Dibesarkan Para Penjunjung Tinggi Pengetahuan dan Kebijaksanaan

(Refleksi Hari Jadi Kediri Ke-1219)

Faktor Pendukung dan Tanda Hadirnya Kebudayaan Hindu-Buddha

Bhumi (Wilayah) Kaḍiri merupakan suatu daerah kebudayaan yang luas, meliputi Kediri (Kota dan Kabupaten), Trenggalek, Tulungagung, Blitar, dan Nganjuk (pada masa kolonial disebut Karesidenan Kediri), serta ditambah Kecamatan Ngantang (kini masuk Kabupaten Malang). Keberadaannya di tepi Sungai Brantas serta diapit gunung suci Wilis dan Kampud (Kelud) dengan beberapa sumber mata airnya, dan ditambah abu vulkanik hasil letusan gunung api Kelud telah menjadi faktor pendukung kesuburan tanah di wilayah tersebut (Hardiati dkk, 1990; 2010; Nugroho, 2022). Bukti tertua hadirnya kebudayaan kuna masa Hindu-Buddha, terjadi pada awal abad IX Masehi. Hal tersebut dibuktikan dengan Prasasti Hariñjing dari daerah Kecamatan Kepung-Kediri, bagian pertama (A) diekuvalenkan ke penanggalan Masehi jatuh pada tanggal 25 Maret 804 Masehi (Kini dijadikan tanggal Hari Jadi Kediri) (Atmodjo, 1985). Prasasti tersebut menceritakan tentang seorang Bhagawanta, yaitu pendeta agung berpengetahuan tinggi bernama Bārī membuat dawuhan (bendungan) dengan membuat sudetan sungai di Hariñjing. Kegiatan tersebut merupakan suatu proyek besar (megaproyek) sebagai bukti kecerdasan manusia atau masyarakat Jawa Kuna dalam mengendalikan alam, diperkirakan sebagai usaha penanggulangan bahaya bencana banjir serta peningkatan agraria melalui pembangunan sarana irigasi persawahan.

Prasasti Hariñjing di atas merupakan bukti penanaman pengaruh awal Kerajaan Mataram Kuna di Bhumi Kaḍiri ketika pusat ibukota kerajaan masih berada di Jawa bagian tengah, sebelum menyusulnya pengaruh-pengaruh selanjutnya, yaitu dari masa pemerintahan Śrī Mahārāja Rakai Watukura Dyaḥ Balitung (±898-910 M), Śrī Mahārāja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Śrī Wijayalokanāmostungga (±927–929 M), serta setelah masa perpindahan pusat ibukota Kerajaan Mataram Kuna ke Jawa bagian timur oleh Śrī Mahārāja Siṇḍok (±929-948 M). Ismail Lutfi (Ketua PAEI Komda Jawa Timur), menyatakan bahwa penanaman pengaruh dengan menanamkan atau mengirimkan orang-orang cerdas dan berpengetahuan ke daerah-daerah tersebut, merupakan suatu konsolidasi budaya yang terjadi pada masa Jawa Kuna. Orang-orang cerdas dan berpengetahuan tinggi itu akan mampu membawa pengaruh kekuasaan kerajaan dan kemajuan pada daerah yang dipengaruhinya. Usaha konsolidasi budaya tersebut dilakukan dengan terkonsep sangat rapi melalui kebijakan resmi para raja dalam piagam prasasti beraksara dan berbahasa Jawa Kuna.

Masa Berkembangnya menjadi Peradaban Besar (Abad XI-XII Masehi)

Bhumi Kaḍiri berkembang menjadi suatu peradaban besar sebagai kerajaan terjadi pada abad XI-XII Masehi, yang berpusat di daerah Kabupaten Kediri saat ini. Pada abad XI Masehi, Bhumi Kaḍiri pernah menjadi kekuasaan Śrī Īśāna Dharmawaṃśa Têguh Anantawikramottuṅgadewa (±996-1017 M), yang telah menguasai seluruh daerah kebudayaan abad XI-XII Masehi di sekitar kawasan Gunung Wilis bagian timur dan barat. Kemudian baru terjadi pemisahan secara politik pemerintahan terjadi pada masa pemerintahan Raja Airlangga (1019-1042 Masehi), di mana daerah bagian barat Gunung Wilis hingga abad XII Masehi lebih didominasi oleh keturunan Raja Dharmawangśa Têguh. Kerajaan Kaḍiri mewarisi beberapa tinggalan budaya dari keturunan Dinasti Iśāna (Iśānawangśa), antara lain: artefak miniatur rumah, aksara kuadrat, serta tinggalan budaya yang paling dominan yaitu penulisan karya sastra dalam bentuk puisi Jawa Kuno (kakawin) (Nugroho, 2022).

Karya sastra kakawin merupakan puisi Jawa Kuno sebagai karya intelektual berisi pengetahuan dan kebijaksanaan hasil gubahan dari para cendekiawan istana, atau disebut sang kawi (sang pujangga). Kakawin berisi puji-pujian kebesaran raja pelindung para pujangga beserta kerajaannya. Selain itu, kakawin juga menggambarkan alam pikiran dari penulisnya (sang kawi) serta masyarakat Jawa Kuno yang hidup di zamannya (Sedyawati, 1985; Hardiati dkk, 2010; Zoetmulder, 1974). Lebih jauh lagi, kakawin dari masa Kerajaan Kaḍiri berisi tentang berbagai pengetahuan dan kebijaksanaan yang didalamnya dapat diketahui tentang ilmu siasat dan strategi perang (wyuha), politik dan pemerintahan, kesusilaan, tata upacara keagamaan (yajña), Hakikat Tertinggi atau Kesejatian (Tattwa) untuk menjadi manusia utama (pengetahuan untuk brahmana agung dan raja), serta beberapa pengetahuan dan kebijaksanaan lainnya.

Kakawin paling tua digubah oleh Mpu Kanwa dari masa pemerintahan Raja Airlangga (abad XI Masehi), yaitu Kakawin Arjunawiwāha. Dr. Ninie Soesanti, M.Hum dalam diskusi di Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) pernah menyampaikan bahwa Kakawin Arjunawiwāha merupakan karya intelektual dari Mpu Kanwa, di mana secara tidak langsung sebenarnya merupakan perwujudan dari kehidupan Raja Airlangga pada saat mengasingkan diri, menyusun kekuatan, hingga mampu menegakkan kekuasaannya kembali setelah mengalahkan musuh-musuhnya. Pada naskah kuna tersebut, Raja Airlangga diperwujudkan sebagai figur atau tokoh Arjuna sebagai seorang ksatria utama yang memegang teguh dharmma (kewajiban).

Selanjutnya, tradisi penulisan kakawin yang berkembang pada zaman Kerajaan Kaḍiri telah melahirkan beberapa tokoh-tokoh intelektual para kawi (pujangga) dengan hasil gubahannya dari masing-masing periode pemerintahan rajanya. Para kawi (pujangga) tersebut, antara lain:

1) Mpu Panuluh dan Mpu Sêdah dari masa pemerintahan Raja Jayabhaya (± 1135-1157 Masehi), dengan karyanya yaitu Kakawin Hariwangśa, Kakawin Bhāratayuddha, Kakawin Gaṭotkacaśraya, dan Kakawin Hariwangśa.

2) Mpu Triguṇa dari masa pemeritahan Raja Jayabhaya (± 1135-1157 Masehi), dengan karyanya Kakawin Kṛṣṇāyana.

