Oleh: hurahura | 12 Juli 2013

Tinjauan Ulang tentang Prasasti Dinoyo II Tahun 820 Saka

Oleh: Suwardono
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang

Abstrak: Prasasti Dinoyo II merupakan prasasti tertua ke tiga di Malang setelah prasasti Dinoyo tahun 760 M dan Balingawan tahun 813 saka. Merupakan prasasti yang memuat dua pertanggalan. Pertama bertanggal 8 paro terang hari WA U WR bulan Magha tahun 773 saka, yang equivalen dengan 15 Januari 851 M, dan yang kedua bertanggal 8 paro gelap hari MA U A bulan Srawana tahun 820 saka, equivalen dengan 2 Juli 898 M. Dengan demikian prasasti ini dapat disebut sebagai prasasti Dinoyo II A dan prasasti Dinoyo II B. Diterbitkan untuk memperingati sebidang sawah yang diwariskan kepada dang hyang guru Candik. Peristiwa tersebut berlangsung pada masa awal pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung dari kerajaan Medang di Jawa Tengah (Matram kuna), yang mulai memerintah tahun 820 saka. Prasasti dikeluarkan bukan oleh raja, perdana menteri, atau pejabat kerajaan, tetapi dikeluarkan oleh seorang yang bergelar dang hwan (sang penggembala yang terhormat) yang dermawan dari wilayah Hujung.

Kata Kunci: Prasasti Dinoyo II, Dang Hwan, Hujung.

Abstract: The Dinoyo Inscription II is the 3rd oldest in Malang after the 1st Dinoyo inscription year 760 AD and Balingawan in 813 saka. This inscription has two dates. Firstly, 8 paro terang, day WA U WR, month Magha, in year 773 saka, it’s equivalent with Januari 15th 851 AD, and secondly 8 paro gelap day MA U A, month Srawana, in 820 saka, and this one is equivalent with July 2nd 898 AD. It means, this inscription may called as Dinoyo inscription part two – A and part two – B. Made to remember a rice field which is a gift for dang hyang guru Candik. It was happened in the beginning of Rakai Watukara Dyah Balitung’s leadership of Medang kingdom in the center of java (Mataram Kuna), who start to lead the Kingdom in 820 saka. This inscription not exactly made by the King, the minister, or another kingdom’s official, but from who was called dang hwan (the honourable shepherd) the generous one from Hujung teritory.

Key words: Dinoyo Inscription II, Dang Hwan, Hujung.


Pendahuluan

Pada pertengahan tahun 1985 di kelurahan Dinoyo kecamatan Lowokwaru (waktu itu masih wilayah kecamatan Klojen kotamadya Malang), tepatnya di timur pertigaan antara Jl. Gajayana dengan Jl. MT. Haryono, ditemukan orang sebuah batu prasasti. Penemuan yang tak terduga tersebut disebabkan oleh adanya proyek penggalian gorong-gorong di sepanjang sisi barat badan jalan MT. Haryono. Peenggalian tanah di pinggir sepanjang jalan itulah, pada posisi ± 15 m arah selatan pertigaan, dalam kedalaman sekitar 80 cm, alat penggalian tukang tiba-tiba menghantam sebongkah batu besar yang posisinya menghalangi jalur rencana gorong-gorong. Dengan tidak berpikir panjang batu besar tersebut dipukul dengan palu sekuatnya untuk dihancurkan. Ketika batu dapat dihancurkan setengahnya, pecahan dan serpihan-serpihan batu diangkat ke permukaan, barulah diketahui bahwa batu tersebut memuat tulisan, yaitu sebuah prasasti. Akhirnya penanggung jawab proyek melaporkan kondisi batu berprasasti yang sebagian hancur sebagian ke pihak kepolisian setempat.

Dinoyo-1Peta lokasi temuan prasasti Dinoyo II (Sumber: Penulis;2013)

Oleh pihak kepolisian batu besar beserta beberapa keping pecahannya segera diangkut ke kantor Polisi Resort kota Malang di Jl. Brigjen Slamet Riyadi (sekarang hotel Trio Indah 2), dan diletakkan di halaman sebelah timur dekat dengan pos penjagaan (sekarang halaman sisi timur hotel Trio Indah). Beberapa hari batu tersebut berada di sana, sebelum akhirnya dibawa oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur di Trowulan-Mojokerto. Prasasti tersebut sementara dikenal dengan nama prasasti Dinoyo II, karena jauh sebelumnya di Dinoyo pernah ditemukan prasasti yang pertama (I), yaitu prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M dari kerajaan Kanjuruhan. Dengan penemuan prasasti baru tersebut, sementara orang banyak menduga bahwa prasasti tersebut berhubungan dengan kerajaan Kanjuruhan.

Dinoyo-3Serpihan prasasti Dinoyo II beserta batu induknya (Sumber:Siebud.Depdikbud Kodya Malang:1985)

Selama proses tunggu di Polresta Malang, sejarawan dan dosen IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang), M. Habib Mustopo, melakukan pembacaan dan alih aksara terhadap bagian batu yang besar. Hal ini diketahui dari terbitan koran kota waktu itu yang memuat tentang keterangannya, dan lebih lanjut akan dikonfirmasikan ke gurunya yang ada di Belanda, yaitu J.G. De Casparis. Dengan demikian M. Habib Mustopo membaca sebagian (sisi atas) dari batu yang masih utuh. Beberapa puluh tahun, setelah yang bersangkutan meninggal dunia, arsip hasil pembacaan dari dosen jurusan sejarah UM tersebut tidak diketahui rimbanya. Dari beberapa teman dosennya pun tidak menyimpan arsip alih aksara tersebut. Belakangan pernah dicoba dicari tahu melalui teman-teman mahasiswa alumni jurusan sejarah yang dekat dengan M. Habib Mustopo, yang sekarang menjadi staf pengajar di jurusan Sejarah UM, namun mereka pun kehilangan lacak terhadap arsip tersebut.

