Oleh: hurahura | 5 Juli 2011

Konflik dalam Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi

Oleh: Bambang Sulistyanto
Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional


1. Pendahuluan

Pokok-pokok pikiran yang akan saya sampaikan di sini bukan hasil dari pemikiran dan renungan saya sendiri, melainkan lebih merupakan reproduksi dari suatu diskusi kecil yang terbungkus dalam kegiatan Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi Tingkat Dasar yang diselenggarakan oleh Asdep Urusan Arkeologi Nasional di Trowulan pada bulan Agustus 2004 yang lalu. Dengan mengundang kawan-kawan pembicara dari Yogyakarta dan Jakarta, topik-topik yang dibahas dalam diskusi itu, memang cukup aktual dan fenomenal. Apa yang dibicarakan jauh lebih kaya, baik dalam teori, metode dan argumentasinya. Tulisan ini akan menyoroti salah satu dari sekian banyak problematik tentang pengelolaan Sumberdaya Arkeologi di Indonesia yaitu masalah konflik pemanfaatan yang saya anggap penting untuk segera disikapi sebagaimana tuntutan zaman sekarang ini.

Alasan saya memandang penting permasalahan tersebut untuk segera disikapi, karena fakta sosial dilapangan memperlihatkan, bahwa konflik kepentingan seringkali memwarnai upaya pemerintah dalam melakukan pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya arkeologi. Faktor penyebab munculnya konflik tersebut tidak dapat dilihat secara sepihak, karena dilatarbelakangi oleh sejarah sistem pengelolaan warisan budaya selama ini dan beberapa faktor perubahan sosial budaya yang sangat rumit, sehingga solusi pemecahannya pun diperlukan kebijakan ekstra yang tidak mudah. Oleh karena itu, sudah pasti segala kelemahan bahkan mungkin kekeliruan dalam makalah ini merupakan tanggung jawab saya pribadi dan tidak bisa dilimpahkan kepada rekan-rekan yang telah memberikan sumbangan pemikiran yang cukup progresif dalam acara singkat di Trowulan tersebut.


2. Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi di Indonesia Sebuah Refleksi

Sejarah perkembangan arkeologi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pemerintah kolonial, kemudian secara berangsung-angsur diserahkan kepada bangsa Indonesia setelah kemerdekaannya (Suleiman, 1976). Kalau kita berangkat dari waktu terbentuknya Dinas Purbakala yang didirikan oleh Pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1913, maka sudah hampir satu abad, Indonesia memiliki lembaga arkeologi.

Pada usia yang sedemikian renta itu sudah tentu lembaga ini seharusnya telah memasuki tahap perkembangan sebagai disiplin ilmu, yang mampu memberikan manfaat banyak bagi kepentingan masyarakat luas. Namun nampaknya lembaga yang sudah berkali-kali berubah namanya ini, hingga sekarang belum mampu merubah secara konkrit sistem pengelolaan benda cagar budaya sebagai bidang garapannya. Hingga sekarang sistem pengelolaan benda cagar budaya di Indonesia masih kuat terpengaruh oleh warisan dari zaman kolonial.

Dari aspek yuridis misalnya, undang-undang No. 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya yang dirancang oleh para pakar bangsa Indonesia sendiri pada tahun 1990 tidak jauh berbeda dengan Monumenten Ordonnantie 1931 buatan zaman kolonial (Anonim, 1994). Artinya Peranan negara tetap mendominasi sementara hak dan peran inisiatif masyarakat dalam pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya belum mendapatkan kesempatan yang semestinya. Sebagai contoh Bab III pasal 4 ayat 1 dari undang-undang menyatakan bahwa semua benda cagar budaya dikuasai oleh negara. Walaupun peluang untuk memiliki benda cagar budaya masih ada sebagaimana tertuang dalam pasal 6, tetapi hak penguasaan sepenuhnya terletak pada pemerintah. Hal ini juga terdapat dalam pasal-pasal yang lainnya yang lebih menekankan pada kuwajiban masyarakat terhadap benda cagar budaya daripada hak-haknya. Oleh karena fungsi undang-undang sebagai landasan bagi para pengelola sumberdaya arkeologi, maka sebagai akibatnya tanpa disadari para pengemban kepurbakalaan itu lalu menempatkan diri sebagai legislator. Dalam posisi yang demikian ini, kuat mencerminkan kesan bahwa merekalah yang paling berkuasa dan paling berhak sekaligus paling menentukan segala sesuatu yang menyangkut nasib sumberdaya arkeologi (Tanudirjo, 1996, 1998).