3) Mpu Dharmaja dari masa pemerintahan Raja Kāmeśwara (± 1182-1185 Masehi), dengan karyanya Kakawin Smaradahana.

4) Mpu Tan Akung yang diperkirakan dari masa pemerintahan Raja Kṛtajaya (±1190-1222 Masehi), dengan karyanya Kakawin Lubdhaka. Kemudian juga terdapat karya sastra dari masa Kerajaan Kaḍiri yang lain yaitu: Pārthayajña (Poerbatjaraka, 1957; Zoetmulder, 1974; Hardiati dkk, 1990).

(Seluruh naskah kuna di atas sudah tersedia dalam bentuk alih-aksara dan terjemahan)

Misalnya, pengetahuan dalam Kakawin Bhāratayuddha menjelaskan terdapat perbandingan antara Prabhu Kresna sebagai kusir perang Arjuna, dengan Raja Salya (Kerajaan Madra) sebagai kusir perang Karna. Prabhu Kresna dengan segala pengetahuan politik dan peperangan yang dimilikinya selalu memberi motivasi serta menguatkan hati Arjuna, sehingga dapat mencapai target dalam perang bhāratayuddha. Sementara itu Raja Salya yang dipaksa untuk menjadi kusir perang Karna, justru malah menjatuhkan semangat dan selalu merendahkan diri Karna dalam perang bhāratayuddha, sehingga menjadikannya seorang ksatria yang kurang percaya diri dan akhirnya kalah dalam medan peperangan bhāratayuddha (Wirjosuparto, 1966). Itulah sedikit pengetahuan yang dapat dipetik dari kakawin hasil gubahan para pujangga (sang kawi) dari Kerajaan Kaḍiri, dan sebenarnya masih banyak lagi pengetahuan dan kebijaksanaan apabila mau menelaahnya satu-persatu dari beberapa kakawin di atas.

Keberadaan beberapa pujangga (sang kawi) beserta hasil-hasil karya sastra puisi Jawa Kuno (kakawin) di atas, merupakan bukti-bukti tersalurkannya gagasan intelektual dalam bentuk karya tulis yang mengandung unsur keindahan (kalangwan), serta dapat dinikmati dalam nyanyian lantunan tembang-tembang kakawin. Berkembangnya penulisan karya sastra tersebut, pastinya juga diimbangi dengan berkembangnya pusat-pusat pendidikan keagamaan (maṇdala) yang di sekitar kawasan Bhumi Kaḍiri (Sedyawati dkk, 1991). Lokasi tersebut saat ini dapat kita ketahui pada goa-goa di Gunung Klotok-Kediri dan Gunung Budheg-Tulungagung, serta diperkirakan beberapa pertapaan di Gunung Kelud (Kampud) dan Kawi.

Warisan Budaya Intelektual Kerajaan Kaḍiri Harus Tetap Dilestarikan

            Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa nenek moyang atau leluhur masyarakat daerah Kediri dan sekitarnya, merupakan orang-orang yang cerdas berintelektual tinggi. Warisan budaya intelektual dengan berpegang teguh pada pengetahuan dan kebijaksanaan harus tetap dilestarikan, yaitu dengan tetap menciptakan orang-orang cerdas berintelektual serta menjaga Daerah Kediri dan sekitarnya sebagai pusat aktivitas pengajaran serta penulisan literasi pengetahuan dan kebijaksanaan. Daerah Kediri juga harus kembali menjadi pusat pelatihan dan pembelajaran para tokoh intelektual, seperti calon raja-raja Singhasari sampai Majapahit sebelum memimpin kerajaan pusat, dilatih terlebih dahulu di Kaḍiri atau Daha. Hal ini juga pernah dialami oleh Gajah Mada selama dua tahun menjadi patih di Daha, sebelum menjabat menjadi Patih Amangkubhumi di Kerajaan Majapahit (Penjelasan Drs. Dwi Cahyono, M.Hum di perkuliahan tahun 2010). Keberadaan Kampung Inggris sangat mendukung pelestarian warisan budaya intelektual, di samping nantinya juga terdapat pusat-pusat pendidikan lainnya di Daerah Kediri. Selanjutnya, konsep konsolidasi warisan budaya dapat diterapkan dalam mendukung program Pemajuan Kebudayaan Nasional.

Kemudian, penulisan karya sastra warisan dari Kerajaan Kaḍiri sebenarnya merupakan jati diri dari suatu wilayah yang kini dikenal dengan Kediri. Namun ke manakah para pujangga dari daerah Kediri saat ini?, dan di manakah karya-karya mereka dapat ditemukan?. Mungkinkah seorang pujangga dari masa kolonial yaitu Tan Khoen Swie (1883-1953) menjadi pujangga Kediri yang terakhir?. Oleh karena itu, sudah saatnya penulisan karya sastra di Daerah Kediri kembali ditradisikan, karena menulis beberapa karya sastra seperti puisi, syair, cerpen, cergam, prosa, dan novel tidak bisa dipaksakan. Namun harus ditradisikan, dalam arti para pujangga terutama akademisi dan sarjana Sastra Indonesia atau Jawa terutama dari Daerah Kediri, harus produktif menulis sastra untuk Daerah Kediri dan bukan hanya mempelajari karya-karya sastra lama. Sempatkanlah menjadi pujangga walau hanya dengan satu puisi atau karya sastra, dan berilah teladan bagi generasi penerus untuk mengembangkan kembali bibit-bibit para pujangga di Daerah Kediri. Kelihatannya cukup sulit, namun itulah sebuah upaya untuk mengembalikan jati diri Kediri sebagai “bhumi pujangga sejuta sastra”.

Mengembalikan jati diri Kediri sebagai negeri pujangga dapat dimulai dari diri sendiri, terutama dari tergugahnya para sastrawan atau pujangga, akademisi dan peneliti sastra, serta komunitas sastra dari Daerah Kediri. Penulis yang berlatar belakang Sejarawan Indonesia Kuno dan epigraf Jawa Kuno, disela-sela waktu penelitian tetap menyempatkan diri untuk menulis puisi dan kini sudah terdapat sekitar 100 puisi berhasil digubah. Pada buku ontologi puisi berjudul “Syair Kelana” terdapat 70 puisi (Nugroho, 2022), salah satunya puisi pujian untuk Daerah Kediri sebagai berikut:

Puisi 002:

Kediri dalam Jati diri

Kediri… Kadhiri

Sang Penyair menyebutmu dalam Śāstra Nagari,

Dari zaman dulu hingga masa kini,

KadhiriRajya putra siniwi rumaksa widhi,

Sang Kawi… mengucap puji sesanti dalam syair nan sakti,

Kadhiribhumi-mu membentang luas dalam cakrâdri,

            Wilis… Pandan… Anjasmara… Kawi… Kelud…

            dan Selatan mengelilingimu,

            Kali Brantas, urat nadi penumbuh peradaban

            maritim-agrarismu,

            Senapati Sarwajala… Sang penjaga kedaulatan perairanmu,

            Samya Haji Katandan Sakapat… Sang penjaga kedaulatan

            wilayahmu,

Kediri… Tetaplah bersemi,

Lahirkan putra-putri terbaik untuk negeri,

Majulah terus di tengah modernisasi,

Peganglah jati diri “kota api” dan bhumi panji,

Keberanian dan cinta, harus selalu tumbuh di dalam hati.

                                                (Yogyakarta, 14 April 2022)

Daftar Pustaka

Atmodjo, S. 1985. Hari Jadi Kediri. Yogyakarta: Lembaga Javanologi.