Dinoyo-2Prasasti Dinoyo II ketika di kantor Polresta Malang (Sumber:Siebud.Depdikbud Kodya Malang:1985)

Ketika prasasti dipindahkan ke BP3 Jawa Timur di Trowulan, maka segera dilakukan penyatuan terhadap serpihan-serpihan yang terpisah dengan menggunakan lem batu, sehingga batu menjadi utuh kembali. Selang beberapa saat setelah itu, menurut informasi dari kepala BP3, Tony WD. Mambo yang pada waktu itu masih berkedudukan sebagai staf. Boechari datang ke Trowulan untuk melakukan pembacaan dan alih aksara secara lengkap dengan dibantu oleh Tony. Catatan hasil alih aksara tersebut dibawa oleh Boechari ke Jakarta. Namun sayangnya hasil pembacaan dan alih aksara belum sempat dipublikasikan dalam media hingga Boechari meninggal dunia. Dari keterangan salah satu asistennya yang dekat dengan Boechari, yaitu Titi Surti Nastiti, ia menyatakan tidak mengetahui keberadaan arsip hasil alih aksara karya Boechari tersebut.

Hampir 19 tahun batu tersebut tergeletak di barak sisi utara museum BP3 Trowulan (sekarang Pusat Informasi Majapahit). Namun selama itu tidak dilakukan alih aksara dari pihak BP3 Trowulan. Tahun 2003 kota Malang mengumpulkan semua Benda Cagar Budaya yang ada di kota Malang untuk ditempatkan di Balai Penyelamatan yang diberi nama ‚Pu Purwa‘. Atas persetujuan kepala BP3 waktu itu, yaitu Tony WD. Mambo, pemerintah kota Malang meminta kembali prasasti tersebut sebagai tambahan koleksi di Balai Penyelamatan Benda Purbakala. Sejak bulan Maret tahun 2004 prasasti tersebut menjadi koleksi Balai Penyelamatan Benda Purbakala di Jl. Soekarno-Hatta kota Malang dengan mendapat nomor inventaris: 117/Mlg/2003 (nomor inventaris mengikuti tahun inventarisasi 2003).

Dari riwayat perjalanan prasasti sejak ditemukan hingga akhirnya kembali lagi ke kota Malang, arsip alih aksara yang pernah dilakukan oleh M.Habib Mustopo dan Boechari tidak ditemukan kembali. Dengan demikian tidak diketahui bagaimana bunyi serta maksud ditulisnya prasasti. Tahun 2004 dicoba dilakukan pembacaan yang berulang-ulang secara langsung terhadap batunya (Suwardono, 2004). Namun hasil pembacaan dan alih aksara jauh dari memuaskan. Bulan Oktober tahun 2010, ketika Titi Surti Nastiti berkunjung ke Malang, bersama-sama dengannya dilakukan pembacaan ulang. Karena terbatasnya waktu, ia memotreti seluruh permukaan prasasti untuk dibawa ke Jakarta, sebagai bahan pembacaan ulang melalui media elektronik.

Dinoyo-4Pembacaan ulang bersama Titi Surti Nastiti (Sumber: Penulis; 10-10-2010)


Permasalahan

Arsip hasil pembacaan dan alih aksara prasasti Dinoyo II dari para peneliti pendahulu tidak ditemukan. Dengan demikian tidak ada data pendukung tentang alih aksara serta isi permasalahan yang terkandung di dalamnya. Mengingat semua itu, prasasti Dinoyo II ini ditampilkan kepada masyarakat pemerhati sejarah dan kepurbakalaan, khususnya masyarakat arkeologi (epigraf). Untuk ikut mengambil kesempatan melakukan kajian ulang melalui kegiatan pembacaan, alih aksara, serta terjemahan terhadap batu prasastinya, dengan demikian diharapkan isi serta kandungan yang termaktub di dalamnya dapat diketahui secara tepat dan memuaskan.


Pembahasan

1. Pemerian Prasasti
a. Keberadaan Prasasti
Prasasti Dinoyo II adalah prasasti dari bahan batu andesit abu-abu kehitaman dengan ukuran Pj/Tg. 75cm Lbr. 57cm Tbl. 30cm (ukuran ini merupakan ukuran secara umum, mengingat bentuk permukaan batu yang tidak sama). Rupa-rupanya waktu itu dipilih sebuah batu yang secara alami memiliki permukaan yang rata sisi-sisinya. Dengan tidak melakukan perubahan pada permukaan batu terlebih dahulu, penulis prasasti langsung menorehkan huruf-huruf di permukaannya.

Teknik penulisan hurufnya dilakukan pada tiga bidang permukaan batunya secara memanjang melingkupi sisi kiri, sisi depan, dan sisi kanan. Tulisan terdiri dari 16 baris, dengan ukuran huruf rata-rata 2 cm, jarak antar baris rata-rata 2 cm. Huruf-huruf yang terdapat pada sisi kiri dan kanan dalam kondisi sangat baik sehingga sangat mudah dibaca. Sedangkan huruf-huruf yang terdapat pada sisi depan sebagian sulit dibaca karena ausnya batu. Ditambah lagi bagian bawah yang sudah merupakan hasil penyatuan kembali. Sambungan batu menyebabkan terbentuknya garis yang tajam. Apalagi bagian-bagian yang serpihan kulit batunya hilang, maka terbentuk garis yang menganga cukup lebar, sehingga banyak hurufnya yang ikut hilang. Prasasti ini memuat dua pertanggalan, yaitu pertanggalan pertama terdapat pada baris ke satu, sedangkan pertanggalan ke dua terdapat pada baris ke tujuh.

