kiri. Kedua sungai ini bermata-air di wilayah Pagarruyung. Tentunya tidak mungkin untuk pelayaran sungai. Namun, pada pertengahan abad ke-14 Masehi pusat Kerajaan Mālayu berlokasi di sekitar daerah Pagarruyung (Sumatera Barat). Tetapi mengapa justru di daerah ini Kerajaan Mālayu mencapai puncak kejayaannya? Gejala apakah yang memacu perkembangan kerajaan ini. Untuk menjawab pertanyaan ini saya akan mencoba untuk membahasnya dengan melihat sumberdaya alam yang terkandung di bumi Sumatera, khususnya di daerah hulu Batanghari.

Adalah penting untuk melihat kedudukan sumberdaya alam Pulau Sumatera untuk dapat memahami mengenai timbulnya pemukiman, pelabuhan, pola perdagangan, dan kerajaan-kerajaan kuna di Sumatera. Hal yang tidak dapat dipungkiri oleh banyak orang adalah bahwa hasil bumi dan hasil tambang Sumatera banyak dicari oleh para pedagang baik dari Arab, India, Tiongkok dan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Salah satu hasil Sumatera yang terpenting adalah emas.

Selain emas, beberapa logam lain juga ditemukan di Sumatera seperti perak, plumbum, tembaga, zink, besi, dan air raksa (van Bemmelen 1944:210; Miksic 1979: 263). Barang-barang logam itu telah lama ditambang dan jauh sebelum abad ke-16 Masehi, yaitu ketika para penguasa barat melakukan penambangan secara besar-besaran di bumi Suma­tera (Miksic 1979:262). Air raksa banyak ditemukan di Lebong dan cinnabar, satu jenis logam yang mengandung air raksa telah ditambang di daerah Jambi jauh sebelum keda­tangan orang Barat (Miksic 1979:262; Tobber 1919:463-464). Cinnabar juga ditambang di Muara Sipongi, Kabupaten Tapanuli Selatan (Sumatera Utara) (van Bemmelen 1944:210). Di Muara Sipongi, sebelum kedatangan bangsa Barat ditambang plumbum, zink, besi, dan tembaga.

Selain hasil tambang, sumber daya alam Sumatera yang menjadi komoditi penting pada masa lampau adalah hasil hutan. Pada masa Kesultanan Melaka diberitakan ada selusin kapal yang singgah di Melaka setiap tahunnya membawa muatan yang sebagian besar berupa hasil hutan. Hasil hutan yang dikapalkan itu antara lain berupa damar, kapur barus, storax, bahan untuk membuat minyak wangi, myrobalan (bahan baku untuk pencelup kain), dadah, dan benzoin (Dunn 1975; Miksic 1979:264).

Gambaran yang dapat kita peroleh dari pengelana-pengelana asing jelas bahwa masyarakat di Sumatera sejak jaman purba telah melakukan penambangan emas. Emas yang dikumpulkan dapat berupa emas primer maupun emas sekunder, tergantung dari tempat di mana mereka mencarinya. Christine Dobbin mengemukakan bahwa daerah pusat Minangkabau selama beberapa abad telah memegang peranan penting dalam perekonomi­an di wilayah sebelah barat Nusantara (Dobbin 1986, terjemahan). Daerah Tanah Datar merupakan penghasil salah satu dari sumber utama kegiatan perekonomian. Dari daerah ini banyak dihasilkan emas. Menurut Tomé Pires di pantai barat Sumatera, bahan eksport selain lada adalah emas, kelambak, kapur barus, kemenyan, damar, madu, dan bahan makanan (Poesponegoro (3) 1984:147-148). Eksport komoditi ini ditujukan ke Melaka. Akan tetapi ada juga kapal-kapal Gujarat yang datang langsung ke Pantai Barat Sumatera untuk membawanya langsung ke negerinya.

Emas merupakan hasil tambang dari Sumatera yang penting dan utama. Oleh sebab itu, untuk menelusuri kelahiran bandar-bandar utama di Sumatera dan sistem per­dagangan pada masa lampau, kita harus dapat memahami tentang peranan emas dari Sumatera. Logam ini telah ditambang di Sumatera sejak jaman sebelum kedatangan bang­sa barat (Eropa) ke Asia Tenggara. Demikian pentingnya emas dari daerah Minang­ka­bau, Wheatly menunjukkan bukti bahwa Kesultanan Melaka telah menantang Kesul­tanan Deli, Rokan, Siak, Kampar dan Indragiri untuk memastikan ia dapat menjamin keamanan per­dagangan emas dari kawasan pedalaman Minangkabau (Wheatly 1961:309).