Hardiati, E.S., Soeroso, Suhadi, M. 1990. “Laporan Penelitian Situs Kepung, Kediri, Jawa Timur”, Berita Penelitian Arkeologi No. 40. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Hardiati, E.S., Djafar H., Soeroso, Ferdinandus, P.E.J., & Nastiti, T.S. 2010. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. (E.S. Hardiati, Ed.). Jakarta: Balai Pustaka.

Nugroho, A.P. 2022. Syair Kelana (F. Khakim, Ed.). Malang: Jagat Litera.

Nugroho, A.P. 2022. ”Makna Struktur Tanda Verbal dan Visual Sistem Penyampaian Ajaran Suci Tattwa (Hakikat Tertinggi) dalam Kācāryan pada Daerah Kebudayaan Abad XI-XII Masehi di Jawa Timur”, Tesis. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, UGM.

Poerbatjaraka. 1957. Kepustakaan Djawa. Djakarta: Djambatan.

Sedyawati, E. 1985. “Pengarcaaan Gaṇesa Masa Kaḍiri dan Siŋhasāri: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian”, Disertasi. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Sedyawati, E., Zainuddin, M., & Wuryantoro, E. 1991. Sejarah Pendidikan di Indonesia Sebelum Kedatangan Bangsa Barat. (A. Gonggong, Ed.). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Wirjosuparto, S. 1966. Kakawin Bharata-yudhha. Djakarta: Bhratara.

Zoetmulder, P.J.  1974. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Panjang. Terj. Dick Handoko S.J. 1985. Jakarta: Djambatan.

Penulis:

A’ang Pambudi Nugroho, S.Pd, M.A.

(Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia [PAEI] Komda D.I. Yogyakarta)

Foto 01: Kunjungan Komunitas Mahija Wengker-Ponorogo

di Punden Slumpang-Magetan pada Bulan September 2021

(Sumber: Komunitas Mahija Wengker-Ponorogo)

Pada bulan lalu tepatnya tanggal 31 Januari 2023, terdengar kabar hilangnya artefak atau benda tinggalan budaya di Punden Slumpang berada di Dusun Slumpang, Desa Sukowidi, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Magetan. Artefak tersebut merupakan bukti penting dari sejarah peradaban kuna di lembah Bengawan Madiun pada masa lalu, terdiri dari: Arca Nandi, Fragmen Cerat Yoni, Sebuah Arca (?), serta Lingga Batu Patok Berinskripsi. Berdasarkan kabar berita dari media online, keempat benda warisan budaya ternyata juga sudah masuk dalam daftar registrasi nasional Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB). Mirisnya lagi, salah satu artefak yang hilang tersebut adalah sebuah batu prasasti berupa lingga batu patok berinskripsi aksara dan bahasa Jawa Kuna. Batu prasasti tersebut merupakan bukti megaproyek pembuatan tanggul di Bengawan Madiun pada zaman Majapahit (abad XIV Masehi).

Penelitian tentang lanskap arkeologi di DAS Bengawan Madiun, sebenarnya sudah pernah dilakukan tahun 2018 oleh tim peneliti dari Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta (sekarang Kantor BRIN Yogyakarta). Pada saat itu penulis masuk dalam tim survei tinggalan arkeologi klasik yang tersebar di DAS (Daerah Aliran Sungai) Bengawan Madiun, dipimpin oleh seorang arkeolog senior bernama Drs. Nurhadi Rangkuti, M.Sc. Pada saat kegiatan survei tersebut, tim survei telah mendata beberapa sumber data artefaktual (arkeologi) dan sumber data tekstual (prasasti) bukti peradaban di sekitar lembah Bengawan Madiun masa Jawa Kuna. Berdasarkan hasil survei tersebut, paling menarik adalah diketahuinya Prasasti Kedungpanji-Magetan yang bertulis “rawuhan grogol 1305” (=Bendungan atau Tanggul Grogol [tahun] 1305 [Śaka/1383 Masehi]) dan berada tidak jauh terdapat sebuah lingga batu patok berinskripsi “grogol 1302” (=Grogol [tahun] 1302 [Śaka/1380 Masehi]). Toponim “Grogol” yang menjadi nama daerah dibangunnya rawuhan (bendungan) tersebut hingga saat ini masih ditemukan di bagian tenggara dari Desa Kedungpanji-Magetan, serta berada di lembah Bengawan Madiun (Nugroho, 2018).

Pada tahun 2018 setelah selesainya penelitian Situs Wurawan-Madiun, sebenarnya masih terdapat beberapa catatan pertanyaan tim survei yang belum dapat terjawab secara langsung. Salah satunya tentang seberapa jauh rawuhan (bendungan atau tanggul) Grogol berdasarkan keberadaan lingga batu patok berinskripsi yang memiliki persamaan bentuk dan karakter di sekitar daerah tersebut. Bendungan atau tanggul (rawuhan) Grogol dapat diketahui merupakan sebuah megaproyek yang dibangun pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk atau Rājasanagara (1350-1389 Masehi) (Nugroho, 2018). Kebijakan politik tersebut sebagai upaya untuk menyelamatkan masyarakat di daerah kekuasaan Kerajaan Majapahit dari bencana banjir karena meluapnya Bengawan Madiun terutama terjadi pada saat musim hujan, serta menjamin kesejahteraan karena persawahan di daerah tersebut dapat terselamatkan sehingga membuat hasil panen para petani dapat melimpah ruah. Pekerjaan besar atau megaproyek tersebut merupakan kebijakan pemimpin daerah Kerajaan Majapahit dalam upaya pengendalian lingkungan untuk penanggulangan bahaya bencana banjir yang dapat menerjang persawahan dan permukiman penduduk sekitarnya, akibat dari meluapnya air dari Bengawan Madiun, terutama terjadi pada musim penghujan. Sebenarnya, peristiwa meluapnya Bengawan Madiun pada masa modern ini juga pernah terjadi pada 26 Desember 2007 (tertulis dalam monumen Prasasti Banjir), Peristiwa bencana alam tersebut telah merendam beberapa desa di Ponorogo.

Kemudian, penulis baru mengetahui informasi tentang terdapatnya temuan lingga batu patok berinskripsi sejenis berada di sebelah utara dari Desa Kedungpanji-Magetan setelah selesainya penelitian tahun 2018, yaitu di Punden Slumpang di Desa Sukawidi-Magetan. Berdasarkan konteks keberadaannya, seharusnya lingga batu patok berinskripsi di Punden Slumpang tersebut bernilai sangat penting untuk penelitian epigrafi Indonesia. Hal ini berhubungan dengan pernah adanya megaproyek pembuatan tanggul di Bengawan Madiun pada sekitar Daerah Magetan yang pernah dilakukan oleh pemimpin daerah dalam periode masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk atau Rājasanagara (1350-1389 Masehi). Pembangunan megaproyek pembuatan bendungan atau tanggul (rawuhan) dalam periode pemerintahan tersebut berdasarkan Prasasti Kusmala (1272 Śaka/ 1350 Masehi) juga pernah dilakukan di Daerah Kediri bagian timur (Nugroho, 2018).