b. Bentuk Huruf
Bentuk huruf dari prasasti Dinoyo II adalah huruf Jawa kuna dengan model ramping serta miring ke kanan. Hal ini mengingatkan kepada bentuk-bentuk huruf yang dipakai pada prasasti-prasasti jaman Mataram kuna masa Rake Kayumangi hingga Balitung abad IX-X M. Ciri tulisan masa Kayuwangi hingga Balitung, bentuk hurufnya memiliki kuncir (goresan kecil di atas huruf), kecuali huruf i, na, da, dan ja. Sedangkan untuk huruf pa, sa, da, a, ma, dan ya memiliki dua buah kuncir. Kuncir-kuncir itu akan hilang manakala di atas huruf terdapat ‚ulu‘ (yaitu tanda untuk bunyi i) (Casparis, 1975:33-34; Nastiti,1982:7-8). Namun demikian pada prasasti Dinoyo II ini tidak semua huruf yang memakai kuncir. Yang terlihat jelas adalah huruf ga, ka, śa, ta, wa. ca, sa dan ma.

c. Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam prasasti Dinoyo II adalah bahasa Jawa kuna dengan gaya bahasa prosa. Seperti umumnya prasasti masa Kayuwangi-Balitung, prasasti ini juga menggunakan kalimat-kalimat singkat. Sehingga kalau ingin membaca didasarkan pada tata bahasa yang baik, sempurna, dan jelas, maka perlu penambahan kata-kata pada kalimatnya. Contoh: baris ke 14 dari prasasti Dinoyo II bunyinya sebagai berikut:

14. n pu dipa wariga si malat panurattan daŋ mpu hyaŋ wrati ka(…..)ri la(….)man
Jika hendak dibaca dengan baik dan sempurna, maka perlu adanya penambahan, yaitu :
14. n (mańaran) pu dipa wariga (mańaran) si malat panurattan ( i ) daŋ mpu hyaŋ wrati ka(…..)ri la(….)man.
Untuk tambahan kata dilakukan dalam terjemahan sebagai kata alternatif yang ditulis dalam kurung.
Beberapa keterangan dalam membuat alih aksara dipergunakan tanda-tanda dalam teks aksara seperti berikut:

– : tanda pemanjangan vokal
e : e taling
ĕ : e pepet
ñ : ny
ṇ : n lingual
ń : ng aksara
ŋ : ng anuswara
ś : s palatal
s : s lingual
t : t lingual
h : visarga
(……) : huruf-huruf prasasti yang tidak dapat dibaca karena batunya aus atau hilangnya serpihan batu.
( ) : kata hasil rekonstruksi atau kata tambahan dalam terjemahan

2. Alih Aksara

Dinoyo-5

Dinoyo-6

Catatan alih aksara:
1) Pada batunya jelas tertera sri, setelah itu terdapat 3-4 huruf hilang. Baru kalimat swasti saka…… Apabila boleh merujuk pada prasasti Hampran (Damais, 1955 :246), manggala carananya tertulis ‘srir astu swasti……’. Sementara pada prasasti Geweg 933M (Brandes, 1913 :83 ;Damais, 1955 :57), tertulis ‘srih… swasti saka…..’. Sedangkan prasasti Kaladi 909M (Damais, 1955 :49), tertulis ‘srir astu jagaddhitaya. swasti……. ‘. Berdasarkan komparasi ketiga prasasti tersebut, diduga manggala carana pada prasasti Dinoyo II setelah kata sri tersebut huruf berikutnya adalah rastu’, sehingga berbunyi ‘srirastu’ pula.
2) Pada permukaan batunya sangat aus. Diduga itu adalah huruf sa dan ta, sehingga berbunyi astami, sesuai dengan nama-nama penanggalan.
3) Setelah kata maŋha… batunya aus. Tetapi sebagaimana diketahui bahwa itu tentunya harus dibaca maŋhambin.
4) Dalam prasasti selalu ditulis raman (ra tanpa danda, sementara ma dengan huruf na yang diberi wirama). Bila dibandingkan dengan prasasti-prasasti sejaman, maka prasasti-prasasti itu enggunakan kata rāma.
5) Di sini dibaca ‘nana’, tetapi masih diragukan, karena huruf na mendekati huruf ga yang kuncirnya kadang-kadang agak panjang ke kanan. Jika benar kata ’nana’, di sini ditulis tanpa danda. Harusnya menggunakan danda sehingga berbunyi nānā (Zoetmulder,2004 :690 ; Mardiwarsito, 1986 :363).
6) Angka yang tertera pada batunya terbaca angka 8 dan berikutnya dugaan kuat angka 2, karena masih tampak samar-samar garis lengkung setengah bola dengan satu kaki memanjang ke bawah. Angka berikutnya tidak dapat dibaca lagi. Berdasarkan unsur-unsur penanggalannya, perhitungan berdasarkan daftar Damais (1955 :252-265), angka tahun tersebut adalah 820 saka.
7) Setelah kata ‘kanaya’ hurufnya tidak dapat dibaca. Tentunya itu harus dibaca ‘kanayakān’.
8) Setelah kata manayu, hurufnya sangat aus. Pada prasasti Tija Haru-Haru (Stutterheim, 1925 :57-58), terdapat seorang sang awaju (pejabat) di Manayuti yang bersengketa dengan buyut Amabaki. Prasasti ini sekarang ada di gereja Kayutangan Malang. Merujuk prasasti Tija Haru-haru tersebut, mungkin kalimat Rake Manayu.. itu harus dibaca Rake Manayuti.
9) Biasanya tertulis pańuraŋ dengan anuswara (ng), tetapi penulis prasasti menulis pańuran, dengan menggunakan huruf na yang diberi wirama.
10) Sebelum kata ‘tih’ batunya aus. Tentunya harus dibaca patih.
11) Ada lanjutan dari kata ‘ni’ tetapi tidak terbaca. Huruf berikutnya yang berhubungan dengan kata ‚tih‘ yang tentunya harus dibaca patih.
12) Sebelum kata ‘jar’ batunya aus. Tentunya harus dibaca parujar.