Pengelolaan benda cagar budaya atau yang lazim disebut sebagai manajemen suberdaya Arkeologi, merupakan penerapan sistem manajemen yang secara idealis meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengawasan dan pengevaluasian. Semua ini terbungkus dalam format politik, dimana proses pengambilan keputusan berada dalam keseimbangan antara pelestarian di satu pihak dan pencapaian sasaran kesejahteraan masyarakat di pihak lainnya (Fowler, 1982, Plog , 1978, dalam Kusumohartono, 1992: 67).

Pengelolaan benda cagar budaya yang dilaksanakan di Indonesia selama ini baru bersifat penyelamatan (emergency/salvage/rescue) yang di Amerika sudah ditinggalkan sejak tahun 1940-an. Sebagaimana ditekankan Mundardjito (1995:13), tindakan perlindungan benda cagar budaya di negara kita lebih cenderung dilaksanakan setelah tinggalan atau situsnya terancam bahaya, akibatnya tindakan penyelamatan itu tidak memberi peluang besar untuk kegiatan pelestarian dan penelitian. Padahal dewasa ini banyak negara sudah mulai memikirkan dan melakukan aktivitas pelestarian sebelum tinggalan atau situsnya terancam kerusakan serta mengkaitkannya dengan kerangka penelitian arkeologi sebagaimana dipraktekkan dalam kegiatan Cultur Resources Managemen (CRM).

Upaya pelestarian warisan budaya sebenarnya merupakan salah satu wujud kita untuk merepresentasikan karya leluhur masa lampau agar masyarakat sekarang dapat memanfaatkan sesuai dengan “keinginannya”. Paling tidak ada empat aspek utama suatu warisan budaya dapat diapresiasikan kepada masyarakat luas, yakni sebagai benda seni, sebagai sumber ekonomi (untuk kepariwisataan misalnya), sebagai sumber informasi pengetahuan, dan sebagai pemenuhan sosial (Price, 1990). Namun demikian empat aspek itu semua, tidak langsung tersaji begitu saja di dalam suatu warisan budaya. Para pengemban kepurbakalaan harus berupaya keras menggali dan menemukan informasi pengetahuan tersebut.

Di sinilah letak peranan penting arkeologi, karena ilmu ini telah dipandang sebagai satu-satunya ilmu yang mampu menerobos pengetahuan masa lampau sekaligus menyajikannya kepada masyarakat luas. Dalam konteks demikian inilah para pengemban kepurbakalaan atau arkeologi pada umumnya merupakan produsen pengetahuan masa lampau yang diharapkan mampu memenuhi kepentingan-kepentingan konsumen dalam hal ini masyarakat luas. Tetapi sejauh manakah arkeologi sudah memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut? Apakah arkeologi sudah memberikan hak-haknya kepada masyarakat guna mendapatkan informasi pengetahuan budaya masa lampau itu? Sistem pengelolaan sumberdaya arkeologi di Indonesia belum sepenuhnya mengarah pada aspek informatif yang demikian itu. Hasil-hasil penelitian arkeologi misalnya, lebih dapat dinikmati oleh oleh para peneliti sendiri, dari pada oleh mayarakat luas.

Demikian pula masalah pelestarian termasuk pemanfaatan sumberdaya arkeologi, masyarakat jarang terlibatkan bahkan terkesampingkan aspirasinya. Oleh karena tidak heran jika konflik muncul justru setelah benda cagar budaya telah dimasukkan dalam World Haritage List. Tidak dapat disangkal, bahwa pengelolaan sumberdaya arkeologi di Indonesia selama ini merupakan warisan dari masa kolonial yang berkiblat pada arkeologi pemerintah bukan pada arkeologi masyarakat. Hal ini dapat dilihat sebagian terbesar pengemban yang berkiprah dalam pengelolaan benda cagar budaya mulai dari pengajar perguruan tinggi, peneliti dan pelestari adalah pegawai negeri. Dengan posisi yang demikian ini secara tidak langsung pengelolaan benda cagar budaya pasti akan menganut persepsi pemaknaan benda cagar budaya versi pemerintah atau negara. Benda cagar budaya lebih banyak dilihat nilai pentingnya dari segi keilmuan. Pemaknaan formal berlandaskan pada hukum seperti ini sangat berbeda dengan pemaknaan oleh masyarakat luas yang lebih beragam dan pada umumnya bersifat praktis.