Penambangan emas secara besar-besaran di wilayah Sumatera Barat baru dila­kukan pada masa penjajahan. Meskipun demikian, daerah ini sudah lama dikenal sebagai penghasil emas yang utama. Penguasaan atas tambang-tambang emas dilakukan oleh para penguasa untuk tujuan politik. Emas dari daerah pedalaman Minangkabau dipasar­kan ke luar Sumatera melalui pantai barat dan pantai timur Sumatera dengan me­lalui jalan sungai dan jalan darat. Itulah sebabnya Mālayu pada masa Ādityawarmman mencapai kejaya­annya. Pendahulu Ādityawarmman telah memindahkan keratonnya ke daerah pedalaman agar memudahkan pengontrolan tambang-tambang emas. Daerah pedalaman (sekitar Pagarruyung) dekat dengan jalan keluar menuju Selat Melaka melalui Sungai Kampar Kiri dan Sungai Indragiri. Menuju pantai barat dapat melalui celah Pegunungan Bukit Barisan menuju Padang. Menuju ke arah utara, dapat melalui Muara Sipongi (juga merupakan tambang emas) menuju ke arah Tapanuli Selatan.

Kerajaan Mālayu yang lokasi geografisnya di daerah lembah Batanghari, se­kurang-kurangnya telah mengalami tiga kali pemindahan ibukotanya. Ibukota yang per­tama (awal) berlokasi di daerah hilir Batanghari, di suatu tempat yang mungkin di Muara Jambi (de Casparis 1992) atau di Kota Jambi sekarang (Bambang Budi Utomo 1992). Ibu-kota yang kedua berlokasi di sekitar daerah hulu Batanghari. Pemindahan yang kedua ini mungkin berlangsung sebelum tahun 1286 (Prasasti Dharmaśraya ). Ibukota terakhir (?) berlokasi di daerah Pagarruyung, dan oleh Ādityawarmman ibukota ditetapkan di Surāwāśa. Pemindahan ke daerah ini terjadi tahun 1316 Masehi pada masa pemerintahan Akarendrawarman (de Casparis 1992). De Casparis mengajukan alasan pemindahan ibukota karena ancaman agama baru yang berkembang di Aceh, yaitu agama Islam dari Kesultanan Samudra Pasai. Karena itulah Ādityawarmman membuat arca Bhairawa dan menetapkan Surāwāśa sebagai pusat pemerintahan. Ādityawarmman beranggapan bahwa agama Islam tidak hanya mengancam agama Buddha yang dipeluk­nya, melainkan juga membahayakan tahta raja sendiri.

Dugaan yang diajukan de Casparis dapat diterima, tetapi dapat ditambahkan bahwa Ādityawarmman juga berniat menguasai tambang emas yang banyak terdapat di wilayah Minangkabau. Selain itu, jika pusat pemerintahan ada di daerah Surāwāśa, akses menuju Selat Melaka yang merupakan jalur lalulintas perekonomian akan lebih dekat lagi, yaitu melalui Sungai Kampar Kiri dan Sungai Indragiri (Batang Kuantan). Demikian juga akses menuju pantai barat Sumatera tempat para pedagang dari India dan Arab biasa berlabuh mengambil barang komoditi. Bukti prasasti dari Barus menun­jukkan adanya komunitas para pedagang Tamil di pantai barat Sumatera. Adanya komunitas orang Tamil di sekitar Pagarruyung dapat diketahui dari Prasasti Bandar Bapahat yang berbahasa Tamil dan beraksara Grantha dari situs di tepi Batang Selo (Tanah Datar)

Setelah Mālayu di bawah pemerintahan Ādityawarmman mencapai kejayaan­nya, tibalah masa yang gelap bagi Mālayu. Berita mengenai Mālayu sebagai kerajaan yang bercorak Buddha tidak pernah terdengar lagi. Namun demikian perdagangan emas dari daerah Minangkabau masih tetap berlanjut dengan melalui jalur sungai Kampar Kiri dan Indragiri.