3. Terjemahan
1. //*/ semoga bahagia//selamat tahun saka telah berjalan 773, bulan magha1, hari Was (paringkelan 6 hari), Umanis (pasaran 5 hari), Kamis (pekan 7 hari)2,
2. kedudukan planet di selatan, tanggal 8 śuklapakṣa3, pada waktu itu dang hwan4 sang penderma yaitu sang hiwil dari hujung5 membatasi sima6 (berupa) sawah yang diwariskan kepada dang hyang guru
3. candik. Sawah ( telah) diteliti(…..…) (dengan) saksi dalam hal ini (yaitu) wadwa7 (dari) sang pamget8 (bernama) dila, tuhan9 sang air paku10, tuha
4. n dari manapal11 (bernama) sang nawa, a(………..)n (bernama) sa(..)ma, bersama-sama dengan tuhan di kabhalan12, tuhan dari wadwarare13 (bernama) sang garasah, wa
5. huta14 (dari) sang panghunjangan15, mangha(mbin)16 (bernama) sa(……) mpu(………) sa(………….)ndi raman17 (yang) berdagang pada raman
6. kandal dengan berbagai tha(……) (itulah) yang menjadi saksi dalam membatasi sima//
7. //Selamat tahun saka telah berjalan 82(0) bulan srawana, tanggal 8 śuklapakṣa, hari Mawulu (paringkelan), Umanis, Ahad, kedudukan planet di tenggara.
8. pada waktu itu dang hwan (bernama) a(…)sa dari hujung memberikan (kembali) sawah (untuk) dijadikan sima (dan) diteliti bersama dengan saksi dalam hal ini(yaitu) wadwa pamge
9. t. (juga saksi) yang ikut membatasi (sima) adalah kanayakan18, (yaitu) rake manayu(ti) (bernama) mahandana, rake pamrattan, tuhan wadwarare, sang pangu
10. ran19, tuha dari kalula20 (bernama) hawikan, tuhan dari lampuran21, rake kalimunnan, citralekha22 (bernama) sang kresna, panghunjanga
11. n (……) manwa di (…….) wan(..) langwu (..) dengan wahuta yang winkas wkas23, (pa)tih24 (dari) raman srasti,
12. manghambin (..) tuha sa(…..)nu (dari) kahyunnan25 (bernama) si sumul, tuha wanwa26 (bernama) drahma, (juga) saksi
13. sang watang kras27 (bernama) wel-wel ayahnya (…….), (pa)tih (dari) tuha (….) pada waktu itu (……), (paru)jar28 (dari) dama
14. n29 (bernama) pu dipa, wariga30 (bernama) si malat, panurattan31 (dari) dang mpu hyang wrati32, ka(..)ri la(….)man
15. manggala33 dari raman wanglus dang(……..) surawa, hulu wa( ), demikian (pula) tetua desa
16. kandal// semoga selalu diberkahi//.