Oleh karena itu, bisa dipahami jika konflik pemerintah dengan masyarakat dan bahkan konflik antar pemerintah itu sendiri (pemerintah pusat dan Pemerintah daerah) mudah sekali muncul. Para pengelola benda cagar budaya yang kebanyakan adalah para ahli arkeologi (pegawai negeri), dengan mudah menempatkan diri mereka sebagai legislator. Seakan-akan merekalah yang paling berhak dan berkuasa untuk menetukan nasib sumberdaya arkeologi (Tanudirdjo, 1998). Fakta sosial menjelaskan, bahwa dari dulu hingga kini penelitian-penelitian kepurbakalaan di Indonesia dilakukan oleh lembaga pemerintah. Bahkan yang namanya penelitian (baca ekskavasi) harus dilakukan oleh lembaga pemerintah yang berkomputen, selain itu tidak boleh. Demikian pula, pemanfaatan dan pengembangan benda cagar budaya hampir selalu ditentukan oleh pemerintah dan jarang sekali melibatkan atau memperhatikan aspirasi masyarakat. Maka sebagai akibatnya dapat diduga, konflik kepentingan dalam pemanfaatan benda cagar budaya gampang sekali meletup. Penolakan masyarakat Bali terhadap upaya pemerintah memasukkan Pura Besakih sebagai Benda Cagar Budaya yang dilindungi oleh undang-undang (Tempo, 9 Januari 1993) merupakan contoh nyata betapa kekhawatiran masyarakat terhadap intervensi pemerintah yang bisa mengurangi akses mereka terhadap pura yang diagung-agungkan itu. Demikian pula kasus Sangiran maupun pembangunan Jagad Jawa di sekitar kompleks Candi Borobudur, merupakan akibat dari citra arkeologi (wakil pemerintah) sebagai legislator bukan mediator.


3. CRM Sebagai Manajemen Konflik

Istilah konflik, di dalam bahasa aslinya (conflict) berarti suatu perkelahian, peperangan atau perjuangan (Webster, 1966), yaitu berupa konfrontasi fisik antara dua pihak atau lebih yang saling berseteru. Namun dalam perkembangannya arti kata itu kemudian berkembang dengan masuknya “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain. Di samping konfrontasi fisik itu sendiri, sekarang ini istilah konflik juga menyentuh di berbagai aspek psikologis maupun sosial budaya. Dengan demikian istilah conflict menjadi meluas sehingga beresiko kehilangan statusnya sebagai konsep tunggal.

Namun demikian, dalam dimensi yang lain, sebagaimana sosiolog melihatnya konflik merupakan realitas kehidupan yang tidak dapat dihindarkan. Konflik dapat terjadi jika tujuan masyarakat tidak sejalan, karena berbagai perbedaan pendapat. Dalam kehidupan sekarang ini konflik justru diperlukan, tetapi untuk dihadapi bukan dihindari. Jika konflik dapat diselesaikan tanpa kekerasan, justru kita dapat memperoleh manfaat dari konflik tersebut yaitu salah satunya mendorong ke arah perubahan yang diperlukan (Fisher, et all., 2002: 6). Oleh karena itu konflik justru perlu “dintensifkan”, bukan disembunyikan atau ditekan jika tidak ingin muncul masalah-masalah baru di masa depan.

Perbedaan pandangan dan perbedaan sasaran dan tujuan seringkali dipandang sebagai masalah yang hanya dapat diselesaikan jika semua yang terlibat dalam konflik memiliki maksud yang sama. Suatu konflik dikawatirkan akan berubah menjadi kekerasan jika saluran dialog dan wadah untuk mengungkapkan perbedaan pandangan tidak ada atau tidak memadai. Demikian pula, konflik akan berdampak menjadi radikal jika suara-suara ketidaksepakatan dan keluhan-keluhan yang terpendam tidak didengar. Konflik tidak bisa diselesaikan secara sepihak, tetapi perlu dilihat latar belakang pemunculannya.

Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki atau merasa memiliki, sasaran-sasaran tujuan yang berbeda. Secara global para sosiolog membedakan dua jenis konflik yang masing-masing memiliki sebab yang berbeda dalam pemunculan maupun akibatnya (Soetrisno, 2003: 14 –17). Pertama, konflik yang bersifat destruktif. Konflik ini muncul karena rasa benci antara kelompok satu dengan kelompok lain yang disebabkan oleh berbagai aspek seperti kecemburuan sosial. Dampak dari konflik destruktif ini adalah berupa benturan-benturan pisik yang membawa korban harta bahkan jiwa. Kedua, konflik yang fungsional. Konflik ini muncul karena perbedaan pandangan antara dua kelompok atau lebih tentang suatu masalah yang mereka sama-sama hadapi. Jika konflik ini mampu ditatasi secara bijak, maka akan menghasilkan suatu konsensus baru terhadap berbagai hal yang menjadi sumber munculnya perbedaan pendapat. Bahkan konflik fungsional ini bukan tidak mungkin akan menghasilkan perubahan-perubahan yang bermuara pada perbaikan bersama. Melihat konflik pemanfaatan sumberdaya arkeologi yang akhir-akhir ini sering muncul mewarnai upaya pelestarian, nampaknya dapat dimasukkan dalam kriteria konflik yang kedua, yaitu konflik yang fungsional. Konflik ini jika dapat ditangani secara bijak bukan tidak mungkin akan melahirkan suatu perubahan-perubahan ang menuju je perbaikan. Konflik Sangiran, Borobudur, Pura Besakih, Dieng dll, merupakan konflik pemanfaatan sumberdaya arkeologi yang dilatar-belakangi oleh, perbedaan dalam memaknai sumberdaya arkeologi, sehingga orientasi dan tujuan pemanfaatannya berbeda pula bahkan bertolak belakang. Oleh karena itu menyamakan persepsi atau menyatukan pandagan antar berbagai pihak dalam memaknai sumberdaya arkeologi, merupakan upaya utama dalam mencegah konflik.