3. Keagamaan

Berbicara mengenai agama yang berkembang di wilayah Sumatera Barat pada abad ke-13-14 Masehi, maka kita harus membicarakan juga agama yang berkembang di Sumatera Utara (Kabupaten Tapanuli Selatan) dari masa yang sama. Di kawasan yang dikenal dengan nama Padanglawas, terdapat tinggalan budaya masa lampau yang berupa kompleks biaro dengan arca-arcanya yang berwajah raksasa. Di samping itu ditemukan juga prasasti-prasasti yang mengindikasikan pemujaan tantris.

Kepurbakalaan yang ditemukan di Situs Padanglawas hampir semuanya terdiri dari biaro-biaro yang bagian puncaknya diakhiri dengan bentuk stūpa. Kadang-kadang ditemukan juga sebuah bangunan stūpa yang ukurannya lebih kecil dari bangunan biaro. Bangunan ini biasanya ditemukan di halaman kelompok bangunan biaro. Indikator ter­sebut menunjukkan bahwa hampir seluruh kepurbakalaan di Padanglawas berhubungan dengan agama Buddha, dan hanya sedikit yang berkaitan dengan agama Hindu aliran Śiwa. Bukti ikonografis menunjukkan bahwa arca-arca yang ditemukan di Padanglawas seluruhnya berwajah raksasa dengan raut muka yang menyeram­kan. Demikian juga relief pada dinding bangunan menggambarkan raksasa yang sedang menari-nari dengan tarian tandawa. Beberapa tulisan baik yang ditulis pada lempengan emas, maupun yang ditulis pada batu membuktikan bahwa agama yang berkembang di Padanglawas adalah wajrayāna, yaitu suatu aliran dalam agama Buddha yang mempunyai sifat-sifat keraksa­saan (Suleiman 1985: 26).

Pada tahun 1950-an, di dalam bilik utama bangunan Bahal 2, ditemu­kan se­buah arca yang telah hancur berkeping-keping. Setelah berhasil direkonstruksi kembali, ternyata arca yang telah hancur itu berasal dari bentuk sebuah arca Heruka yang mem­punyai ukuran tinggi 118 cm. Jenis arca ini merupakan arca langka yang jarang dite­mukan di Indonesia, baik di Jawa maupun di Sumatera. Keadaan mukanya telah rusak. Di bagian belakang kepala terdapat rambut yang berdiri ke atas seperti lidah api. Peng­gambaran arca ini sangat “sadis” dengan setumpuk tengkorak dan raksasa sedang me­nari-nari di atas mayat. Raksasa ini digambarkan bertangan dua. Tangan kanan diangkat ke atas sambil memegang vajra, sedangkan tangan kiri berada di depan dada sambil memegang sebuah mangkuk dari batok kepala manusia. Sebatang tongkat (khaţvāńga) yang di bagian ujungnya diikat kain yang menyerupai bendera dikempit pada ketiak tangan kiri. Berdiri di atas kaki kiri yang agak ditekuk, sedangkan kaki kanan diangkat dengan telapak kaki mengarah ke paha kiri. Dari belakang kaki kanan terjuntai sampur hingga ke bawah. Arca ini sekarang telah hilang, dan bagian yang masih tersisa adalah bagian kiri belakang (bagian ujung tongkat yang terdapat ikatan kain).

Penggambaran arca Heruka tersebut, tercantum dalam kitab Suddhamala yang mene­kan­kan bahwa seorang penganut Tantrayāna harus membayangkan Heruka itu seba­gai berikut:

“berdiri di atas mayat dalam sikap ardhaparyańka (setengah bersila) berpa­kaian kulit manusia, tubuhnya dilumuri abu, tangan kanannya meng­genggam sebuah vajra yang berkilauan, dan tangan kirinya menggeng­gam sebuah khaţwańga, berhiasan panji yang melambai-lambai, serta sebuah mangkuk tengkorak yang berisi darah; selempangnya berhiasan rantai dari 50 kepala manusia, mulut­nya sedikit terbuka karena taring, sedangkan nafsu birahi tampak dari sorot matanya, rambutnya yang kemerah-merahan berdiri ke atas; arca Aksobhya menghiasi mahkotanya dan anting-anting menghiasi telinganya; ia berhiaskan tulang-tulang manusia dan kepalanya berhiasan tengkorak manusia; ia memberi kebudhaan dan dengan semedinya melindungi terhadap mara-mara di dunia.” (Sulistya 1985)