Catatan Terjemahan:
1) Bulan magha merupakan bulan yang ke sebelas dari perhitungan tahun saka. Urut-urutan bulan tersebut adalah: 1. Caitra, 2. Waisāka, 3. Jyesta, 4. Āsādha, 5. Srawana, 6. Bhadrawāda, 7. Asuji, 8. Kārtika, 9. Mārgasira, 10. Posya, 11. Māgha, dan 12. Phālguna (Casparis, 1978 :48).
2) Damais (1955 :252-253) membagi wara ini menjadi tiga yang dikenal diberbagai prasasti, yaitu Saptawara (7 hari) terdiri dari A=aditya, SO=soma, ANG=anggara, BU=budha, WR=wrhaspati, SU=sukra, SA= sanaiscara. Sadwara (6 hari) terdiri dari TU=tunglai, HA=hariyang, WU=wurukung, PA=paniruan, WA=was, MA=mawulu. Pancawara (5 hari) terdiri dari PA=pahing, PO=pon, WA=wagai, KA=kaliwuan, U=umanis
3) Pada masa Jawa kuna, perhitungan bulan dibagi menjadi 2 paksa. Suklapaksa (paro terang) adalah perhitungaan bulan mulai tanggal 1 s.d 15. Sedang tanggal 16 s.d 30 disebut krsnapaksa (paro gelap) (Zoetmulder, 2004 :1263 ; Mardiwarsito, 1986:607; Prawirasuganda,1951: 67-68).
4) Dang Hwan menurut kata asal adalah ‘dang’ yaitu sebutan bagi orang yang lebih dihormati (Mardiwarsito, 1986 :166-167 ; Zoetmulder, 2004 :194), dan ‘hwan’ yang artinya penggembala (Mardiwarsito, 1986 :228 ; Zoetmulder, 2004 :373). Sehingga diartikan ‘yang terhormat sang penggembala’. Mungkin di sini yang dimaksud adalah orang yang kaya akan binatang ternak.
5) Hujung sering disebut-sebut dalam prasasti-prasasti di Jawa Timur abad IX-X M. Merupakan wilayah watak kekuasaan rakryan Hujung.
6) Sima adalah sebidang tanah (sawah, desa, dan sejenisnya yang bebas dari pajak dan kewajiban-kewajiban lainnya ) (Mardiwarsito, 1986 :530; Zoetmulder, 2004 :1092). Biasanya diberikan oleh raja kepada seorang pejabat atau penduduk desa, atau untuk kepentingan suatu bangunan suci (Nastiti, 1982 :42).
7) Wadwa artinya bawahan atau anak buah (Mardiwarsito, 1986 :652 ; Zoetmulder, 2004 :1365 ; Wojosasito, 1977 :292).
8) Pamget asal katanya adalah pegat yang artinya putus (Mardiwarsito, 1986 :417 ; Zoetmulder, 2004 :801 ; Wojosasito, 1977 :198). Secara harfiah berarti orang yang memberi keputusan/ketetapan. Jabatan pamgat peranannya lebih kepada hal-hal yang bersifat keagamaan, hukum, dan sejenisnya (Trigangga, 2003 :37).
9) Tuhan artinya tuan, majikan, penguasa, orang yang berwenang ((Mardiwarsito, 1986 :614 ; Zoetmulder, 2004 :1282). Casparis (1956 :226-228), lebih memperjelas bahwa tuhan adalah pemimpin kelompok dari para pembantu rendahan di lingkungan rakai atau pamegat.
10) Airpaku berasal dari kata air dan paku/penetapan (Mardiwarsito, 1986 :390). Tetapi apa tugas dan kewajibannya belum jelas. Mungkin petugas yang menetapkan/menentukan air suci sebagai sarana upacara.
11) Tuhan ning Manapal artinya pejabat yang mengurusi para penari/pemain topeng. Akar katanya adalah Tapel yang artinya topeng (Mardiwarsito, 1986 :586; Zoetmulder, 2004 :1212).
12) Tuhan ni Kabhalan artinya pejabat di Kabhalan. Nama Kabhalan tersebut juga di prasasti Pamotoh 1198M, prasasti Waringin Pitu 1447M, serta Pararaton 1631M. Pada ketiga sumber tersebut ditulis ‘Kabalan’. Di daerah Cemorokandang kota Malang, sampai sekarang terdapat dukuh kuno bernama Kabalon.
13) Wadwarare adalah pasukan yang terdiri dari para pemuda (Mardiwarsito, 1986 :652).
14) Wahuta adalah gelar jabatan (Mardiwarsito, 1986 :653; Zoetmulder, 2004 :1368). Tapi apa tugasnya belum diketahui. Mengingat namanya sering diikuti oleh titel seseorang (wahuta dari ……), diduga ia adalah pembantu pelaksana.
15) Tidak diketahui apa peranan sang Panghunjańan. Dalam prasasti Gulung-gulung 929M, Linggasuntan 929M, dan Jeru-jeru 930M (Trigangga, 2003 :13 ;21 ; dan 30) nama wahuta dari Panghunjańan ini muncul lagi sebagai salah satu saksi dari penetapan sima.
16) Manghambin adalah nama suatu jabatan. Tetapi apa tugas dan kewajibannya belum jelas.
17) Raman mungkin sama dengan kata rāma, yang artinya tetua desa (Mardiwarsito, 1986 :461 ;Zoetmulder, 2004 :913).
18) Kanayakan berasal dari akar kata nayaka, yang artinya pemimpin (Zoetmulder, 2004 :695).Kanayakan berarti kelompok nayaka, atau kelompok para pemimpin (yaitu rake dan pamgat).
19) Pangurang kata dasarnya adalah kurang. Boechari berpendapat bahwa Pangurang adalah petugas pemungut pajak (Boechari,1981 :76).
20) Tuha dari kalula berarti pemimpin dari para abdi/pelayan (zoetmulder, 2004 :446).
21) Yang dimaksud dengan tuhan dari lampuran diduga adalah pemimpin kelompok dari pemain keliling (Zoetmulder, 2004 :566).
22) Citralekha artinya lukisan atau penulis (Zoetmulder, 2004 :177). Yang berhubungan dengan penetapan sima biasanya adalah penulis prasasti.
23) Winkas wkas adalah pejabat yang tugasnya membawa berita atau membawa perintah dari atasan (Mardiwarsito, 1986 :673-674 ;Zoetmulder, 2004 :1410). Wahuta yang winkas wkas, mungkin pembantu yang tugasnya winkas wkas.
24) Patih adalah pejabat di tingkat daerah/watak, atau para pembantu rake dan pamgat (Boechari, 1981 :72).
25) Tidak dapat dipastikan kahyunnan ini nama suatu jabatan atau nama tempat. Nama ini muncul pula dalam prasasti Gulung-gulung 929M (Trigangga, 2003 :12-13). Juga dalam prasasti kahyunan 1161M sebagai nama desa (Damais, 1955 :73).
26) Tuha wanwa artinya orang yang mengkordinir desa, perkampungan (Mardiwarsito, 1986 :659 ;Zoetmulder, 2004 :1384).
27) Watang diartikan sebagai batang kayu, galah, tombak, tongkat (Mardiwarsito, 1986 :667). Sementara kras sama dengan keras (Mardiwarsito, 1985 :281). Sang watang kras mungkin sesuatu jabatan. Tetapi apa tugas dan kewajibannya tidak diketahui.
28) Parujar berasal dari kata ujar yang artinya perkataan. Parujar berarti pegawai yang tugas dan kewajibannya sebagai juru bicara (Mardiwarsito, 1986 :633).
29) Daman diduga adalah nama seorang pejabat desa, karena dalam prasasti Balingawan 891M (Brandes, 1913 :22) nama ini muncul berkali-kali bersama sederetan nama, yaitu dapunta ramyah, da(ng) pu hyang bharati, daman tarsa, dan da(ng) pu jala. Yang semuanya adalah penduduk desa Balingawan.
30) Wariga adalah ahli perbintangan yang bertugas mencari hari/saat yang baik untuk berbagai keperluan desa ((Mardiwarsito, 1986 :664).
31) Panurattan asal katanya adalah surat yang artinya yang ditulisi/digambari atau tulisan (Mardiwarsito, 1986 :549 ; Zoetmulder, 2004 :1155). Panurattan artinya orang yang mempunyai tugas sebagai juru tulis.
32) Sama dengan keterangan no.29
33) Manggala artinya pelindung/pemimpin di antara orang banyak (Mardiwarsito, 1986 :342 ; Zoetmulder, 2004 :649).