Dalam era otonomi daerah sekarang ini konflik pemanfaatan sumberdaya arkeologi mengalami perkembangan sesuai dengan berbagai perubahan yang terjadi. Konflik pembangunan Shopping Street kompleks Candi Borobudur misalnya, muncul akibat perkembangan konflik sebelumnya berupa pembangunan perbelanjaan “Jagat Jawa” yang ditolak rencana pembangunanannya oleh masyarakat dan para pedagang asongan (Kompas, 3 Januari 2003). Konflik ini akan mempengaruhui atau bahkan memunculkan konflik-konflik kecil lainnya antar pedagang asongan di sekitar candi Borobudur. Oleh karena itu, konflik harus dipecahkan dengan metode yang benar dan sesuai dengan berbagai faktor penyebabnya. Salah satu cara pemecahan itu dengan menggunakan metode Analisis Konflik (Prasodjo, 2004).


4. Konflik Pengelolaan SDA Pada Masa Otonomi

Kebijakan otonomi daerah merupakan momentum untuk koreksi atas penafikan kebudayaan sekaligus gerakan budaya untuk menegakan kembali harkat dan martabat komunitas. Otonomi memberikan peluang dalam aktualisasi kebudayaan daerah sebagai indentitas diri komunitasnya. Dalam konteks ini, kebudayaan merupakan “social capital”, ( Dwikardana, 2003) menjadi media perekat kehidupan masyarakat. Dalam era reformasi ini masyarakat sekarang semakin pandai dan memiliki wawasan yang cukup, oleh karena itu tidak heran seringkali mereka bersikap kritis dalam berbagai bidang termasuk bidang pengelolaan sumberdaya budaya. Namun demikian dalam soal pemahaman sumberdaya arkeologi, fakta sosial memperlihatkan bahwa persepsi terhadap sumberdaya arkeologi dewasa ini menampilkan kemungkinan-kemungkinan yang beraneka ragam, antara lain dapat bersifat objektif – kognitif atau afektif – subjektif. Jika persepsi itu berbobot kognitif, maka warisan budaya akan dipersepsikan sebagai “informasi” yang mampu menambah dan memperkaya khazanah kognitif yang sudah dimiliki oleh masyarakat tersebut. Sebaliknya, jika persepsi mengarah pada ekspresivitas, dengan persepsi afektif, maka terdapat kemungkinan warisan budaya cenderung dibesar-besarkan dalam arti dan maknanya (Nimpoena, 1980:29).

Kecenderungan warisan budaya yang seringkali dikatakan sebagai media yang memiliki fungsi dalam menjaga proses pertumbuhan kebudayaan bangsa, ternyata nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat diwariskan secara berbeda. Bahkan suatu warisan budaya memungkinkan tidak diterima dengan senang hati oleh pewarisnya. Dengan perkataan lain warisan budaya dapat dipersepsikan oleh masyarakat sesuai dengan kecenderungan orientasinya. Hal ini sangat membahayakan, karena pada masa otonomi daerah seperti sekarang ini bupati memiliki kekuasaan mutlak dan seakan-akan menjadi “raja kecil” yang berkuasa atas kekayaan dan pengelolaan sumberdaya budaya daerahnya.