Artefak lingga batu patok (lingga semu) pada masa Jawa Kuna disebut sebagai “watu sīma” yang berarti batu patok atau batas (Darmosoetopo, 2003), atau juga disebut atau “sang hyang watu sīma”. Lingga batu patok berinskripsi dari Punden Slumpang-Magetan bersifat sangat sakral. Batu patok sakral tersebut merupakan tanda daerah suci, karena dalam pembuatan serta penancapannya biasanya dilakukan dengan upacara religi yang disebut dengan istilah “manusuk sīma” (penancapan batu patok). Artefak lingga batu patok (lingga semu) di Punden Slumpang-Magetan berfungsi sebagai tanda untuk mengomunikasikan informasi atau pesan-pesan dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuno dalam kategori tanda dan tulisan (Darmosoetopo, 1986). Hal tersebut berhubungan dengan tanda batas tanah megaproyek pembuatan bendungan atau tanggul (rawuhan) di lembah Bengawan Madiun pada abad XIV Masehi.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat diketahui betapa pentingnya lingga batu patok berinskripsi di Punden Slumpang-Magetan dalam penelitian epigrafi di Indonesia. Karena dari keberadaan artefak lingga batu patok berinskripsi tersebut, kita dapat belajar dari peristiwa masa lalu berhubungan dengan upaya pengendalian lingkungan alam agar tidak membahayakan kehidupan manusia, melalui kebijakan politik dari pemimpin daerah dalam bentuk megaproyek yang dilakukan secara gotong-royong oleh masyarakatnya. Selanjutnya, perlu diketahui bahwa sekecil dan sesingkat apapun tulisan kuna sebagai data epigrafi, merupakan sumber data kesejarahan yang tidak ternilai harganya sebagai dasar rekonstruksi sejarah peradaban di Indonesia, terutama yang berada di sekitar lembah sungai besar, salah satunya Bengawan Madiun. Sebenarnya masih banyak agenda-agenda kegiatan dan pekerjaan penelitian dari para peneliti epigrafi serta arkeologi yang belum selesai dalam waktu dekat, karena keterbatasan sumber data pendukung penelitian. Hal ini terutama berkaitan dengan pengembangan analisis penelitian terhadap tinggalan budaya masa lalu.

            Peristiwa hilangnya sumber data epigrafi bernilai penting di atas, sungguh sangat menyedihkan karena prasasti sekecil dan sesingkat apapun muatan isinya merupakan jiwa peradaban bagi bangsa Indonesia. Semoga dengan memahami nilai penting dari sumber data epigrafi maupun sumber data arkeologi lainnya memberi kesadaran kepada kita untuk menjaga keberadaan tinggalan budaya tersebut yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Semoga peristiwa hilangnya prasasti dan tinggalan budaya bendawi seperti yang terdengar akhir-akhir ini di Malang (Arca Agastya di Kecamatan Ngantang hilang pada Bulan Februari 2023), Magetan (Selain di Punden Slumpang, hilangnya tinggalan budaya di Desa Tapen hilang pada Bulan Maret 2023), Lamongan (Prasasti Pamwatan hilang tahun 2003), serta di beberapa daerah lainnya tidak terulang kembali.

            Marilah kita bersama-sama memiliki kesadaran tinggi dalam menjaga dan melindungi warisan budaya bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya, demi pengembangan ilmu pengetahuan serta memperkuat jati diri sebagai bangsa yang berperadaban tinggi. Semoga dengan selalu menjaga dan melindunginya, selain membantu para peneliti dalam menuntaskan pekerjaannya, juga mampu ikut dalam mewariskan ilmu pengetahuan dari tinggalan budaya tersebut kepada generasi muda. Hal ini sekaligus menyelamatkan pengetahuan dan kebijaksanaan masa lalu sebagai upaya dalam membangun peradaban bangsa Indonesia di masa kini dan mendatang.

Foto 02: Empat Benda Tinggalan Budaya di Punden Slumpang-Magetan

Semuanya Telah Hilang Dicuri Orang

(Sumber: Komunitas Mahija Wengker-Ponorogo)

Daftar Rujukan

Nugroho, A.P. 2018. “Toponim di Sekitar Kawasan Situs Ngurawan-Madiun (Gambaran Lingkungan dan Aspek-aspek Kesejarahannya)”, Bhumi Wurawan. Yogyakarta: Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta.

Darmosoetopo, R. 1986. “Arti dan Fungsi Simbol dalam Masyarakat Jawa Kuna”. Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV . Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Darmosoetopo, R. 2003. Sīma dan Bangunan Suci di Jawa Abad IX-X Masehi. Jogyakarta: Prana Pena.

————————-

Penulis: A’ang Pambudi Nugroho, S.Pd, M.A.

(Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia [PAEI] Komda D.I. Yogyakarta)

Oleh: hurahura | 22 Oktober 2022

Epigrafi Sebagai Garda Terdepan Peradaban Indonesia

Poster kegiatan (Sumber PAEI)

Pada 14-15 Oktober 2022 di Aula Ki Hajar Dewantara, Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Malang telah diselenggarakan Seminar dan Lokakarya Nasional Epigrafi 2022. Kegiatan tersebut atas kerja sama PAEI (Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia) dengan Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang. Tema kegiatan tersebut “Epigrafi sebagai Garda Depan Peradaban Indonesia”. Acara dihadiri oleh para pengurus pusat serta perwakilan dari masing-masing komisariat daerah (Komda) PAEI di Indonesia, beberapa dosen sejarah, serta para peserta seminar dan lokakarya dari mahasiswa dan komunitas pelestari warisan budaya.

Dalam sambutan-sambutan pembukaan acara tersebut, terdapat poin-poin penting yang perlu dicatat untuk pengembangan penelitian epigrafi di Indonesia untuk masa kini dan mendatang. Beberapa poin penting tersebut, antara lain: (1) Penelitian epigrafi berhubungan dengan pemajuan kebudayaan, (2) Penelitian epigrafi membutuhkan kolaborasi multidisiplin ilmu dan kelembagaan, (3) NKRI membutuhkan kajian masa lalu (salah satunya melalui penelitian epigrafi) untuk memperkuat persatuan, (4) Epigrafi untuk menunjang kehidupan di masa depan, (5) Tugas besar para ahli epigrafi Indonesia dalam peluang dan tantangan inovasi metodologi dan teknologi baru, (6) Inventarisasi, dokumentasi, katalogisasi, dan digitalisasi sumber data epigrafi Indonesia, (7) Pelestarian, publikasi, promosi, dan edukasi sumber data dan hasil kajian epigrafi, serta (8) Memahami pengetahuan-pengetahuan yang terkandung dalam prasasti.

Pada rangkaian acara tersebut, Dr. Ninie Soesanti selaku Ketua PAEI Pusat menyampaikan tentang program PAEI jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Program jangka pendek, antara lain: pendataan kepakaran anggota, kerja sama, sosialisasi dan pendampingan, format Diskusi Epigrafi Nusantara (DEN), serta publikasi. Pendataan kepakaran anggota sudah dilakukan pada tahun sebelumnya, bertujuan untuk mengetahui bidang keilmuan dan keahlian para anggota dalam fokus penelitiannya terhadap data epigrafi. Kerja sama yang sudah dilakukan yaitu dengan Komunitas Sigarda dan Universitas Negeri Malang seperti dalam acara seminar dan lokakarya ini. Program sosialisasi dan pendampingan, bertujuan untuk sosialisasi dan edukasi sumber data dan hasil penelitian epigrafi kepada masyarakat. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan pendampingan melalui pengiriman praktisi pengajar dari anggota PAEI pada kegiatan-kegiatan rutin pembelajaran aksara Jawa Kuno yang diselenggarakan oleh komunitas pelestari warisan budaya aksara Jawa Kuno. Melanjutkan format diskusi DEN secara rutin khusus untuk anggota PAEI. Terakhir, berhubungan dengan publikasi dalam acara tersebut telah dibahas tentang penerbitan jurnal “Sambhāṣaṇa”. Berhubungan dengan beberapa program jangka menengah dan jangka panjang PAEI, masih akan dibahas dalam rapat-rapat internal dengan anggota dari masing-masing komda dan pengurus pusat.