4. Analisa

Prasasti Dinoyo II merupakan prasasti yang memuat dua pertanggalan. Pertama bertanggal 8 paro terang hari WA U WR bulan Magha tahun 773 saka, yang equivalen dengan tanggal 15 Januari 851M, dan yang kedua bertanggal 8 paro gelap hari MA U A bulan Srawana tahun 820 saka, equivalen dengan tanggal 2 Juli 898M. Dengan demikian prasasti ini dapat disebut sebagai prasasti Dinoyo II A dan prasasti Dinoyo II B.

Penamaan prasasti Dinoyo II dilatarbelakangi bahwa di Dinoyo dahulu pernah ditemukan sebuah prasasti yang berhuruf Jawa kuna dan berbahasa sanskerta, berangka tahun 760 M yang dikenal dengan sebutan prasasti Dinoyo. Prasasti Dinoyo itulah dikemudian hari disebut sebagai prasasti Dinoyo I. Sementara prasasti baru yang ditemukan beberapa meter tidak jauh dari tempat prasasti yang lama, disebut orang sebagai prasasti Dinoyo II.

Guna keseragaman penyebutan prasasti, sedapatnya menggunakan nama tempat atau pejabat yang mengeluarkan yang tersebut di dalam prasasti, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Damais (1955 :1-105), maka prasasti Dinoyo I dinamakan prasasti Kanjuruhan, sedangkan prasasti Dinoyo II diusulkan dapat disebut sebagai prasasti ‘Dang Hwan ri Hujung’.

Hujung merupakan sebuah wilayah kerakaian di Jawa Timur yang diidentifikasi terletak di sekitar Malang utara (daerah Singosari). Masa sekitar abad IX dan X M berbagai prasasti yang dikeluarkan oleh raja Balitung, Wawa, maupun Sindok berkenaan dengan penetapan tanah sima di sekitar Malang, pejabat watak Hujung selalu tampil. Apakah sebagai daerah yang mengajukan anugerah perdikan kepada raja, atau sebagai saksi dalam penetapan tanah sima bagi watak tepi siringnya, seperti watak Kanuruhan, watak Waharu, serta watak Tugaran (periksa prasasti Kubu-kubu 827 saka, Limus atau Sugihmanek 837 saka, Sangguran 846 saka, Gulung-gulung 851 saka, Linggasuntan 851 saka, Turyyan 851 saka, Jeru-jeru 852 saka, dan Muncang 866 saka).

Ketika prasasti Dinoyo II dikeluarkan, baik tahun penetapan pertama maupun penetapannya kembali tahun 898 M, pemerintahan waktu itu berada pada kerajaan Medang di Jawa Tengah (Mataram kuna). Tahun penetapan yang pertama, yaitu tahun 851 M, berada dalam masa pemerintahan Rakai Pikatan Dyah Saladu. Seperti diketahui berdasar prasasti Wanua Tengah III bahwa raja ini mulai memerintah tahun 768 saka (10 Januari 846 M). Sementara tahun penetapan kedua, yaitu tahun 898 M, berada dalam masa awal pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung yang mulai memerintah tahun 820 saka (10 Mei 898 M) (Kusen, 1994 :92-93).

Dinoyo sebagai tempat temuan prasasti, diidentifikasi dahulunya merupakan pusat (ibukota) pemerintahan wilayah watak Kanuruhan. Sementara yang mengeluarkan prasasti adalah seorang penggembala yang terhormat berasal dari Hujung (Singosari). Menjadi suatu pertanyaan apakah sima sawah yang dihibahkan kepada dang hyang guru Candik tersebut berada di wilayah watak Kanuruhan? Sedangkan sang penyumbang adalah seorang penggembala kaya raya penduduk wilayah Hujung? Apabila demikian halnya, maka kasusnya adalah Dang Hwan (dalam prasasti disebutkan bahwa Dang Hwan/sang penggembala/yang memiliki peternakan adalah seorang penderma) telah membeli sebidang tanah di wilayah watak Kanuruhan, guna dihibahkan kepada Dang hyang guru Candik (tidak jelas apakah yang bersangkutan ini bertempat tinggal di wilayah Kanuruhan juga atau di wilayah lain).

Menilik di antara beberapa saksi terdapat warga wanua Balingawan watak Kanuruhan (parujar Daman dan panuratan dari Dapu hyang Wrati), memang anggapan bahwa sebidang tanah sawah tersebut berada di wilayah watak Kanuruhan masuk akal. Juga dapat dijadikan sebuah alasan pendukung, mengapa raman (tua-tua desa) Kandal disebut sebagai saksi dua kali dan ditempatkan terakhir di antara para saksi, yaitu saksi pada penetapan sima tahun 773 saka dan saksi penetapan sima tahun 820 saka, sementara raman saksi yang lain hanya sekali. Beralasan dari selalu disertakannya raman Kandal dalam upacara penetapan sima sawah tersebut, dapat disimpulkan bahwa sima sawah tersebut terletak di wanua Kandal. Apabila dikorelasikan dengan toponim daerah Dinoyo sekarang, di sebelah timur Dinoyo (± 1 km), terdapat sebuah dukuh bernama Kendalsari kelurahan Tulusrejo. Tentunya dapatlah dipahami bahwa wanua Kandal watak Kanuruhan masa lampau itu adalah dukuh Kendalsari sekarang.