UU Nomor 22 tahun 1999, secara jelas memberikan kewenangan pengelolaan sumber daya budaya ke tangan pemerintah daerah, bahkan daerah kabupaten dan kota. Bisa dipastikan daerah-daerah akan menerimanya dengan tangan terbuka. Alasannya sangat sederhana, sumber daya alam dan sumber daya budaya di dalamnya menyimpan nilai ekonomis yang sangat besar. Sementara secara faktual selama 32 tahun pada masa orde baru, situasi politik telah menempatkan daerah-daerah dalam posisi yang sangat rapuh secara ekonomi. Oleh karena itu, pengalihan kewenangan pengelolaan ini akan sangat cepat dibaca sebagai kesempatan oleh daerah-daerah pemilik sumber daya budaya yang kuat sebagai sebuah peluang penopang ekonomi yang besar. Hasrat untuk memacu PAD secara cepat, bisa dengan mudah berakibat pada proses pemusnahan secara segera semua potensi dan sumber daya budaya yang dimiliki oleh suatu daerah, jika tidak didukung oleh sumberdaya manusia yang tidak memadai. Apalagi, dibalik peningkatan PAD kepentingan-kepentingan ekonomi birokrasi dan politisi lokal – misalnya, kepentingan untuk mendapatkan remunerasi atau insentif material yang lebih baik – serta alasan-alasan yang lebih bersifat ideologis – politis misalnya, demi kesejahteraan rakyat daerah atau pun demi pelayanan publik yang lebih baik, menyatu secara sempurna (Lay, 2003: 22 – 23).

Secara legal formal otonomi daerah dirumuskan sebagai kesadaran bahwa Negara Indonesia dibangun oleh lokalitas. Oleh karena itu, ketika kesadaran itu diambil sebagai politik identitas maka akan memberikan makna positif bagi pengembangan kebudayaan, dimana diciptakan ruang-ruang baru untuk proses kreatif. Semangat pembangunan fisik dan sosial budaya di berbagai daerah memperlihatkan bahwa otonomi mampu mensinergikan budaya lokal dan kepentingan ekonomi masyarakat ke dalam kerangka pembangunan otonomi daerah (Dwikardana, 2003). Namun pada aspek lain muncul kekakawatiran dari semangat otonomi yaitu menyangkut hak ekonomis yang menjadikan permasalahan diredukdi pada politik identitas yang ditandai segala sesuatu “ harus orang daerah” sambil mengabaikan profesionalisme. Demikian pula pada aspek lain, otonomi daerah sering ditafsirkan oleh elit birokrasi daerah sebagai pembebasan untuk mengembangkan budaya selaras dengan globalisasi yang konsumtif melalui pembangunan yang mengabaikan pelestarian.

Eksploitasi sumberdaya budaya yang tidak profesional ini memiliki implikasi lanjutan. Sustainabilitas yang menjadi substansi dari pengelolaan sumberdaya budaya akan berada dalam perjudian besar. Dengan perkataan lain, pengalihan kekuasaan secara besar-besaran kepada daerah-daerah untuk mengelola sumberdaya budayanya sendiri, akan dengan cepat menderivasi keuntungan-keuntungan ekonomi jangka pendek yang tidak terbayangkan sebelumnya, akan tetapi akan dibayar secara sangat mahal dalam jangka panjang. Laju eksploitasi suberdaya budaya yang tanpa persiapan matang dan didukung oleh tenaga yang tidak memadai bisa saja akan mencapai suatu fase yang tidak terkendali dan merugikan kita semua.

Salah satu kasus yang menonjol di era otonomi daerah adalah kasus situs Sangiran yang menjadi konflik pemanfaatan antara pemerintah pusat dan Pemda Kabupaten Sragen. Seperti diketahui dengan keluarnya UU Nomor 22 tahun 1999 Pemda Sragen mulai melihat seluruh potensi sumber daya alam maupun sumber daya budaya di wilayahnya termasuk situs sangiran. Kawasan Situs Sangiran seluas 56 Kilometer persegi ini menjadi perhatian Pemda Sragen untuk dijadikan sebagai obyek wisata. Kawasan Situs Sangiran memang sudah sejak lama masyarakat cenderung lebih memiliki orientasi ekonomis. Fosil-fosil itu dimanfaatkan secara subjektif untuk menopang kebutuhan hidupnya. Konflik-konflik perbedaan kepentingan dalam memanfaatkan kawasan Situs Sangiran semakin dipertajam dengan munculnya rencana pengelolaan Situs ini dari pihak Pemda Sragen maupun Pemerintah Daerah Karanganyar. Munculnya bangunan menara Pandang di Desa Pagerejo, Sangiran dan pemanfaatan daerah Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar untuk pembuangan sampah memperlihatkan lemahnya sistem pengelolaan Situs Sangiran sebagai situs dunia selama ini. Dalam penanganan situs dunia ini tidak ada koordinasi – integrasi maupun sinkronisasi di antara berbagai pihak yang merasa memiliki wewenang untuk mengelolannya. Antara keinginan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat bertolak belakang, karena perbedaan persepsi dalam memaknai benda cagar budaya Situs Sangiran.