Hasil dari seminar dan lokakarya nasional epigrafi di atas, seluruhnya dapat dirangkum sebagai berikut:

“Terdapat banyak fenomena atau gejala dalam penelitian epigrafi yang dibahas dalam pertemuan itu, secara garis besar telah disampaikan oleh Ibu Dr. Ninie Soesanti selaku ketua PAEI Pusat. Penelitian epigrafi sudah tidak lagi hanya berupa alih-aksara dan terjemahan prasasti lama maupun baru semata, melainkan lebih dari itu harus diimbangi dengan pengembangan teori, pendekatan, metode, serta paradigma baru dalam ilmu pengetahuan modern. Selanjutnya, lebih dari itu harus mampu menyesuaikan dan beradaptasi dengan isu-isu penelitian epigrafi, arkeologi, dan sejarah nasional dan internasional. Selain itu, penggunaan dan penguasaan teknologi perekaman atau dokumentasi dan inventarisasi epigrafi juga sangat penting untuk dikembangkan demi menunjang penelitian epigrafi. Oleh karena itu, masih banyak tugas-tugas yang harus dilakukan oleh para ahli epigrafi Indonesia.

Epigrafi sebagai sumber data sejarah, sangat mendukung dalam penelitian sejarah. Hal ini terutama dari masa klasik (Hindu-Buddha) hingga masa kolonial dan pendudukan Jepang, bahkan masa pasca kemerdekaan Indonesia. Mengumpulkan para ahli dalam bidang-bidang tersebut sangat penting dalam memperkokoh pondasi keilmuan epigrafi dan memperkaya hasil penelitiannya.

Peningkatan sumber daya manusia (SDM) epigrafi Indonesia sangat penting dilakukan, mengingat para peneliti epigrafi (epigraf) di Indonesia hingga saat ini masih dalam jumlah yang sangat terbatas. Sementara itu, temuan sumber data epigrafi di Indonesia dari berbagai daerah semakin melimpah dengan bentuk, karakter, beserta varian-variannya. Dukungan tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan berupa pelatihan, workshop, seminar, lokakarya, hingga dorongan atau motivasi untuk studi lanjut dalam jenjang S2 dan S3, serta short course ke luar negeri. Oleh karena itu, para ahli epigrafi yang ada saat ini, diharapkan untuk mempersiapkan diri dalam menerima dan menghadapi tantangan serta peluang tersebut.

Sebagian peserta yang terdiri atas para pakar epigrafi (Sumber: Aang)

Peran para ahli epigrafi Indonesia juga berkaitan dengan sosialisasi dan pendampingan kepada masyarakat. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa selama ini telah banyak komunitas pelestari warisan budaya aksara Jawa Kuno serta aksara lokal di Indonesia. Perlu disadari bahwa beberapa pelopor atau pemateri (tentor) dari agenda-agenda kelas aksara tersebut, kini tergabung menjadi anggota dalam Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) pada masing-masing komda. Dalam mendukung pelestarian aksara Jawa Kuno dan aksara lokal sebagai warisan budaya tak benda (intangible), PAEI sudah saatnya mengambil peran untuk mendukung agenda-agenda kelas aksara Jawa Kuno dan aksara lokal pada beberapa daerah di Indonesia, dengan menugaskan beberapa anggota sebagai praktisi pengajar. Berlangsungnya kelas aksara Jawa Kuno dan aksara lokal tersebut sebagai upaya edukasi warisan budaya kepada masyarakat, serta sebagai bentuk pelayanan PAEI kepada masyarakat atas kebutuhan penggunaan sumber data epigrafi, serta sosialisasi dan publikasi hasil-hasil penelitian epigrafi dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam sosialisasi dan pendampingan tersebut, diharapkan akan tercipta kerja sama dan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) dalam upaya inventarisasi, dokumentasi, penelitian, serta publikasi epigrafi di Indonesia. Selain itu juga dalam rangka memperkuat jaringan antar organisasi atau komunitas epigrafi secara sinkronis dan diakronis. Perlu diketahui, akan banyak agenda dan program-program yang harus dilakukan untuk merealisasikan sosialisasi dan pendampingan ini. Konsep tersebut diharapkan juga akan memperkaya generasi peneliti epigrafi (epigraf) maupun edukator (praktisi pengajar) epigrafi di Indonesia, pada masa kini maupun masa mendatang.

Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) juga mendukung dalam meningkatkan publikasi produk-produk hasil penelitian serta pengembangan dan pemanfaatan sumber data epigrafi. Hal ini seperti publikasi karya tulis ilmiah epigrafi (artikel atau makalah, buku, dan katalog) dan karya kerajinan (kaos, baju, tas, dan lain sebagainya). Publikasi karya tulis dan kerajinan tersebut dalam rangka meningkatkan kesejahteraan finansial dan moril anggota PAEI serta para pembuat karya-karya kerajinan tersebut. Karya tulis dan kerajinan bertema epigrafi tersebut  diharapkan akan berguna untuk mengomunikasikan sumber data epigrafi yang mampu disesuaikan dengan fenomena atau gejala kebudayaan masa kini (populer), sekaligus untuk menjawab peluang dan tantangan dalam mengatasi problematika-problematika yang terjadi pada masa dewasa ini. Hal ini masih berkaitan dengan sebuah tema yang pernah diusung dalam Kongres Epigrafi Nasional 2021 tahun lalu, yaitu ‘Epigrafi untuk Pemajuan Kebudayaan’. Epigrafi menyimpan kekuatan suatu bangsa untuk bangkit dan berkembang seiring dengan kemajuan zaman modern ini.

Demikianlah yang dapat dirangkum dari kegiatan Seminar dan Lokakarya Nasional Epigrafi 2022, beserta FGD Khusus Anggota PAEI dalam rangkaian acara tersebut. Semoga kegiatan ini dapat membawa kemajuan bagi PAEI dan Pemajuan Kebudayaan Indonesia. Sementara itu, adanya segala arahan serta masukan yang berhasil ditampung dalam kegiatan ini menjadi modal untuk pengembangan-pengembangan program dan agenda PAEI pada tahun-tahun yang akan datang. Sekian catatan laporan ini dibuat dan terima kasih”.

Penulis:

A’ang Pambudi Nugroho, S.Pd, M.A.

(Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia [PAEI] Komda D.I. Yogyakarta)

Oleh: hurahura | 4 Januari 2021

Kerja Sama Berbagai Ilmu untuk Membahas Prasasti

Banyak tulisan mengenai prasasti maupun naskah yang di dalamnya menyatakan bahwa penelitian tidak dapat dilakukan secara lebih baik karena pahatan yang hilang, aus ataupun pudar (pada naskah berbahan kain atau kertas) seiring zaman. Tulisan merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah kebudayaan. Berdasar penelitian Casparis di Nusantara, tulisan telah digunakan selama hampir enam belas abad, yang apabila tulisan itu dapat terdokumentasi, disusun ulang semua kerusakan yang ada dengan baik, maka semua itu akan dapat menjadi nilai tambah yang penting dalam penyusunan sejarah peradaban di tempat tulisan tersebut ditemukan. Prasasti adalah benda budaya yang berisi tulisan angka ataupun aksara kuna. Di kalangan ilmuwan di bidangnya, prasasti disebut “inskripsi”, sementara di kalangan orang awam disebut “batu bertulis” atau “batu bersurat”. Pengertian prasasti merujuk pada sumber sejarah yang ditulis di atas batu, logam, kayu dan tanduk dan semua material berbahan keras yang kebanyakan dibuat atas perintah penguasa suatu daerah. Sedangkan benda budaya berisi tulisan yang bermedia daun tal (rontal) dan kertas disebut dengan naskah. Dalam pengertian umum dapat diartikan sebagai peninggalan masa lalu, berupa tulisan yang ditorehkan/dituliskan di atas permukaan benda kasar terutama batu  dan logam sebagai medianya. Torehan pada media keras itu menggunakan alat pahat yang kemungkinan besar terbuat dari besi. Belum ditemukan bukti alat gores ini, akan tetapi dari perbandingan yang dilakukan pada para pemahat batu di Trowulan atau di Muntilan, serta para pemahat logam di Kotagede, Yogyakarta, diketahui bahwa mereka menggunakan alat pahat yang disesuaikan dengan ukuran media maupun besaran huruf  yang akan ditulis.

Menurut Boechari, tugas ahli epigrafi sekarang ini tidak saja meneliti prasasti-prasasti yang belum diterbitkan, tetapi juga meneliti kembali prasasti-prasasti yang baru terbit dalam transkripsi sementara. Langkah berikutnya adalah menerjemahkan prasasti-prasasti tersebut ke dalam bahasa modern sehingga para sarjana yang lain, terutama ahli-ahli sejarah dapat menggunakan keterangan yang terkandung di dalam prasasti-prasasti itu. Masih menurut Boechari, dalam menunaikan tugas tersebut para epigraf banyak menjumpai kesulitan, di antaranya pada prasasti bermedia batu. Tingkat keusangan batu yang tinggi membuat pahatan batu tersebut amat sulit untuk dibaca. Haruslah dilakukan berulang kali pembacaan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan.

Terbaca dan tidak terbaca

Di bidang epigrafi atau pembacaan prasasti, hanya dikenal dua istilah, pahatan terbaca atau pahatan tidak terbaca. Baik untuk pahatan yang “dalam’, “sedang” ataupun “tipis”, selama bekas pahatan tersebut masih membentuk pola tertentu yang langsung dapat diidentifikasikan sebagai aksara atau angka, maka disebut pahatan tersebut bagus dan terbaca. Akan tetapi, meskipun pahatannya “dalam” namun bekas pahatan tersebut tidak membentuk pola tertentu yang langsung dapat diidentifikasikan sebagai aksara, angka ataupun gambar. Meskipun demikian terkadang ada pahatan-pahatan yang membentuk pola tertentu namun memang tidak dapat teridentifikasi sebagai aksara, angka ataupun gambar, maka disebut bahwa pahatan tersebut tidak dapat terbaca. Pahatan aksara di atas prasasti merupakan hasil karya para penulis prasasti atau citralekha. Di dalam memahat prasasti seorang citralekha menggoreskan aksara sesuai dengan kemampuan dan keinginannya, dalam arti tidak ada bentuk yang baku. Dengan demikian ada aksara yang tampak dipahat dengan sangat rapi, tetapi ada pula yang ditulis seakan-akan dalam keadaan tergesa-gesa.

Kerusakan yang terjadi dapat secara garis besar diakibatkan oleh dua alasan utama. Pertama, kerusakan akibat alam yang dibagi lagi menjadi kerusakan fisik seperti adanya gunung meletus, banjir, gempa bumi dan cuaca ataupun kerusakan biologis seperti akibat jamur, ganggang ataupun lumut. Kerusakan kedua diakibatkan oleh ulah manusia baik yang dilakukan secara sengaja seperti karena adanya perang, sengaja dihapus atau bahkan dirusak/dihancurkan karena dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Ataupun kerusakan yang tidak disengaja seperti ketika para pekerja menemukan sebuah batu besar yang mengganggu pembangunan jalan maka batu itu dipecahkan hingga menjadi beberapa bagian. Atau contoh lain penutupan pahatan batu karena lapisan cat atau kapur dengan maksud untuk memperjelas pahatan yang malah mengakibatkan tertutupnya pahatan batu. Pemeliharaan yang tidak sesuai kaidah juga membuat bekas pahatan menjadi tipis bahkan rata seperti yang terjadi pada Prasasti Plumpungan, Salatiga. Oleh penduduk dengan maksud membersihkan agar terbebas dari lumut, jamur dan kotoran lain, prasasti ini selalu digosok dengan kawat besi yang membuat kotoran hilang namun juga menjadikan pahatan yang ada semakin tipis dan rata dengan permukaan batu. Penanganan yang keliru atas batu prasasti ketika ditemukan dan atau dipindah juga dapat menyebabkan kerusakan pahatan batu yang ada.

Prasasti terutama batu yang rusak secara fisik pada umumnya dikarenakan kerusakan akibat cuaca dan kerusakan akibat pahatan awal yang memang tipis, sehingga seiring waktu pahatan itu menjadi semakin tipis dan tinggal menyisakan bekas guratan. Hal ini semakin diperparah dengan kenyataan di lapangan bahwa kebanyakan prasasti batu yang masih berada di lokasi aslinya (in-situ) tidak diberi pengaman atap, sehingga cuaca panas dan hujan menambah kerusakan ini. Bekas guratan itu meskipun masih dapat dilihat mata namun sangat sulit untuk dapat dibaca dengan baik. Contoh dari prasasti berbahan batu yang rusak itu dapat dilihat pada gambar 1.1.

Gambar 1.1 A. Kerusakan karena sudut pahatan yang melebar. B. Kerusakan karena kedalaman pahatan yang menipis. C. Kerusakan karena pecah

Pada masa lalu, pencatatan prasasti menggunakan cara-cara yang sangat sederhana. Membuat cetakan negatif dari kertas (absklat), membuat cetakan positif dari kertas (rubbing) atau menulis langsung bentuk huruf/goresan yang ada pada batu (facsimile). Hasil yang didapat dengan pencatatan melalui cara ini sungguh sangat tergantung pada keahlian masing- masing pelaku pencatatan. Di samping itu, pencatatan atau pendokumentasian prasasti dengan cara-cara seperti yang telah disebutkan di muka sangat memakan waktu ketika dilakukan di lapangan. Cuaca juga menjadi kendala lain ketika melakukan hal tersebut terutama di musim penghujan. Hasil pendokumentasian yang tidak standar serta waktu yang lama untuk mendapatkan hasil yang diharapkan menjadi kelemahan yang meskipun sudah disadari namun belum banyak dilakukan usaha untuk mengatasinya.  Gambar 1.2. memperlihatkan cara dan hasil yang didapat dari masing masing pencatatan prasasti itu.