Tokoh Heruka disebutkan juga dalam sebuah kakawin yang ditulis dalam jaman Majapahit (abad ke-14-15 Masehi). Pada kakawin yang dikenal dengan nama Sutasoma, pupuh 125 antara lain menyebutkan sebagai berikut:

“Inilah sebabnya mengapa seorang penganut Mahāyāna berusaha untuk men­sucikan dirinya. Bukanlah karena dia ingin makan daging manusia mau­pun karena dia ingin memuaskan nafsu makannya. Dia hanya ingin berusaha membersihkan kesadarannya supaya dia dapat menguasai hidup dan mati. Itulah tujuan dari latihan-latihannya. Dalam keadaan serupa itu ia bersatu dengan Jinapati, puncak dari kebebasan. Banyaklah cara antara lain dipa­kainya daun kering untuk melindungi dirinya dari sinar matahari selama latihannya. Darah yang berbau mengalir melalui kepalanya dan menetes di dadanya. Usus manusia melingkari tubuhnya dan lalat-lalat hijau beterbangan dan hinggap di muka serta masuk di matanya, Namun hatinya sama sekali tidak tergoda dari tujuan utama untuk bersatu dengan dewa Heruka” (Bosch 1930: 142).

Dari kedua sumber tertulis itu jelas bahwa upacara tantrayāna seolah-olah merupakan suatu perbuatan yang sadis dan tidak lepas kaitannya dengan mayat serta darah manusia. Di samping itu ada juga ritual yang berkaitan dengan minum minuman keras yang memabukkan, seperti yang dilakukan oleh Raja Kŗtanagara dari Kerajaan Sińhasāri. Upacara yang terpenting dalam aliran Wajrayāna adalah upacara Bhairawa, yang dilakukan di atas ksetra (suatu tempat penimbun mayat sebelum dibakar). Di tempat ini mereka bersemedi, menari-nari, merapalkan mantra-mantra, membakar ma­yat, minum darah, tertawa-tawa, mengeluarkan bunyi mendengus seperti suara banteng. Tujuannya adalah untuk mengajarkan penganutnya bagaimana dengan melalui cara kesaktian dapat kaya, panjang umur, perkasa, tidak mempan senjata tajam, dapat hilang dari pandangan orang, dan dapat mengobati orang sakit; atau dalam bentuk yang lebih sakti lagi, apabila berulang-ulang merapal nama Buddha atau Bodhisattwa dapat meng­atasi keadaan yang tidak tenang atau mendapat mukjizat untuk dilahirkan kembali dengan kekuasaan dewa yang dipuja (Majumdar 1937: 121).

Tiga kelompok biaro yang mempunyai sifat buddha tantrik ialah kelompok Biaro Si Pamutung, Biaro Si Joreng Belangah, dan Biaro Si Sangkilon (Schnitger 1937: 23-25). Pada Biaro Si Pamutung banyak ditemukan arca maupun hiasan bangunan (makara) yang merupakan indikator Wajrayāna. Pada halaman biaro ditemukan sebuah arca buaya yang digambarkan dengan wajah yang bengis. Selain itu ditemukan juga dua buah arca raksasi dalam sikap añjalimudrā di mana dari mulutnya keluar dua pasang taring. Kedua bola matanya digambarkan melotot. Di Si Joreng Belangah ditemukan prasasti yang menggam­bar­kan upacara tantris yang bunyinya:

“Wanwawanwanāgī
Bukāngrhūgr
Hūcitrasamasyasā
Tūnhahāhahā
Hūm
Hūhūhehai
Hohauhaha
Omāhhūm”

Menurut Stutterheim, bunyi “ha” dan sebagainya adalah bunyi tertawa dan bunyi “hu” adalah bunyi dengusan suara banteng. Bunyi-bunyi ini biasa diucapkan para pemuja pada waktu upacara Tantrik. Selanjutnya, menurut Stutterheim pertanggalan prasasti ini dapat ditempatkan dalam abad ke-13 Masehi atau pertengahan abad ke-14 Masehi. Di samping itu ditemukan suatu bukti bentuk tantrisme di Padanglawas.