Konflik pemanfaatan sumberdaya arkeologi pada era otonomi yang tidak kalah pentingnya adalah konflik rencana pembangunan kompleks perbelanjaan “Jagad Jawa” di dekat Candi Borobudur yang diprakasai oleh Pemda Jawa Tengah. Karena rencana ini tidak disetujui oleh masyarakat, maka Pemda merencanakan lain berupa pembangunan Shopping Street di dekat pagar Candi Borobudur. Rencana ini pun mendapat kritik tajam dari berbagai pihak, karena pembangunan Shopping Street ini diperkirakan akan menggeser pagar taman candi ke belakang hingga 30 meter. Sementara konflik Shopping Street belum selesai, konflik lainnya bermunculan setiap saat antara para pedagang asongan dan pramuwisata dengan P T Taman Wisata atau antara pihak pemerintah (pengelola perlindungan ) dengan P T Taman Wisata itu sendiri. Permasalahan candi Borobudur sangat kompleks yang tidak dapat diatasi secara sepihak dan cukup memalukan jika benar ICOMOS dan UNESCO sampai ikut turun tangan ( Kompas, 11 Januari 2002). Namun yang menarik perhatian sekaligus fakta sosial yang muncul adalah justru konflik-konflik ini hadir setelah Borobudur masuk dalam world Heritage. Hal ini mencerminkan betapa rapuh sistem pelestarian warisan budaya di Indonesia.

Konflik pemanfaatan sumberaya arkeologi sebagaimana digambarkan di atas, hanya sebagai contoh yang sebenarnya masih banyak ditemukan di berbagai daerah di kawasan Nusantara ini. Kasus Candi Dieng, konflik terjadi antara Pemda Kabupaten Wonosobo dan Pemda Kabupaten Banjarnegara berkaitan dengan pembagian wewenang dan keuntungan pendapatan hasil pengelolaan kawasan wisata budaya Dieng. Pada tataran yang lebih rendah, konflik terjadi antara petani kentang dengan pemerintah selaku pengemban kepurbakalaan dalam hal ini dengan BP3. Demikian pula penolakan masyarakat ketika Pura Besakih diusulkan sebagai World Heritage. Sebuah konflik lama yang hingga kini tidak terpecahkan adalah konflik di situs Trowulan, bekas kerajaan Majaphit konflik terjadi antara pengemban kepurbakalaan dengan para pembuat bata merah.

Walaupun sangat berbeda baik dalam skala maupun signifikasinya, contoh konflik sebagaimana disinggung di atas memiliki banyak persamaan. Semua menggambarkan konflik antara dua pihak atau lebih yang memperlihatkan situasi masing-masing pihak merasa benar. Masing-masing saling menuntut agar sesuatu tidak diberikan oleh pihak yang lain. Sesuatu itu dapat berupa hak tanah, hak pekerjaan, keamanan, bahkan bermuara ke materi keuangan, dll. Konflik-konflik seperti itu sebenarnya tidak dapat dilihat sebagai kasus yang berdiri sendiri dan tidak dapat dilepaskan pula dari proses melembaganya upaya pelestarian sejak awalnya. Walaupun diakui terdapat unsur-unsur pemicu konflik, khususnya berkaitan dengan perubahan budaya maupun politik seperti munculnya undang-undang otonomi daerah yang dibuat secara tergesa-gesa dan memperkuat kekuasaan bupati. Sayang sekali, kompleksitas permasalahan pelestarian benda cagar budaya akibat perubahan sistem pemerintahan ini tidak cepat ditanggapi oleh para pengemban kebudayaan, khususnya para pengelola kepurbakalaan (Tanudirdjo, 2003: VIII).

Upaya-upaya pemerintah untuk melestarikan benda cagar budaya di kawasan Situs-situs dunia seperti Sangiran, Bobudur, hingga saat ini dapat dikatakan belum berhasil sepenuhnya. Kekurangberhasilan pemerintah dalam mengatasi masalah tersebut di atas, disebabkan pemerintah selama ini lebih menekankan pada cara penegakan hukum (law enforcement) semata, tanpa melihat keinginan-keinginan lain dari aspirasi masyarakat. Akibatnya konflik pun tidak dapat terhindarkan. Sebenarnya konflik seperti itu dapat dihindarkan jika masyarakat setempat selalu dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan sejak dari awal kegiatan, mulai studi kelayakan, pelaksanaan pelestarian, hingga saat pemanfaatannya dan rencana pengembangan di masa depan. Oleh karena itu tidak heran, jika masyarakat Gondangrejo lebih memilih menolak Situs ini sebagai warisan dunia kalau pada akhirnya masyarakat setempat tidak pernah menikmati kesejahteraannya.

Pernyataan penolakan ini tercermin di dalam rapat Daerah Kabupaten Karanganyar, yang menuntut segera dicabut penetapan wilayahnya sebagai kawasan benda cagar budaya. Apabila penetapan tersebut tidak dicabut, dimohon dengan cepat untuk dilakukan penegasan mengenai batas-batas areal yang termasuk dalam Kawasan Benda Cagar Budaya sangiran, atau mempersempit areal daerah benda cagar budaya serta pemberian kompensasi sarana untuk kemajuan pembangunan daerahnya antara lain berupa jaringan irigasi dan jaringan air minum.