Gambar. 1.2. A. Teknik Absklat, B. Teknik Rubbing, C. Teknik Facsimile

Terdapat satu cara lain dalam mendokumentasikan naskah atau prasasti dengan metode yang lebih maju, yakni dengan foto. Melalui foto maka pendokumentasian sebuah benda cagar budaya terutama prasasti dapat menjadi lebih cepat dan akurat. Akan tetapi cara ini membutuhkan peralatan tambahan yang masih cukup mahal dan tidak dapat digunakan oleh banyak orang pada masa lalu. Dalam perkembangannya sampai sekarang ini, peralatan dan teknologi foto menjadi semakin mudah didapat dengan harga yang terjangkau dan penggunaannya pun semakin luas di masyarakat. Pendokumentasian benda budaya terutama prasasti tidak lagi menjadi sebuah kebutuhan bagi instansi terkait dalam bidang budaya saja, namun sudah meluas ke segala lapisan masyarakat. Dengan pendokumentasian melalui foto maka usaha untuk membaca prasasti itu tidak lagi menjadi kendala dari sisi tempat dan waktu, namun belum banyak yang bisa dilakukan untuk lebih memperjelas sebuah prasasti – terutama untuk prasasti yang pahatannya tipis atau aus-, menjadi lebih baik lagi untuk dapat dibaca. Beberapa hal yang sudah dilakukan adalah dengan menggunakan aplikasi pengolah gambar yang umum seperti photoshop. Akan tetapi hasil yang didapatkan juga belum maksimal.

Ada upaya pendokumentasian lain melalui foto yang hasilnya relatif dapat diharapkan untuk memperjelas pahatan yang ada dalam batu prasasti tersebut. Cara itu adalah dengan upaya merekonstruksi, mendeteksi dan mengenali pahatan prasasti berbahan batu secara tiga dimensi menggunakan teknik fotogrametri. Menurut KBBI, rekonstruksi adalah pengembalian sesuatu ke tempatnya yang semula, penyusunan atau penggambaran kembali dari bahan-bahan yang ada dan disusun kembali sebagaimana adanya atau kejadian semula. Metode fotogrametri umumnya menggunakan minimal dua gambar dari adegan statis yang sama atau objek yang diperoleh dari sudut pandang yang berbeda. Hal ini mirip dengan penglihatan manusia, jika suatu objek terlihat dalam setidaknya dua gambar (yang disebut paralaks), maka memungkinkan pandangan stereoskopis dan derivasi informasi 3D dari pemandangan yang terlihat di area gambar yang tumpang tindih. Cara ini sebenarnya telah dikenal luas oleh peneliti dari bidang ilmu yang lain, akan tetapi entah mengapa metode ini sepengetahuan penulis, penggunaan bantuan teknologi komputasi untuk bidang Arkeologi terutama epigrafi (pembacaan aksara kuno) di Indonesia masih sangat kurang. Sebagian besar bantuan teknologi komputasi yang telah ada lebih mengarah pada reka ulang bangunan, artefak atau bentuk pahatan relief yang ada pada bangunan candi yang itupun dilakukan oleh peneliti dari bidang lain. Banyak peneliti dari luar negeri diketahui telah melakukan penelitian atas pahatan-pahatan pada batu, baik yang berupa relief (pahatan dua atau tiga dimensi) maupun pahatan aksara dengan bantuan teknik fotogrametri. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan teknik fotogrametri merupakan hal yang sangat membantu untuk penelitian bekas pahatan pada batu. Bahkan hasil penelitian Sapirstein dkk berhasil memecahkan masalah atas sebuah debat panjang selama 150 tahun dengan bantuan teknik fotogrametri ini.

Fotogrametri adalah sebuah proses untuk memperoleh informasi metris mengenai sebuah objek melalui pengukuran yang dibuat pada hasil foto, baik dari udara maupun dari permukaan tanah. Hasil yang didapatkan adalah Bentuk 3D yang memiliki ukuran vektor tertentu. Pada umumnya penggunaan fotogrametri ini adalah untuk pengukuran bentang lahan guna pemetaan dan semacamnya. Akan tetapi dalam perkembangannya banyak pula digunakan untuk maksud yang lain.

Diharapkan dengan cara-cara terukur dengan baik serta meminimalisasi perlakuan fisik terhadap prasasti (non invasive), maka akan dapat dihasilkan sebuah pendokumentasian yang baik dan dengan kemungkinan keterbacaan prasasti yang lebih baik. Untuk jangka panjang diharapkan akan ada usaha pendokumentasikan prasasti secara digital dalam bentuk 3 dimensi dengan akurasi yang optimal yang disertai dengan penyempurnaan metode. Apabila hal ini dapat dilakukan maka akan dimungkinkan melakukan restorasi digital dan duplikasi 3 dimensi untuk kepentingan penelitian dan pameran.

Beberapa hasil yang didapat dari pendokumentasian benda budaya berupa tulisan itu di antaranya adalah seperti terlihat pada gambar sebagai berikut

Penggunaan Artificial Intelegence atau kecerdasan buatan juga sudah mulai digunakan untuk membuat sebuah pembacaan prasasti dan naskah menjadi relatif lebih cepat. Terdapat sebuah metode YOLO (You Only Look Once) yakni sebuah metode pendekatan untuk object detection yang dikembangkan oleh Josept Redmon, dkk. Ide dari object detection dilatarbelakangi oleh pandangan sekilas manusia yang dapat mengenali gambar/objek dengan instan, mengetahui apa gambar tersebut dan dimana lokasinya. Dengan menggunakan YOLO, kita hanya melihat sekali pada gambar untuk memprediksi objek apa yang ada dan di mana posisinya.

Sangat mungkin penggunaan komputasi ini masih mengalami kekurangan, akan tetapi dengan kerja sama lintas ilmu maka bukan tidak mungkin bahwa ke depan akan semakin banyak peneliti arkeologi yang mulai tertarik dengan dunia epigrafi. Analisis intern dalam hal ini mengenai bahasa dan tata bahasanya dapat dikerjakan secara bersama antara ahli ilmu komputer, ahli Bahasa, dan para epigraf.

*Dari berbagai sumber/Goenawan A. Sambodo

Tinggalan budaya di Pulau Mas Kawin yang juga disebut Pulau Penyengat (Foto: Disbudpar Tanjung Pinang)

Sebagian besar dari kita pasti pernah mendengar nama gurindam 12, Raja Ali Haji, atau Pulau Penyengat. Gurindam 12 merupakan puisi Melayu lama karya Raja Ali Haji, seorang sastrawan dari Pulau Penyengat. Nah, begitulah lengkapnya. Pulau Penyengat terletak di Provinsi Kepulauan Riau sekarang. Jaraknya tidak begitu jauh dari daratan. Kita mungkin dipandang belum ke Kepri, Kepulauan Riau, bila belum ke Pulau Penyengat. Baca Selengkapnya..
Oleh: hurahura | 12 Juni 2020

Konflik Kepentingan Arkeologi

Sejak ditutup sementara pada Maret lalu, kompleks Candi Muaro Jambi menjadi sepi. Namun, para juru pelihara tetap bertahan merawat situs. Setiap hari mereka membersihkan dinding candi dari jamur dan lumut, seperti tampak pada Selasa (19/5/2020).

 

Kompas.id, 10 Juni 2020 – Arkeologi memang dunia ”unik” dan ”penuh misteri”. Kita masih belum tahu apa saja yang masih tersimpan di dalam tanah. Yang jelas, masyarakat awam dan pemerintah harus peduli tinggalan budaya nenek moyang.

  Baca Selengkapnya..