Bosch mengemukakan bahwa agama yang digambarkan oleh arca-arca dan prasasti-prasasti singkat pada batu dan lempeng emas, dalam upacaranya melibatkan pengorbanan manusia (Miksic 1979: 86). Menurut Nilakanta Sastri, agama Buddha yang berkembang di wilayah Sumatera Barat (Sungai Langsat) dan di wilayah Padanglawas adalah agama Buddha Kālacakra (Sastri 1949: 109).

Beberapa kelompok biaro telah menghasilkan bukti-bukti arkeologis yang dapat menun­jukkan kepada kita jenis tantrisme yang diamalkan. Adalah suatu kenya­taan, dimana dapat dibuktikan dengan ditemukannya sebuah arca Heruka, bahwa Biaro Bahal 2 adalah contoh Tantrisme Buddha. Heruka adalah salah satu dewa dalam pan­theon Buddha yang cukup dikenal. Menurut kepercayaan para penganutnya, apabila mengadakan pemujaan terhadap Heruka maka orang yang memuja itu akan masuk nirwana dan selalu unggul dalam menaklukan semua māra di dunia.

Dengan ditemukannya arca-arca yang digambarkan dengan raut wajah yang menye­ramkan serta prasasti-prasasti singkat yang kalimatnya seperti bunyi tertawa, dapat disim­pulkan bahwa agama yang berkembang di daerah Padanglawas adalah agama Buddha Wajrayāna. Arca Heruka merupakan bukti nyata bahwa agama di Padanglawas adalah agama Buddha Wajrayāna. Agama ini berkembang juga di daerah Sumatera Barat, di sekitar Padangroco (hulu Batanghari) hingga ke daerah sekitar perbatasan Provinsi Riau (hulu sungai Kampar).

Pada masa yang kemudian setelah masa Padanglawas atau pada masa yang bersa­maan dengan itu, di wilayah pedalaman Sumatera Barat yang merupakan daerah hulu Batanghari, Kerajaan Mālayu sedang mencapai puncak kejayaannya. Pada sekitar pertengahan abad ke-14 Masehi yang memerintah di Kerajaan Mālayu adalah Āditya­warmman. Agama yang berkembang di Mālayu adalah agama Buddha Mahāyāna aliran Wajrayāna dengan upacaranya Bhairawa. Bukti eksistensi agama ini dapat dilihat dari temuan arca dan prasasti yang menunjukkan adanya upacara Bhairawa. Sebuah arca Bhairawa yang merupakan arca perwujudan Ādityawarmman ditemukan di Padangroco (Sawahlunto-Sijunjung, Sumatera Barat), sedangkan mengenai upacara Bhairawa yang dilakukan oleh Ādityawarmman dapat diketahui dari prasasti yang dipahatkan di bagian belakang arca Amoghapāśa. Arca ini ditemukan di Rambahan, sekitar 4 km. ke arah hulu dari Situs Padangroco.

Prasasti pada arca Amoghapāśa ditulis dalam aksara Jawa Kuna dengan meng­gu­na­kan bahasa Sansekerta, dalam 27 baris, dan berbentuk sloka 12 bait. Angka tahun yang tertera dalam bentuk candrasangkala yang menunjuk tahun 1268 Śaka (1347 Masehi) dan dikeluarkan oleh Śrī Mahārājādhirāja Ādityawarmman. Dalam prasasti itu ia menyebutkan pula dirinya dengan nama Śrīmat Śrī Udayādityawarmman. Selanjutnya, prasasti ini menyebutkan tentang penyelenggaraan upacara yang bercorak tantrik, pen­tahbisan arca Buddha dengan nama Gaganaganja (nāmnā gagana ganjasya), dan pemu­jaan kepada Jina (Hasan Djafar 1992: 9-12).