5. Perubahan Paradigma

Pengelolaan situs merupakan masalah yang cukup rumit, khususnya pada situs-situs yang menjadi perhatian masyarakat seperti Sangiran, Borobudur, Prambanan dll. Di sini banyak pihak berkepentingan dan belum ada kesepakatan pandangan yang seragam dalam mengelola situs bertaraf dunia ini. Lembaga-lembaga pemerintah yang menangani masalah arkeologi masing masing memiliki program dan dana sendiri-sendiri yang satu sama lain tidak bersinergi. Demikian pula program pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten yang merasa berhak melakukan pengelolaan situs yang berada diwilayahnya, tidak terintegrasi karena masing-masing memiliki tujuan yang berbeda. Hal ini dapat dipahami, pemaknaan terhadap suatu warisan budaya tidak semua orang sama, yang berakibat pada orientasi pemanfaatannya. Tetapi yang harus disadari bahwa warisan budaya itu pada hakekatnya adalah milik masyarakat, bukan milik sejarawan, arkeolog yang lihai mentranformasikan benda menjadi kata. Sebagai pewaris sah masyarakat sudah pasti berhak berhak menikmatinya. Dan bahkan segala sesuatu yang terjadi pada suatu warisan budaya, mestinya harus sepengetahuan (Mc Gimsey dan Davis 1977, Cleree, 1990). dan seirama dengan keinginan-keinginan masyarakat yang bersangkutan, dengan mendasarkan pada aturan-aturan tertentu.

Dalam hubungan dengan pemahaman ini, pengelolaan sumberdaya arkeologi secara ideal adalah pengelolaan yang melibatkan berbagai kepentingan agar situs atau sumberdaya budaya tersebut dapat dirasakan bersama termasuk oleh masyarakat pemilik yang sah tersebut. Sebagaimana disinggung di depan, pengelolaan sumberdaya arkeologi di Indonesia sampai sekarang masih terpengaruh oleh sistem pengelolaan warisan kolonial yang berkiblat pada “arkeologi negara” (archaeology in the service of the state). Dampak dari konsep warisan kolonial ini, para pengemban, pengelola waisan budaya tanpa disadari memposisikan diri sebagai legislator.

Kinerja arkeologi yang menempatkan diri sebagai legislator, pada era reformasi ini diperkirakan tidak akan dapat bertahan lama dalam menghadapi perubahan global. Apalagi di masa otonomi daerah sekarang ini, dimana bupati menjadi penguasa penuh atas kemajuan daerahnya. Benda cagar budaya sebagai aset wisata tidak lepas dari sasaran bidang garapannya untuk tujuan pencapaian devisa daerahnya. Lalu apa yang terjadi, “Konflik pun bermunculan sebagaimana diperlihatkan pada akhir-akhir ini. Dalam konteks demikian inilah berkali-kali Daud Tanudirdjo ( 2000, 2003,2004) menekankan sistem pengelolaan benda cagar budaya perlu segera diubah dari kiblat ‘ arkeologi negara ‘ (archaelogi in the service of the state) menjadi arkeologi untuk masyarakat (public archaeology).

Konsep pelestarian yang berkiblat pada kepentingan masyarakat, menuntut konskwensi yang tidak ringan. Para pengemban kepurbakalaan bukan lagi menjadi abdi negara melainkan abdi masyarakat. Para pengemban kepurbakalaan harus sadar, bahwa aset yang dikelola bukan miliknya, sehingga perlu berpikir panjang untuk membuat kebijakan. Pada aspek lain kuranglah bijak jika kita tetap beranggapan bahwa benda cagar budaya adalah segala-galanya yang mampu mengalahkan kepentingan lain. Dalam kondisinya terpaksa, benda cagar budaya perlu di relakan untuk dikorbankan jika memang untuk kepentingan bersama yang lebih besar, asal informasi budaya telah tercatat dan terdokumentasi. Benda cagar budaya bukan hanya pemerintah saja yang berkepentingan tetapi banyak pihak lain yang juga menghargai dan memanfaatkannya (Layton, 1989).

