Oleh: hurahura | 13 Oktober 2017

Filosofi Kain Gringsing bagi Masyarakat Bali Aga di Desa Tenganan Pegringsingan

Gringsing-01

Kain Gringsing (Foto: Bella)

Bali Aga merupakan sebutan untuk masyarakat keturunan orang Bali asli yang belum mendapat pengaruh Majapahit dan belum tercampur oleh klen lain. Sistem pemerintahan desa adat Tenganan diatur dalam aweg-aweg desa yang wajib ditaati oleh seluruh masyarakat desa adat. Aweg-aweg mengatur kehidupan masyarakat Bali Aga, Desa Tenganan Pegringsingan, sesuai konsep Tri Hita Karana. Ini dimaksudkan agar dalam kehidupan masyarakat terwujud keselarasan dan keharmonisan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam serta hubungan antara manusia dan manusia lainnya.

Menurut Ibu Suastika, masyarakat Tenganan Pegringsing adalah masyarakat Bali yang memiliki budaya dan tradisi yang luar biasa. Bahkan, setiap tradisi yang dilakukan mengandung makna filosofis kehidupan yang mendalam. Budaya masyarakat Tenganan yang terkenal adalah budaya membuat kain Gringsing. Kain itu digunakan pada setiap upacara adat maupun upacara keagamaan. Tradisi ini tetap bertahan hingga sekarang.


Disakralkan

Kain Gringsing merupakan kain yang disakralkan oleh masyakarat Tenganan Pegringsingan. Gringsing berasal dari kata gring yang artinya sakit dan sing yang artinya tidak. Jadi gringsing berarti ‘tidak sakit’ atau terhindar dari sakit. Kain Gringsing mengandung makna sebagai penolak bala, yaitu mengusir penyakit yang bersifat jasmani maupun rohani. Masyarakat percaya bahwa kain Gringsing memiliki kekuatan magis yang dapat melindungi mereka dari musibah sakit.

Kain Gringsing memiliki tiga komponen warna, yaitu kuning, merah, dan hitam. Semua teknik pewarnaan dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan hasil alam di sekitar Desa Tenganan Pegringsingan. Warna kuning didapatkan dari percampuran minyak kemiri, warna merah didapatkan dari kulit kayu mengkudu, serta warna hitam didapatkan dari percampuran daun indogi yang menghasilkan warna biru lalu dicampurkan dengan warna merah.

Menurut Bapak Kelian Adat Desa Tenganan, adanya tiga warna tersebut memiliki makna filosofis bagi masyarakat Tenganan Pegringsingan. Ia menuturkan, masyarakat mempercayai apa pun yang ada di dunia ini memiliki makna dan tujuan penciptaan tersendiri, sama seperti kain Gringsing yang memiliki makna penting bagi masyarakat Tenganan Pegringsingan. Warna kuning pada kain Gringsing melambangkan angin yang mengandung oksigen untuk kehidupan manusia, jadi alam raya yang banyak menghasilkan oksigen dari tumbuhannya harus dijaga dengan baik untuk kelangsungan hidup umat manusia. Warna merah melambangkan api yang merupakan panas bumi yang memberi energi dan kehidupan di muka bumi. Warna hitam melambangkan air yang memberi penghidupan untuk seluruh makhluk di muka bumi.

Selain simbol dan pemaknaan kain sebagai angin, api, dan air. Masyarakat Tenganan Pegringsingan meyakini warna pada kain Gringsing menyimbolkan Trimurti dalam agama Hindu. Warna merah melambangkan Brahma sebagai pencipta, warna hitam melambangkan Wisnu sebagai pemelihara, dan warna merah melambangkan Siwa sebagai pelebur. Diharapkan orang-orang yang mengenakan kain Gringsing selalu mengingat dan memposisikan Tuhan sebagai prioritas utama di dalam dirinya serta selalu bersifat rendah hati karena manusia hanyalah komponen kecil dari penciptaan semesta.

Masyarakat Tenganan mengenakan kain Gringsing dalam setiap upacara adat maupun upacara keagamaan. Fungsi dan makna kain begitu penting dalam kehidupan masyarakat. Kain Gringsing menjadi cerminan perjalanan kehidupan masyarakat Tenganan. Bagi masyarakat Tenganan, kain Gringsing memiliki nilai sakral sebagai simbol keselarasan hidup serta sebagai penghormatan kepada leluhur yang telah mewariskan budaya kain tersebut.

Ada hal yang lebih penting dari kain Gringsing, yaitu sebuah mahakarya yang indah dibalik keterbatasan dan kesederhanaan leluhur di masa lalu. Masyarakat Tenganan percaya, mempertahankan dan melestarikan kain Gringsing merupakan salah satu bentuk penghormatan agung kepada leluhur. Mereka juga meyakini bahwa pemahaman makna filosofis yang mendalam akan menjadi pengingat bagi masyarakat Tenganan agar selalu menjaga keselarasan hidup untuk mencapai kebahagiaan sesuai konsep Tri Hita Karana.***

Penulis: Bella Fresti Widiyanti, Jurusan Arkeologi Universitas Udayana
fresti.bella@gmail.com


Tinggalkan komentar

Kategori