Oleh: hurahura | 17 November 2019

Arkeologi sebagai Pembawa Kebijaksanaan*

 
 

Candi Plaosan ada unsur Hindu dan Buddha (Foto: BPCB Jawa Tengah)

Manusia hanya akan menjadi ‘monster’ jika di dalam kehidupannya tidak ada kebijaksanaan. Terdapat potensi melukai dan membunuh, karena tidak bisa menerima keberagaman dan menganggap keyakinannyalah yang paling benar. Dominasi fanatisme yang mampu mengikis kemanusiaan adalah penyebabnya. Selain terbentuk karena fanatisme, ada juga manusia ‘berperut besar’ yang senantiasa mengeksploitasi alam dan sesama manusia. Manusia semacam itu memiliki nalar dan sensitivitas yang rendah, tetapi memiliki kerakusan yang tinggi. Akibatnya, rusaknya lingkungan alam dan penderitaan manusia yang dieksploitasi, tidak dipedulikan. Karena itu, kebijaksanaan adalah hal penting untuk kehidupan manusia, supaya semua kondisi yang buruk itu dapat dihentikan. Baca Selengkapnya..

Oleh: hurahura | 6 November 2019

Menempatkan Arkeologi dalam Rangka Pembebasan

Ilustrasi: ekskavasi situs Tondowongso (Foto: Antara/Prasetia Fauzani)

Penafsiran data dan publikasi arkeologis yang ada, secara tak langsung membentuk klaim dan pemahaman bahwa bangsa Indonesia dahulu adalah bangsa yang besar dan banyak pencapaian. Sebagaimana yang sering diungkapkan, tinggalan arkeologis menunjukan bahwa bangsa Indonesia memiliki teknologi kemaritiman yang canggih pada masa prasejarah dan masa klasik.  Toleransi juga terjadi di masa lampau, sebagaimana yang ditunjukan dalam peninggalan Kerajaan Majapahit. Selain itu, akulturasi yang diwujudkan dalam arsitektur bangunan, menunjukan kearifan dan kekayaan spiritual bangsa Indonesia di masa lampau. Kesimpulan-kesimpulan semacam itu mudah kita temukan dalam tulisan arkeologis belakangan ini.

Baca Selengkapnya..


Aang-04
PENDAHULUAN

Candi Plaosan merupakan kompleks percandian besar dan luas yang memiliki latar keagamaan Buddha. Secara umum percandian ini kini terbagi dalam dua kompleks, yaitu kompleks Candi Plaosan Lor dan kompleks Candi Plaosan Kidul. Keberadaan kompleks percandian ini yaitu di sebelah timur dari Candi Prambanan dan Candi Sewu, tepatnya di Dusun Plaosan, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten-Jawa Tengah. Seperti yang sudah diketahui secara umum, bahwa kompleks percandian ini merupakan peninggalan dari masa Mātaram Kuno. Kompleks percandian ini diperkirakan dibangun pada pertengahan abad VIII Masehi (Utomo, 2010). Antara kedua kompleks percandian tersebut, yang paling banyak menjadi objek penelitian serta paling banyak dikunjungi oleh para wisatawan adalah Kompleks Percandian Plaosan Lor.

Baca Selengkapnya..

Oleh: hurahura | 16 Agustus 2018

Arca Ganesha Ditemukan Terjungkal di Jurang

Gepolo-03Salah satu bagian arca yang terpisah, bandingkan dengan tinggi manusia (Foto-foto: Dokumentasi Kandang Kebo)

Blusukan spontan Kandang Kebo dengan tema “Ekspedisi Kandang Kebo: Penelusuran Ganesha Raksasa yang Hilang” pada 15 Agustus 2018 di daerah  Civa Plateau membuahkan hasil menggembirakan. Kandang Kebo adalah sebuah komunitas pencinta warisan budaya. Ketika itu beberapa blusuker menuruni tebing terjal. “Kemiringan tebing mencapai 90 derajat, sementara kami hanya membawa perlengkapan seadanya,” kata Yoan, anggota tim.

Baca Selengkapnya..

Disertasi-etty-01

Disertasi Etty Saringendyanti (Foto: istimewa)

Pengajar Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran, Etty Saringendyanti, Kamis, 9 Agustus 2018 berhasil mempertahankan disertasi berjudul “Sunda Wiwitan di Tatar Sunda pada Abad V – Awal XXI: Perspektif Historis-Arkeologis” di Universitas Padjadjaran. Ia dipromotori Prof. Dr. Nina Herlina, MS, Dr. Mumuh Muhsin Zakaria, M. Hum, dan Dr. Dade Mahzuni, M.Si. Disertasi tersebut mengkaji tiga subyek, yakni Agama Lokal, Sunda Wiwitan, dan Jati Sunda.

Baca Selengkapnya..

Oleh: hurahura | 5 Juli 2018

Pelibatan Publik dalam Arkeologi

SinauuuSinau aksara dan bedah prasasti oleh KPBMI (Foto: Djulianto Susantio)

Akhir Maret 2018 dan akhir Mei 2018, Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia menyelenggarakan ”Sinau Aksara dan Bedah Prasasti”. Yang pertama tentang aksara Pallawa dan yang kedua tentang aksara Jawa kuno. Ternyata masyarakat awam yang berminat mengikuti kegiatan sinau aksara sungguh luar biasa. Begitu dibuka pendaftaran lewat media sosial, dalam beberapa jam saja jumlah pendaftar lewat Google Form mencapai 400-an. Kalau tidak dihentikan, pasti lebih banyak dari itu.

Baca Selengkapnya..

Jalatunda-liputan6Warga mengambil air yang memancur dari Petirtaan Jolotundo di Trawas, Mojokerto, Jawa Timur (Zainul Arifin/Liputan6.com)


/1/ Pengantar

Bersama dengan kitab Ramayana, Mahabharata adalah kitab epos dari India yang dikenal meluas di Nusantara dan Asia Tenggara. Di kepulauan Nusantara kedua kisah itu diapresiasi oleh masyarakat hingga sekarang, terutama di wilayah-wilayah yang pernah dipengaruhi budaya India secara mendalam, yaitu di Jawa dan Bali. Kedua kitab tersebut sebenarnya tergolong kitab keagamaan yang mengisahkan kepahlawanan tokoh-tokohnya yang sesungguhnya adalah jelmaan dewa, atau pengejawantahan dewa-dewa di alam dunia nyata, alam manusia.

Baca Selengkapnya..

Oleh: hurahura | 25 Maret 2018

Masyarakat Bali dalam Menjaga Warisan Budaya

WiradharmaPemeliharaan  Prasasti Bantiran oleh masyarakat Desa Bantiran (Dokumentasi Pribadi, 2017)

Umumnya masyarakat Bali mempunyai kesadaran tinggi tentang masa lampaunya. Hal ini terbukti dengan adanya kepercayaan yang kuat terhadap cikal bakal keluarga atau kawitan tereh yang sering kali dikaitkan dengan identitas keluarga atau kelompok (Ardika, 1995).

Baca Selengkapnya..

 

Manik-1Buku karya Nasruddin dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Manik-manik merupakan benda tinggalan hasil kebudayaan manusia yang ditemukan secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Manik-manik bisa berbentuk bulat, persegi atau lonjong yang pada bagian tengahnya sengaja  diberi lubang agar bisa dirangkai menjadi perhiasan (kalung, gelang, dan lain lain). Bahan pembuatan manik-manik beraneka ragam, tergantung dari zaman pembuatannya. Pada masa awal manusia mengenal manik-manik, mereka membuatnya dari batu atau tulang kecil yang langsung dilubangi begitu saja. Perkembangan berikutnya adalah membuat manik-manik dengan menghaluskan batu menjadi bentuk yang presisi. Pada sekitar zaman batu baru, manusia menggunakan tanah liat yang dikeringkan dan terkadang diberi ukiran/gambar untuk dijadikan manik-manik.

Baca Selengkapnya..

Older Posts »

Kategori