Dengan demikian, upaya pelestarian haruslah dipandang sebagai pengelolaan sumberdaya budaya secara bijak dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan banyak pihak yang kadang justru bertentangan. Para pengemban kepurbakalaan haruslah mampu menempatkan diri sebagai mediator dalam manjemen konflik pengelolaan benda cagar budaya, yang dituntut menemukan jalan keluar terbaik agar kepentingan berbagai pihak dapat terakomodasi secara bijak. Dalam hubungan dengan hal itu, Mayer – Oakes (1990) menyarankan agar penanggungjawab pelestarian benda cagar budaya, bertindak sebagai steward. Artinya, mereka menyadari kedudukannya hanya sebagai penjaga dan pengelola yang sebenarnya bukan miliknya. Secara profesional, para pengelola harus bertanggungjawab terhadap pemanfaatan dan pelestarian, namun dalam pelaksanaannya harus selalu ingat bahwa aset yang dikelola itu bukan miliknya. Mereka dituntut lebih banyak melihat, mendengar dan merasakan kemauan, kepentigan pemilik sumberdaya itu sendiri. Hanya dengan cara demikian para pengelola benda cagar budaya akan dihargai oleh masyarakat dan tidak sebaliknya malah dicela dan dimusuhi sebagai penguasa yang semena-mena yang pada akhirnya banyak memunculkan konflik.


KEPUSTAKAAN

Anonim, 1993. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1993 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Anonim, 1994. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992, tentang Benda Cagar budaya.

Cleere, Henry F. 1990. Introduction : the rationale of archaeological management, dalam Dalam Henry F. Cleere (ed) Archaeological heritage management in the modern world. London: Unwin-Hyman.

Dwikardana, Sapta. Budaya Dalam Otonomi Daerah. Makalah pada Konggres Kebudayaan V, Bukit Tinggi 20 23 Oktober 2003.

Fowler, D. 1982. Cultural Resource Management, dalam M.B. Schiffer (ed,) Advances in archaeological method and theory, vol. 2. New York : Academic Press.

Fisher, Simon, et al. 2002. Working with Conflict: skill et strategis for Action. London: zed Books Ltd, 7 Cynthia Street.

Layton, R. 1989. Introduction: who needs the past, dalam R. Layton (ed) Who needs the past? London: Unwin Hyman.

Mc. Gimsey, R. And H.A. Davis (eds) 1977. Management of archaeological resources: the airlie House report. Special publication of the society for Amiricn Archaeology.

Nimpoeno, S. John. 1980, “Fungsi Warisan Sebagai Pembentuk Sikap Terhadap Pembangunan”. Dalam Analisis Kebudayaan Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 26–31.

Kohl. P.L dan C. Fawcett, 1995. Nationalism, Politics, and the pratice of Archaeology. London: Cambridge University Press.

Kompas, Ditolak, Pembangunan Jagat Jawa Borobudur. 3 Januari 2003.

Kompas, Tinjau Ulang Kontrak Borobudur, 11 Januari 2003.

Kusumohartono, Bugie. 1992. “Manajemen Sumberdayadaya Budaya, Muatan Penting Dalam Sistem Pendidikan Arkeologi di Indonesia” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VI, di Malang, Jawa Timur.

Mayer-Oakes, William J. 1990. “Science, Service, and stewardship: a basis for the ideal archaeology of the future”. Dalam Henry F. Cleere (ed) Archaeological heritage management in the modern world. London: Unwin-Hyman.

Mundardjito, 1995. “Pendekatan Integratif dan Partisipatif dalam Pelestarian Budaya.” Pidato Pengukuhan sebagai gurubesar madya tetap pada Fakultas Sastra Indonesia, Depok , 7 Oktober 1995.

Prasojo Tjahjono, 2004. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi” bahan diskusi Pelatihan Pengeloloaan Sumberdaya Arkeologi, Trowulan , Mojokerto, Jawa Timur.

Schiffer, M. B. and G.J. Gummerman (ed). 1977. Conservation Archaeology. New York : Academic Press.

Soetrisno, Lukman, 2003. Konflik Sosial, Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Tjidu Press.

Suleiman, S., R. Mulia, N.S. Anggraeni & F.X. Supandi (eds.). 1976. 50 Tahun Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional. Jakarta: Pusat penelitian Arkeologi Nasional.

Tanudirdjo, Daud Aris, 1998 “Arkeologi Pasca-modernisme untuk direnungkan”. Makalah dalam PIA VIII Cipanas.

—————————–. 2000. Reposisi arkeologi dalam era global. Buletin Cagar Budaya, vol. 1 no. 2, Juli 2000 (suplemen). Hlm. 11-26.

——————————, 2003. “Benda Cagar Budaya Milik Siapa,” Kata Pengantar dalam Bambang Sulistyanto, Balung Buto : Warisan Budaya Dunia Dalam Perspektif Masyarakat Sangiran. Yogyakarta: Kunci Ilmu.

—————————–, 2004 “Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi Sebuah Pengantar”, bahan diskusi Pelatihan Pengeloloaan Sumberdaya Arkeologi, Trowulan , Mojokerto, Jawa Timur.


Tinggalkan komentar

Kategori