Hanya permasalahannya, mengapa rakryan Kanuruhan selaku penguasa watak tidak terdapat dalam deretan saksi, atau minimal para pejabat bawahan dari rakryan Kanuruhan? Apakah dapat diduga bahwa pejabat saksi yang tertera di dalam prasasti, yaitu wadwa pamget merupakan seorang pejabat pemerintah watak Kanuruhan? Sehingga pelaksanaan penetapan sawah yang dihibahkan tersebut cukup dilakukan oleh sang donatur dan pembantu pelaksana pamget Kanuruhan dengan disaksikan oleh pejabat di tingkat watak (daerah) lainnya?

Demikianlah dapat disimpulkan bahwa prasasti Dinoyo II merupakan prasasti yang dikeluarkan berhubungan dengan tanah perdikan dari dang hwan di Hujung, yang dihibahkan kepada seorang dang hyang guru bernama Candik. Diduga sawah tersebut guna kelangsungan pertapaan yang dikelola oleh dang hyang guru. Entah apa sebabnya sekitar 47 tahun kemudian dilakukan penetapan kembali oleh dang hwan yang sayang namanya tidak terbaca, juga dari Hujung. Diduga orang yang kedua tersebut merupakan keturunan dari yang pertama.

Kasus penetapan kembali sebidang tanah yang dianugerahkan sebagai tanah perdikan untuk kelangsungan bangunan suci atau biara pertapaan, atau kasus lainnya, agaknya pada masa Jawa kuna telah umum dilakukan. Di sini diambil perbandingan dengan prasasti-prasasti yang dikeluarkannya sebagai penetapan kembali status yang pernah dikeluarkan raja/penguasa pendahulu, seperti prasasti Mangulihi tahun 786 saka, Panggumulan tahun 824 saka, Wanua Tengah III tahun 830 saka, Wintang Mas tahun 841 saka, Harinjing tahun 849 saka, dan Walandit tahun 1327 saka.

Menjadi sebuah pertanyaan pula tentang tempat temuan prasasti Dinoyo II tersebut. Apakah prasasti tersebut in situ (memang diletakkan di tempat itu oleh yang membatasi sima). Jika memang in situ, maka sawah sima tersebut adalah tempat temuan prasasti. Akan tetapi jika prasasti tersebut tidak in situ, maka prasasti tersebut tentunya berasal dari tempat lain (mungkin Kendalsari), yang jauh dikemudian hari dibawa orang ke Dinoyo untuk dikumpulkan. Ingat terhadap kasus prasasti Dinoyo I, yang letak temuannya hanya beberapa meter di sebelah selatan tempat temuan prasasti Dinoyo II. Awalnya orang menyangka bahwa prasasti Dinoyo I in situ. Tetapi ternyata dikemudian hari didapatkan dua potongannya di sebelah selatan, yaitu di desa Merjosari. Dengan demikian timbul asumsi bahwa prasasti Dinoyo I asalnya dari daerah Merjosari atau lebih ke selatan lagi, karena di sana didapat sisa-sisa bangunan suci. Masalah berpindahnya sebuah prasasti dari tempat asalnya ke tempat lain setelah jamannya memang banyak terjadi, seperti prasasti Balingawan 813 saka, yang menurut konteks isinya berkenaan dengan desa Balingawan (Mangliawan sekarang) daerah Pakis, justru ditemukan di desa Singosari. Prasasti yang lain seperti prasasti Limus/Sugih manek 837 saka,yang jika diamati isinya bahwa prasasti berhubungan dengan desa Limus watak Kanuruhan. Demikian juga dengan prasasti yang lain seperti Gulung-gulung 851 saka, Jeru-jeru 852 saka, dan Muncang 866 saka (Blom, 1976:157-158).


Simpulan

Prasasti Dinoyo II adalah prasasti yang dibuat dari bahan batu andesit abu-abu kehitaman. Huruf yang dipakai adalah Jawa kuna Teknik penulisannya dilakukan pada tiga bidang permukaan batunya secara memanjang melingkupi sisi kiri, sisi depan, dan sisi kanan. Tulisan terdiri dari 16 baris. Bentuk huruf adalah huruf Jawa kuna dengan model ramping serta miring ke kanan. Hal ini mengingatkan kepada bentuk-bentuk huruf yang dipakai pada prasasti-prasasti jaman Mataram kuna masa Rake Kayumangi hingga Balitung abad IX-X M. Bahasa yang digunakan dalam prasasti Dinoyo II adalah bahasa Jawa kuna dengan gaya bahasa prosa.

Prasasti Dinoyo II atau dapat disebut sebagai prasasti ‘Dang Hwan ri Hujung’, merupakan prasasti tertua kedua di Malang setelah prasasti Dinoyo. Prasasti tersebut memang ditulis pada saat penetapan kembali sima sawah yang diwariskan kepada dang hyang guru Candik (mungkin diperuntukkan bagi kelangsungan biara pertapaannya), yaitu pada tanggal 8 paro petang hari mawulu umanis aditya bulan srawana tahun 820 saka (2 Juli 898M). Tetapi sebelumnya sima sawah tersebut sudah pernah diwariskan oleh pendahulunya, dengan ketetapan tanggal 8 paro terang hari was umanis wrhaspati bulan magha tahun 773 saka (15 Januari 851 M). Penetapan kembali tanah sima seperti ini sering dijumpai, seperti pada prasasti Mangulihi tahun 786 saka, Panggumulan tahun 824 saka, Wanua Tengah III tahun 830 saka, Wintang Mas tahun 841 saka, Harinjing tahun 849 saka, dan Walandit tahun 1327 saka.