Hingga kini belum dapat diketahui dari mana aliran Tantris ini masuk ke wila­yah Sumatera Barat. Apakah datang dari Jawa, atau datang dari daerah utara di Padang­lawas. Bukti tertua keberadaan Tantris di Sumatera dapat diketahui dari beberapa buah prasasti singkat yang ditemukan di Padanglawas. Prasasti dengan indikator Tantris dari kompleks percandian Si Joreng Belangah yang berangka tahun 26 April 1179 Masehi (Damais 1955) dan prasasti dari Si Topayan yang berangka tahun 1235 Masehi (Goris 1930: 234) sebagai contoh­nya. Sementara itu, di Sumatera Barat keberadaan Tantris dapat diketahui dari Pra­sasti Amoghapāśa (dipahatkan pada alas arca) yang berangka tahun 1286 Masehi (Moens 1924) dan Prasasti Ādityawarmman (dipahatkan pada bagian belakang arca Amoghapāśa) yang ber­angka tahun 1347 Masehi (Kern 1917). Kalau didasarkan atas informasi dari prasasti, maka yang lebih dahulu berkembang adalah Tantrisme di Padanglawas. Setelah itu Tantrisme berkembang di Sumatera Barat.

__________

Bambang Budi Utomo, adalah Kerani Rendahan pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Republik Indonesia.

Daftar Pustaka

Ambary, Hasan Muarif, 1990 “Peranan Beberapa Bandar Utama di Sumatra Abad 7-16 Masehi dalam Jalur Jalan Darat Melalui Lautan”, dalam Kalpataru 19. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Bambang Budi Utomo, 1990, “Teori Garis Pantai Sumatera Timur: Pengaruhnya Terhadap Penempatan Pusat Sriwijaya”, dalam Monumen hlm. 143-155. Depok: Lembaran Sastra, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

———–, 1992, “Batanghari Riwayatmu Dulu”, dalam Seminar Sejarah Malayu Kuno. Jambi: Pemerintah Daerah Tk. I Propinsi Jambi & Kanwil Depdikbud Propinsi Jambi

Bambang Sulistya, 1985, “Pengaruh Tantrayana di Kawasan Nusantara”, dalam Berkala Arkeologi 6(2). Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

Bemmelen, R.W. van, 1949, “The Geology of Indonesia Vol. IA” (General Geology). The Hague: Martinus Nijhoff.

Boechari, 1979, “Report on Research on Srivijaya”. Country Report of Indonesia, Part I, dalam Final Report SPAFA Workshop on Research Project on Srivijaya, Appendix a: 1-7. Bangkok: SPAFA Coordinating Unit.

————, 1981, “Report on Research on Srivijaya”. Dalam Studies on Srivijaya. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

————, 1984, “Laporan Hasil Penelitian Lempengan-lempengan Emas dari Candi Gumpung” (Naskah, tidak diterbitkan).

————, 1985 “Ritual Deposits of Candi Gumpung (Muara Jambi)”, dalam SPAFA Final Report: Consultative Workshop on Archaeological and Environmental Studies on Srivijaya. Bangkok: SPAFA Coordinating Unit.

Bosch, F.D.K., 1930, “Verslag van een Reis door Sumatra”, dalam OV 1930 Bijlage C. hal 133-157.

Casparis, J.G. de, 1989, “Peranan Adityawarman, Seorang putra Melayu di Asia Tenggara”, makalah dalam Persidangan Antarabangsa Tamadun Melayu II.

————, 1990, “An Ancient Garden in West Sumatera”, dalam Kalpataru 9: 40-50. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

————, 1992, “Malayu dan Adityawarman”, dalam Seminar Sejarah Malayu Kuno. Jambi: Pemerintah Daerah Tk. I Propinsi Jambi & Kanwil Depdikbud Propinsi Jambi

Damais, L. C., 1955, “Etudes d‘épigraphie indonésienne IV. Discussion de la date des inscriptions” . BEFEO XLVII, Saigon.

Damais, L.C., 1970, Repertoire Onomastique de l‘Épigraphie Javanaise (Jusqu‘a Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmmotuńgadewa): Étude d‘Épigraphie Indonésienne. Paris: Publications de EFEO, LXVI.

Dobbin, Christine, 1977, “Economic Change in Minangkabau as a Factor in the Rise of the Padri Movement, 1784-1830”, dalam Indonesia 23 hlm. 1-38.

Dunn, F.L., 1975, “Rain-forrest collectors and traders: A study of resource utilization in modern and ancient Malaya”, dalam Monograph of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society No. 5.

Groeneveldt, W.P., 1960, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources. Djakarta: Bhratara.

Hasan Djafar, 1992, “Prasasti-prasasti Masa Kerajaan Melayu Kuno dan Beberapa Permasalahannya”, dalam Seminar Sejarah Malayu Kuno. Jambi: Pemerintah Daerah Tk. I Propinsi Jambi & Kanwil Depdikbud Propinsi Jambi.

Hirth, Friederich dan W.W. Rockhill (eds.), 1911, Chau Ju-Kua. His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled Chu-fan-chï. Amsterdam: Oriental Press.

Irfan, Nia Kurnia Sholihat, 1983, Kerajaan Sriwijaya. Bandung: Girimukti Pasaka.

Kern, H., 1917, “De Wij-inscriptie op het Amoghapaça-beeld van Padang Candi (Midden Sumatra): 1269 Çaka”, dalam VG 7: 163-165.

Krom, N.J., 1912, “Inventaries der Oudheden in de Padangsche Bovenlanden”, dalam OV Bijlage G-H. hlm. 33-52.

Majumdar, R.C., 1933, “Les rois Çailendra de Suwarnadwipa”, dalam BEFEO 33: 121-141.

————, 1937, Suvarnadīpa. Dacca/Calcutta.

Marsden, William, 1966, History of Sumatra. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Miksic, John N., 1979, Archaeology, Trade and Society in Northeast Sumatra. (Ph. D Thesis). New York: Cornell University.

Mills, J.V.G., 1970, Ma Huan. Ying-yai Sheng-lan. ‘The Overall Survey of the Ocean‘s Shore‘ (1433). [translated from the Chinese text edited by Feng Ch‘eng-Chün with introduction, notes and appendices by JVG Mills]. Cambridge: University Press for the Hakluyt Society.

Moens, J.L., 1924, “Het Buddhisme op Java en Sumatra in Zijn Laaste Bloei-periode”, dalam TBG 64: 521-580.

————, 1937, “Çrivijaya, Yawa en Kataha”, dalam TBG 77: 317-487.

Moens, J.L., 1974, Buddhisme di Jawa dan Sumatra dalam masa kejayaannya terakhir (Seri Terjemehan No. ). Jakarta: Bhratara.

Nilakanta Sastri, K.A., 1949, History of Srivijaya. Madras: University of Madras.

Pelliot, Paul, 1904, “Deux Itineraires de Chine en Inde á la fin du VIIIe Siecle”, dalam BEFEO tome IV.

Pigeaud, T.G. Th., 1960-1963, Java in the Fourtheenth Century; A study in cultural history. The Hague: Martinus Nijhoff.

Pitono Hardjowardojo, R., 1965, Pararaton, Djakarta: Bhratara.

————, 1966, Adityawarman: Sebuah Studi tentang Tokoh Nasional Abad XIV. Djakarta: Bhratara.

Poesponegoro, Marwati Djoenet dan Nugroho Notosusanto (ed.), 1984, Sejarah Nasional Indonesia II & III. Jakarta: P.N. Balai Pustaka.

Schnitger, F.M., 1937, The archaeology of Hindoo Sumatra. Leiden: E.J. Brill

Slametmulyana, 1981, Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi. Jakarta: Idayu.

Suleiman, Satyawati, 1977, ”The Archaeology and History of West Sumatra”, dalam Bulletin of the Research Centre of Archaeology of Indonesia No. 12. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.

————, 1983, “Artinya penemuan baru arca-arca Klasik di Sumatera untuk penelitian Arkeologi Klasik”, dalam Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi I. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Tobber, 1919, “Djambi verslag uitkomsten van het geologisch-mijnbouwkundige onderzoek in de residentie Djambi 1906-1912”. Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oost-Indie, Verhandelingen 48/3

Wheatley, Paul, 1961, The Golden Khersonese. Kuala Lumpur: University of Malaya Press.

Wolters, O.W., 1970,The Fall of Srivijaya in Malay History. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

————, 1974, Early Indonesian Commerce. A Study of the Origins of Srivijaya. Ithaca, London: Cornell University Press.


Tanggapan

  1. blog nya bagus…..

    aku mo nanya..
    bagaimana kah corak kehidupan raja2 nya pada jaman kerajaan minangkabau??

    makasih

  2. saya setuju, namun adakah kawan2 memperhatikan candi di muara takus..juga apakah org2 disini bergerak ke selatan sebelum berdiri di jambi itu?

  3. semoga informasinya bisa menambah wawasan kita semua….salam kenal


Tinggalkan komentar

Kategori