Sesuai dengan pertanggalan di atas dapat diketahui bahwa masa itu adalah masa berlangsungnya pemerintahan kerajaan Medang di Jawa Tengah. Tahun 851M bertepatan dengan pemerintahan rakai Pikatan Dyah Saladu yang mulai memerintah tahun 846 M, sedangkan tahun 898 M bertepatan dengan pemerintahan rakai Watukura Dyah Balitung. Hal tersebut sesuai dengan bentuk huruf yang dipakai, yaitu ramping miring ke kanan.

Prasasti dikeluarkan oleh seorang Dang Hwan (istilah sekarang pemilik peternakan kambing/sapi) yang memang seorang penderma, dari wilayah Hujung. Diduga tanah sawah yang diwariskan berada di wilayah Kanuruhan, mengingat batu prasastinya ditemukan di Dinoyo. Walaupun tidak harus berada di wilayah kelurahan Dinoyo sekarang, karena pada waktu itu menurut beberapa sumber prasasti yang ada di Malang, dapat diidentifikasi bahwa wilayah watak Kanuruhan cukup luas.


Kepustakaan

Blom, Jessy. 1976. Kepurbakalaan Singasari. Terj. Mudjadi dan Agus Salim. Surabaya: Jurusan Sejarah FKIS IKIP

Boechari, M. 1981. ‘Ulah Para Pemungut Pajak di dalam Masyarakat Jawa kuna’. Dalam Majalah Arkeologi IV (1-2), hlm :67-87. Jakarta : Lembaga Arkeologi FSUI.

Boechari, M. dan Wibowo, AS. 1981. Prasasti Koleksi Museum Nasional. Jilid I. Jakarta : Proyek Pengembangan Museum Nasional.

Brandes, JLA. 1913 “Oud-Javaansche Oorkonde, nagelaten transcripties van wijlen Dr. J.L.A. Brandes, uitgegeven door N.J. Krom. VBG LX.

Casparis, JG.De. 1956. “Selected Inscriptions from the 7th to 9th Century A.D.”, Prasasti Indonesia II. Bandung: Masa Baru.

……………………1975. Indonesian Palaeography. A History of Writing in Indonesia from the Beginnings to C. A.D. 1500. Leiden/Köln: E.J. Brill.

……………………1978. Indonesian Chronology. A History of Writing in Indonesia from the Beginnings to C. A.D. 1500. Leiden/Köln: E.J. Brill.

…………………….1988. ‘Where was Pu Sindok’s Capital Situated’ dalam H.I.R. Hinzler (ed). Studies in South and Southeast Asia Archaeology. II :39-52. Leiden : Koentji Press.

Damais, Louis-Charles. 1955. “Études d’Épigraphie Indonésienne: IV. Discussion de la date des Inscription”. BÉFEO XLVII.

Kusen. 1994. Raja-raja Mataram Kuno dari Sanjaya sampai Balitung. Sebuah Rekonstruksi Berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III’. Dalam Berkala Arkeologi Tahun XIV. Edisi Khusus. Hal:82-94.

Mardiwarsito, L. 1986. Kamus Jawa Kuno-Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah.

Nastiti, Titi Surti et al. 1982. Tiga Prasasti pada Masa Balitung. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Prawirasuganda, A. dan Sauni,S. 1951. Kitab Peladjaran Bahasa Djawa Kuna Djilid I. Bandung: N.V. Masa Baru.

Stutteirheim, W.F. 1925. Transcriptie van twee Jayapatra’s. OV. Hal. 57-58.

Sumadio, Bambang et al., ed.2008. Zaman Kuna (edisi pemutakhiran). Marwati Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, ed. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka

Suwardono. 2004. Upacara Adat Bersih Desa Di Kelurahan Dinoyo Kec. Lowokwaru Kota Malang. Dalam Perspektif Sejarah dan Nilai Tradisi. Malang: Dinas Pendidikan Sub Din Kebudayaan Kota Malang.

Trigangga. 2003. Tiga Prasasti Batu Jaman Raja Sindok. Jakarta: Museum Nasional.

Wojowasito, S. 1977. Kamus Kawi – Indonesia. Bandung: CV. Pengarang.
Zoetmulder,P.J. dan Poedjawijatna, I.R. 1961. Bahasa Parwa. Tata Bahasa Djawa Kuno I. Djakarta: Obor.

Zoetmulder, P. J. dan Robson, BD. 2004. Kamus Jawa Kuno Indonesia. Jakarta: Gramedia.

*******

Tentang Penulis

SUWARDONO. Staf pengajar pada jurusan Pendidikan Sejarah IKIP Budi Utomo Malang. Guru Sejarah dan Antropologi di SMA Negeri 7 Malang. Menulis tentang sejarah dan arkeologi masa Hindu-Budha, terutama di daerah Malang. Karya yang sudah dipublikasikan diantaranya: 1) Monografi Sejarah Kota Malang (Sigma Media:1997, 2) Koleksi Benda Cagar Budaya di kota Malang (Pemkot:2004), 3) Candi-candi di sekitar Malang (Pemkab:2005, 4) Mutiara Budaya Polowijen (Pemkot:2005), 5) Pengarcaan Ken Dedes sebagai Prajnaparamita (jurnal Balar Yogyakarta:2007), 6) Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok (Pendiri Wangsa Rajasa) (Ombak: 2013). Beberapa kali menjadi penulis terbaik lomba penulisan Kesejarahan tingkat provinsi Jawa Timur yang diselenggarakan oleh Dinas Budpar Prov. Jawa Timur.


Tanggapan

  1. maaf mas mau tanya ini bahannya dari hasil seminar atau apa ya?

    • Sengaja ditulis sebagai sumbangan untuk blog ini


Tinggalkan komentar

Kategori